...Tama...
...────୨ৎ────...
Enam tahun yang lalu ...
Aku membuka pintu ruang guru dan menyerahkan daftar absensi ke mejanya. Sebelum aku sempat kembali ke kelas, Bu Mei, wali kelasku, menahan dengan sebuah pertanyaan. "Kamu di kelas Bahasa Inggrisnya Pak Jun, kan, Tama?"
"Iya," jawabku.
Telepon di mejanya berdering, dan dia mengangguk sambil mengangkat teleponnya. Dia menutup receiver dengan tangan. "Tunggu sebentar, ya," katanya sambil mengangguk ke arah ruang kepala sekolah.
"Ada murid baru, dan dia juga ada di kelas Pak Jun sekarang. Ibu mau kamu antar dia ke kelas."
Aku setuju dan langsung duduk di salah satu kursi dekat pintu.
Aku mengamati sekitar ruang BK dan sadar kalau ini pertama kalinya aku duduk di salah satu kursi ini. Itu berarti, aku berhasil tiga tahun tanpa pernah dipanggil ke kantor. Mama pasti bangga kalau tahu itu, meski aku agak kecewa sama diriku sendiri.
Masuk ruang BK itu hal yang seharusnya dialami setiap cowok di SMA, setidaknya sekali seumur hidup. Aku masih punya sisa tahun ini untuk merasakannya, jadi ya, itu yang aku tunggu-tunggu.
Bu Mei masih menelepon, tapi dia sempat melakukan kontak mata denganku. Dia hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Aku geleng-geleng kepala dan mengirim chat ke Ian.
...^^^📩^^^...
"Ada cewek, murid baru. Kelas 12."
^^^"Cakep nggak?"^^^
"Belum lihat. Mau anterin dia ke kelas sekarang."
^^^"Kalau cakep, fotoin dong."^^^
"Oke. BTW, lo udah berapa kali ke ruang BK tahun ini?"
^^^"Dua kali. Emang kenapa? Lo ngapain?"^^^
Dua kali? Ya, mulai hari ini aku harus sedikit lebih bandel sebelum lulus. Aku harus sering-sering nggak ngumpulin PR atau bolos sekolah tahun ini.
Pintu ruang kepala sekolah terbuka, jadi aku menutup HP. Aku masukkan ke kantong dan melihat ke depan. Aku nggak mau lagi lihat ke bawah.
"Tama yang akan antar kamu ke kelasnya Pak Jun, Yesica." Bu Mei mengarahkan anak baru itu ke arahku, dan dia mulai berjalan ke arahku.
Aku sadar kaki ini nggak bisa berdiri. Mulut ini lupa caranya bicara. Tangan ini lupa caranya mengenalkan diri. Hati ini juga lupa untuk menunggu dan aku langsung saja datangi dia.
Yesica ... Yesica ... Yesica.
Nama itu seperti puisi. Seperti prosa, surat cinta, dan lirik lagu yang mengalir di tengah halaman.
Yesica ... Yesica ... Yesica.
kuulang-ulang namanya, karena aku yakin ini nama cewek yang bakal buat aku jatuh cinta.
Tiba-tiba aku berdiri. Berjalan ke arahnya.
Mungkin sekarang aku lagi senyum, pura-pura nggak terpengaruh sama mata kucingnya yang kuharap suatu hari bakal memberikan senyuman manjanya untukku. Atau rambutnya yang sedikit keriting seperti hatiku, yang kelihatan nggak pernah berubah sejak Tuhan menciptakannya khusus untuk dia.
Aku mulai membuka pembicaraan dengannya. Aku bilang nama aku Tama dan aku bakal tunjukkan jalan ke kelas Pak Jun.
Aku terus memperhatikan dia, karena dia belum bicara apa-apa, tapi anggukannya adalah hal paling manis yang pernah diberikan seorang cewek kepadaku.
Aku tanya dia asalnya dari mana, dan dia bilang dari Jogja. "Bantul," katanya lebih spesifik.
Aku nggak tanya apa yang membawa dia ke Jakarta, tapi aku bilang kalau Papaku sering ada urusan bisnis di Bantul karena dia punya beberapa anak perusahaan di sana.
Dia tersenyum, jadi aku bilang saja kalau aku belum pernah ke sana, tapi aku ingin ke sana suatu hari nanti. Dia tersenyum lagi.
Aku kira dia lagi menceritakan Jogja itu kota yang bagus, tapi susah untuk menerjemahkan kata-katanya karena di kepalaku hanya ada namanya.
Yesica, aku bakal jatuh cinta sama kamu.
Senyumannya bikin aku nggak bisa berhenti bicara, jadi aku tambah lagi dengan pertanyaan lain, bahkan kita sudah melewati ruangan kelas Pak Jun.
Kita terus berjalan sepanjang lorong. Dia terus bercerita, karena aku nggak berhenti memberikan pertanyaan. Kadang dia mengangguk. Kadang dia jawab singkat. Kadang dia seperti bernyanyi.
Kita sampai di ujung koridor, tepat ketika dia menceritakan tentang dirinya yang berharap bisa betah di sekolah ini, karena sebenarnya dia belum siap untuk pindah dari Jogja.
Iya. Dia nggak kelihatan senang pindah ke SMA ini. Dan dia nggak tahu seberapa senangnya aku dengan kepindahannya ke sini.
"Di mana kelas Pak Jun?" potongnya.
Aku melihat mulut yang baru saja melontarkan pertanyaan itu. Bibirnya nggak simetris. Bibir atasnya sedikit lebih tipis dibandingkan bibir bawahnya.
Aku melihatnya beberapa detik lagi, kemudian menunjuk ke belakang dan bilang kalau sebenarnya kita tadi sudah melewati kelasnya Pak Jun.
Pipinya menjadi lebih merah. Aku tersenyum lagi. Aku mengangguk ke arah kelas Pak Jun. Kita berjalan balik ke arah sana, memutari koridor sekali lagi, lalu masuk ke kelas Pak Jun.
Yesica, kamu bakal jatuh cinta sama aku.
Aku membukakan pintu untuknya dan memberitahukan Pak Jun kalau Yesica adalah murid baru di sini. Aku juga ingin menambahkan untuk semua cowok di kelas, kalau Yesica bukan milik mereka.
Dia milikku.
Tapi aku nggak ngomong apa-apa. Nggak perlu, karena satu-satunya yang perlu tahu kalau aku ingin dia adalah Yesica.
Dia menatapku dan tersenyum lagi, lalu dia duduk di satu-satunya kursi kosong di sana.
Matanya memberitahukan aku kalau dia sudah tahu dia milikku. Ini hanya soal waktu. Aku ingin kasih tahu Ian dan bilang kalau dia nggak cuma cakep. Dia seperti gunung Krakatau, Ian pasti bakal ketawa dengar itu.
Sebagai gantinya, aku diam-diam mengambil fotonya dari tempat dudukku dan mengirim foto itu ke Ian dengan pesan, "Dia yang bakal ngelahirin semua anak-anak gue."
Pak Jun mulai memberikan materi.
...──── ୨୧ ────...
Aku bertemu Yesica hari Senin. Sekarang hari Jumat. Aku nggak bilang apa-apa lagi ke dia sejak hari itu. Aku nggak tahu kenapa.
Kita ada di kelas bareng. Setiap kali aku lihat dia, dia tersenyum ke arahku seperti dia berharap aku bicara dengannya.
Setiap kali aku mengumpulkan keberanian, aku malah mundur sendiri. Jadi, kuberi waktu untuk diriku sendiri sampai hari ini. Kalau aku belum berani sampai hari ini, aku bakal serahkan satu-satunya kesempatan ini ke Ian.
Cewek seperti Yesica itu Very-Very Limited Edition. Aku nggak tahu apakah dia sudah terikat dengan cowok lain di Jogja, tapi cuma ada satu cara untuk tahu.
Aku berdiri di samping kelas, menunggu dia. Dia keluar dari kelas dan tersenyum ke arahku. Aku bilang, "Hei," pas dia berjalan di bawah ventilasi pintu.
Aku perhatikan warna kulitnya berubah lebih cerah. Atau mungkin mataku saja yang semakin gelap dan menyerap cahaya yang terpancar dari dirinya, tapi apa pun itu aku tetap suka.
Aku tanya bagaimana minggu pertama dia. Dia bilang baik-baik saja. Aku tanya apakah dia sudah punya teman, dan dia angkat bahunya yang mungil itu sambil bilang, "Ya. Beberapa."
Aku cium aromanya, perlahan. Tapi dia tetap nggak sadar. Aku bilang kalau dia wangi.
"Makasih," jawabnya.
Aku lawan bunyi detak jantung yang berdentum di telinga. Mencoba mengatasi keringat yang mulai muncul di telapak tangan dan mengulang-ulang namanya di dalam hati.
Aku tahan semuanya dan tetap menatap matanya sambil bertanya, "Lo sibuk, nggak, nanti malam?"
Aku tahan semua perasaan itu dan menunggu jawabannya, karena itu satu-satunya yang aku inginkan.
Aku ingin melihat anggukan kepalanya, karena dia nggak harus bilang setuju. Tapi aku nggak mendapat anggukan itu. Dia malah bengong.
Dia ada rencana malam ini?
Semua perasaan tadi kembali dengan berlipat ganda, seperti banjir yang tumpah ruah dan aku jadi bendungannya.
"Gue nggak sibuk kok, besok," tambahnya, akhirnya kata-kata dia menghancurkan bendungan itu.
"Besok juga bisa," sahutku cepat-cepat.
Aku ambil HP dari kantong, tanpa berusaha menutupi senyum di wajahku. "Berapa nomor lo? Nanti gue telepon."
Dia kasih nomornya. Dia antusias.
Aku simpan kontaknya di HP, yakin kalau nomor itu bakal ada di sana untuk waktu yang lama, lama banget.
Dan aku bakal pakai nomor itu sesering mungkin.
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments