Tak Sadar

Aku kembali ke ruang tamu untuk mematikan lampu, tapi saat menoleh, langkahku langsung terhenti.

Tama sudah bangkit dari lantai. Ia berdiri di dapur, dengan kepala masih bertumpu pada lengannya yang terlipat di atas meja.

Ia duduk di ujung kursi, tampak seperti akan jatuh. Aku enggak bisa memastikan apakah dia sedang tidur atau hanya mencoba memulihkan diri.

“Eh ... Ta—Tama.” Aku memberanikan diri memanggil namanya, tapi dia tetap diam.

Aku mendekat perlahan, lalu menyentuh bahunya untuk membangunkannya. Begitu jari-jariku menyentuhnya, dia terkejut dan duduk tegak seolah baru saja terusik dari mimpinya.

Mimpi buruk.

Tiba-tiba dia berdiri, tapi kakinya goyah. Aku segera menyampirkan lengannya ke bahuku dan mencoba membawanya keluar dari dapur.

“Yuk, ke sofa,” kataku.

Dia menempelkan dahinya ke sisi kepalaku, tubuhnya terhuyung-huyung, membuatku semakin kesulitan menopangnya. “Nama gue bukan Tony,” katanya dengan cadel. “Nama gue Tama.”

Kami sampai di depan sofa. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukannya. “Oke. Siapa pun lo, lo harus tidur di sini.”

Dia jatuh di sofa, tapi belum melepaskan bahuku. Aku pun ikut jatuh di pelukannya, lalu buru-buru menarik diri.

“Yesica, jangan!” pintanya, menarikku kembali ke sofa.

“Nama gue bukan Yesica!” sahutku, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya yang begitu kuat. “Sintia ... Nama gue Sintia.”

Aku enggak tahu kenapa aku harus menyebutkan nama, karena kemungkinan besar dia enggak akan mengingat percakapan ini besok pagi.

Aku mengambil bantal yang tergeletak di lantai, berhenti sejenak sebelum memberikannya, karena dia sudah berbaring miring. Wajahnya menempel di bantal sofa, tangannya mencengkeram kuat, seolah-olah jika dilepaskan, dia akan jatuh ke dalam jurang.

Aku berdiri diam, memperhatikannya.

“Yesica, please ... jangan pergi,” ucapnya sedih.

Siapa Yesica? Kenapa dia memanggilku dengan nama itu?

Aku penasaran, siapa perempuan itu sampai-sampai namanya muncul dalam keadaan mabuk seperti ini.

Aku merasa iba. Meski aku enggak kenal dekat dengan Tama, jelas dia sedang menanggung sesuatu yang berat sampai-sampai bisa mabuk dan mengira aku adalah seseorang dari masa lalunya.

Aku meletakkan bantal kecil di bawah kepalanya, berharap dia bisa tidur dengan lebih nyaman. Setelah itu, aku mematikan lampu di ruang tamu dan berjalan kembali ke kamar. Aku benar-benar butuh tidur. Aku lelah. Mungkin tinggal bareng Amio enggak akan seburuk itu.

Aku enggak tahu apa yang akan kuhadapi ke depannya, tapi yang pasti, hidupku enggak akan membosankan selama tinggal di sini.

Seenggaknya untuk malam ini, aku masih punya tempat aman untuk tidur, meskipun sedikit terganggu oleh cowok ini.

Besok adalah hari baru, dan aku harus siap menghadapi apa pun yang terjadi.

Tiba-tiba, jari-jari Tama menggenggam tanganku erat dan bergetar. Awalnya kupikir dia akan muntah, tapi ternyata aku salah besar. Dia enggak sedang sakit. Dia menangis.

Menangis dalam diam sampai enggak ada suara keluar dari mulutnya. Aku bahkan enggak mengenalnya, tapi melihatnya seperti ini membuatku enggak nyaman.

Aku melirik ke arah kamar, bimbang, apakah aku harus meninggalkannya agar dia bisa sendiri. Aku enggak ingin terlibat dalam masalah orang lain. Aku sudah cukup berhasil menghindari drama dalam hidupku sejauh ini, dan aku enggak ingin terjebak lagi.

Naluri pertamaku adalah lari ke kamar dan mengunci pintu, tapi entah kenapa, ada perasaan aneh yang muncul di dalam diriku.

Rasa sakitnya tampak nyata. Bukan karena alkohol. Aku berlutut di hadapannya dan menyentuh pundaknya, “Tama?”

Dia menarik napas panjang, lalu perlahan mengangkat wajah untuk melihatku. Matanya nyaris tertutup dan merah. Aku enggak yakin itu karena air mata atau alkohol.

“Maaf, Yesica,” katanya pelan. Ia mengangkat tangan dan meraih tengkukku, menarikku mendekat. Wajahnya terkubur di antara leher dan bahuku. “Maafin gue.”

Aku enggak tahu siapa yang dia bicarakan atau apa yang sudah dia lakukan, tapi kalau sesakit ini perasaannya, aku enggak bisa membayangkan seperti apa rasanya bagi perempuan itu.

Aku sempat berpikir untuk mencari ponselnya dan menghubungi Yesica agar dia datang menyelesaikan ini semua.

Tapi akhirnya aku hanya mendorong Tama perlahan kembali ke sofa. Meletakkan bantal di bawah kepalanya, lalu menyuruhnya tidur.

“Tidur aja,” bisikku. Matanya masih penuh rasa sakit saat ia merebahkan diri.

“Lo udah benci banget sama gue, kan, Yesica?” ucapnya sambil menggenggam tanganku. Matanya tertutup kembali, dan ia mengembuskan napas berat.

Aku diam. Membiarkannya menggenggam tanganku sampai akhirnya dia tenang dan enggak ada lagi air mata yang keluar. Aku menarik tanganku perlahan, tapi tetap duduk di sampingnya.

Meskipun dia sudah tertidur, wajahnya masih menyiratkan rasa sakit. Alisnya mengernyit, napasnya enggak teratur. Untuk pertama kalinya, aku melihat bekas luka sepanjang jengkalku di sisi kanan rahangnya. Luka itu berhenti sekitar dua inci dari bibirnya.

Tanpa sadar, tanganku terulur ke rambutnya.

Rambutnya pendek di samping, sedikit lebih panjang di bagian atas, dengan warna campuran coklat dan pirang. Aku membelainya, mencoba menenangkannya, meski mungkin dia enggak pantas mendapatkannya.

Mungkin dia pantas merasakan semua ini, sebagai balasan atas apa yang telah dia lakukan pada Yesica. Tapi apa pun kesalahannya, setidaknya dia cukup menyesal sampai menjadi sehancur ini.

...BERSAMBUNG...

Episodes
Episodes

Updated 64 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!