“Koper gue.”
^^^“Serius?”^^^
“Sama ... tas.”
^^^“Kenapa tas lo bisa ada di luar, sih, Tia?”^^^
“Mungkin gue juga ninggalin kunci apartemen lo di lantai lorong.”
Dia bahkan enggak merespons yang satu itu. Hanya menggerutu.
^^^“Gue bakal telepon Tama, bentar ... dia udah pulang atau belum, ya. Kasih gue dua menit.”^^^
“Tu—tunggu. Siapa Tama?”
^^^“Dia tinggal di seberang lorong. Tunggu bentar. Jangan buka pintu sampai gue telepon balik.”^^^
Amio menutup teleponnya, dan aku bersandar di pintu.
Baru tiga puluh menit tinggal di Jakarta, aku sudah merepotkan kakakku. Keren, kan?
Mudah-mudahan dia mengizinkanku tinggal di sini sampai dapat kerja. Semoga saja enggak butuh waktu lama, karena aku sudah mengirim lamaran kerja paruh waktu ke tiga rumah sakit di Jakarta.
Aku bersedia kerja malam, akhir pekan, atau keduanya, yang penting bisa menambah pemasukan.
Ponselku berdering. Aku menggeser layar dan mengangkatnya.
“Halo.”
^^^“Tia?”^^^
“Ya.”
^^^“Gue udah hubungi Tama.”^^^
“Bagus. Dia bakal bantuin gue ambil barang-barang, kan?”
^^^“Enggak. Kayaknya malah gue yang butuh bantuan lo, deh.”^^^
“Bantuan apa?”
^^^“Tama yang butuh bantuan lo.”^^^
“Tetangga lo?”
Aku terdiam sesaat. Lalu menutup mata, menyadari sesuatu.
“Mio, please ... jangan bilang orang yang lo telepon buat lindungin gue dari cowok mabuk itu, ternyata cowok mabuk itu sendiri.”
^^^“Gue cuma minta lo buka pintu dan biarin dia masuk. Suruh dia tidur di sofa. Gue bakal pulang pagi-pagi buta. Begitu dia sadar, dia tahu dia di mana dan bisa langsung pulang.”^^^
“Lo tinggal di apartemen macam apa, sih, Mio? Apa gue harus siap-siap diraba orang mabuk setiap kali gue pulang?”
Hening sesaat.
^^^“Dia ngeraba lo?”^^^
“Mungkin ‘ngeraba’ terlalu kasar. Tapi dia memang megang pergelangan kaki gue.”
^^^“Lakuin aja ini buat gue, Tia. Telepon gue lagi setelah lo ketemu dia dan semua barang lo udah di dalam.”^^^
“Oke.”
Aku mematikan telepon dari Amio dan membuka pintu.
Cowok itu jatuh. Ponselnya terlepas dari tangan dan mendarat di lantai, tepat di samping kepalanya. Aku membalikkan badannya agar telentang dan menunduk buat menatap wajahnya. Matanya setengah terbuka.
“Lo bukan Amio,” gumamnya.
“Enggak. Gue bukan dia. Tapi gue tetangga baru lo. Dan sepertinya, lo bakal berutang sesuatu ke gue.”
Aku angkat bahunya mencoba membangunkannya, tapi dia belum sanggup duduk. Jadi kutarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam apartemen.
Buru-buru aku mengambil semua barangku dari luar, lalu menutup dan mengunci pintu depan. Kemudian raih bantal kecil dari sofa untuk menyangga kepalanya, dan membaringkannya menyamping, jaga-jaga kalau dia muntah saat tidur.
Itu saja bantuan yang akan dia dapat dariku malam ini. Nggak lebih.
Dia tidur cukup nyaman di lantai ruang tamu, sementara aku mulai berkeliling.
Ruang tamunya tiga kali lebih besar daripada kontrakan lama Amio. Dapurnya terbuka menghadap ruang tamu, hanya dipisahkan setengah dinding. Beberapa lukisan menghiasi dinding, dan sofa tebal berwarna krem muda tampak serasi dengan warna lukisan-lukisan itu.
Terakhir kali aku tinggal bersama Amio, dia hanya punya foto keluarga dan kalender dinding. Sepertinya kakakku mulai dewasa.
Keren juga lo, Mio.
Aku berpindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya sambil menyalakan lampu, memperhatikan sekeliling yang kini menjadi rumah sementaraku.
Sayangnya, tempat ini terlalu nyaman. Aku benci karena ini bakal bikin aku malas buat pindah ke apartemenku sendiri, kalau nanti tabunganku cukup.
Aku menuju dapur dan membuka kulkas. Ada sederet saus di pintunya, sekotak pizza di rak tengah, dan sebotol susu di rak paling atas. Tentu saja, dia belum punya stok bahan makanan. Aku enggak bisa berharap dia berubah total.
Aku mengambil sebotol air lalu berjalan mencari kamar yang akan kutempati. Ada dua kamar tidur. Aku memilih yang bukan milik Amio, lalu menaruh koper di atas tempat tidur.
Masih ada tiga koper dan enam kardus di mobil, belum termasuk baju-bajuku yang masih tergantung di sana. Tapi aku enggak akan mengurusnya malam ini. Amio bilang dia akan pulang besok pagi, jadi biar itu urusannya dia.
Aku berganti pakaian, memakai celana panjang santai dan tank top, lalu sikat gigi dan bersiap tidur.
Biasanya, aku akan waswas jika ada orang asing di tempat yang sama denganku. Tapi entah kenapa, kali ini aku enggak merasa perlu khawatir.
Amio enggak pernah memintaku menolong orang yang menurutnya berbahaya. Tapi yang membuatku bingung, kalau ini memang kebiasaan Tama, kenapa Amio justru membiarkannya masuk?
Dia enggak pernah percaya sama cowok-cowok yang mendekatiku, termasuk Rafael, pacarku yang pertama.
Rafael itu sahabat terbaik Amio. Usia kami selisih dua tahun, dia tujuh belas, aku lima belas. Aku naksir berat sama dia. Tentu saja, aku dan teman-temanku sering naksir temannya Amio karena mereka terlihat lebih dewasa.
Rafael sering menginap di rumah hampir setiap minggu. Dan kami selalu menemukan cara untuk menghabiskan waktu berdua ketika Amio enggak mengawasi.
Setelah beberapa pekan berpacaran secara backstreet dari Amio, Rafael bilang dia enggak mau hubungan kami diumbar. Masalahnya, ketika Rafael akhirnya memutuskan aku, Amio bereaksi.
Bayangkan, hati anak lima belas tahun bisa patah karena hubungan backstreet dua minggu. Ternyata Rafael juga berpacaran dengan beberapa cewek lain dalam waktu yang sama.
Begitu Amio tahu, persahabatan mereka berakhir. Semua temannya dia beri peringatan keras, "jangan dekati adikku".
Aku hampir enggak bisa pacaran selama SMA, sampai akhirnya Amio pindah.
Bahkan setelah itu, cowok-cowok yang sudah mendengar cerita horor tentang kakakku, semuanya kabur. Dan, iya ... Aku enggak pernah lagi pacaran selama itu.
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments