Matanya bertemu dengan lututku, lalu alisnya mengerut. Ia condongkan badan ke depan dengan wajah memerah, terus mengangkat tangannya dan menyentuh lututku dengan jarinya, seolah-olah dia belum pernah melihat lutut sebelumnya.
Dia lepas tangannya, memejamkan mata, lalu kembali tertidur bersandar di pintu.
Bagus.
Amio baru kembali besok, jadi aku meneleponnya untuk memastikan apakah laki-laki ini berbahaya atau enggak.
...📞...
^^^"Tia?"^^^
"Yaps."
"Gue udah sampai, tapi enggak bisa masuk. Ada orang mabuk di depan pintu. Gimana, nih?"
^^^"Lantai delapan belas?"^^^
^^^"Lo yakin lo di apartemen yang benar?"^^^
"Yakin."
^^^"Lo yakin dia mabuk?"^^^
"Yakin."
^^^"Aneh."^^^
^^^"Dia pakai apa?"^^^
"Kenapa lo kepo banget dia pakai apa?"
^^^"Kalau dia pakai seragam pilot, mungkin dia tinggal di gedung itu. Apartemen gue kerja sama sama maskapai tempat gue kerja."^^^
Cowok ini enggak pakai seragam, tapi celana jeans dan kaus hitamnya pas banget di tubuhnya. Dan itu ... kelihatan seksi.
"Enggak ada seragam."
^^^"Bisa lewat enggak tanpa bangunin dia?"^^^
"Gue harus geser dia. Dia bisa jatuh ke dalam kalau pintunya gue buka."
Amio diam beberapa detik, mungkin sedang berpikir.
^^^"Coba lo turun ke bawah, cari penjaga gedung, cari Kapten. Gue udah bilang ke dia kalau lo bakal datang malam ini. Suruh aja dia bantuin lo buat masuk ke apartemen."^^^
Aku menarik napas panjang. Sudah capek-capek nyetir enam jam, dan sekarang harus turun lagi ke lantai bawah ... jelas bukan hal yang aku inginkan sekarang.
Aku juga masih nggak habis pikir, kenapa makhluk reinkarnasi itu jadi satu-satunya orang yang bisa bantuin aku sekarang.
"Jangan matiin teleponnya. Tunggu sampai gue masuk ke apartemen lo."
Aku lebih suka rencana ini.
Kutempelkan telepon di antara telinga dan bahu, lalu mencari kunci yang dikirim Amio di dalam tas. Pelan-pelan kumasukkan kunci ke lubang pintu dan mulai membukanya, tapi cowok mabuk itu terus jatuh ke belakang setiap kali pintunya terbuka sedikit. Ia mengeluh dengan mata yang masih terpejam.
"Sayang banget dia mabuk."
"Dia enggak jelek-jelek amat."
^^^"Tia, cepat masuk dan kunci pintunya, biar gue bisa tutup teleponnya."^^^
Aku memutar mata.
Dia masih saja jadi kakak yang sok ngatur, sama seperti dulu. Aku tahu, tinggal bareng dia bukan ide bagus buat hubungan kami. Tapi, aku enggak punya pilihan lain.
Aku berharap, semoga sekarang semuanya berbeda. Amio sudah dua puluh lima tahun, dan aku dua puluh tiga. Kalau kami masih seperti dulu, berarti kami masih punya banyak PR buat jadi dewasa.
Semua tergantung Amio. Apa dia sudah berubah sejak terakhir kali kami tinggal bareng?
Dulu dia itu punya masalah sama semua cowok yang aku pacari, semua teman yang aku punya, setiap keputusan yang aku buat, bahkan kampus yang aku pilih juga. Walau begitu, aku enggak pernah ambil pusing sama pendapatnya.
Jarak dan waktu selama beberapa tahun terakhir bikin dia berhenti ngerecokin. Tapi, tinggal bareng dia lagi bakal jadi ujian berat buatku.
Aku lilitkan tali tas di bahu, tapi malah nyangkut di pegangan koper. Akhirnya kubiarkan tas itu jatuh ke lantai.
Tangan kiriku masih menggenggam erat gagang pintu, menahan agar orang gila ini enggak jatuh ke dalam apartemen.
Aku tempelkan kaki ke bahunya, mencoba mendorongnya menjauh dari tengah pintu. Tapi dia enggak bergerak sama sekali.
"Miooo! Argh! Dia berat banget. Bentar, gue harus tutup telepon biar bisa pakai dua tangan."
^^^"Jangan ditutup! Taruh aja HP di kantong, tapi jangan dimatiin."^^^
Aku melihat ke baju dan legging yang kupakai.
"Enggak ada kantong, nih. Masukin ke bra aja, ya."
Amio langsung mengeluarkan suara muntah saat aku menyelipkan HP ke dalam bra.
Kucabut kunci dari lubang dan melemparkannya ke tas, tapi malah jatuh ke lantai.
Aku membungkuk untuk menarik cowok mabuk itu agar bisa menggesernya dari pintu.
"Oke, brooo," gumamku sambil bersusah payah menariknya. "Maaf ganggu tidur lo, tapi gue mesti masuk ke apartemen ini."
Aku berhasil menyangga dia di kusen pintu agar enggak jatuh ke dalam. Lalu kudorong pintunya dan kembali mengambil barang-barangku.
Sesuatu yang hangat melilit pergelangan kakiku. Aku langsung diam. Kulihat ke bawah.
"Lepasin gue!" teriakku sambil menendang tangan yang menggenggam pergelangan kakiku dengan kuat. Aku yakin cengkeramannya bakal meninggalkan lebam.
Dia cuma menatapku dengan mata melotot, dan genggamannya membuatku jatuh ke belakang, ke dalam apartemen dan aku coba menarik kakiku yang dia genggam.
"Gue harus masuk ke sana," gumamnya. Ia mencoba mendorong pintu dengan tangan satunya, dan itu membuatku panik.
Kutarik kakiku biar sepenuhnya masuk, tapi tangannya ikut masuk. Satu kakiku menendang pintu dan langsung menghantam pergelangan tangannya.
"Argghh!" teriaknya.
Dia mencoba menarik tangannya yang terjepit, tapi kakiku masih menahan pintu. Aku longgarkan sedikit agar dia bisa menarik tangannya, lalu kutendang lagi pintu sampai tertutup rapat.
Aku segera berdiri dan mengunci pintu, lalu memasang rantai pengaman secepat mungkin. Begitu detak jantungku mulai tenang, tiba-tiba ada suara yang berteriak dari dalam dadaku.
Suara itu benar-benar berteriak dari dalam hati. Suara seorang laki-laki yang begitu menggetarkan dada.
Suara itu berteriak,
^^^"Tia! Tia!"^^^
Amio.
Aku langsung melihat ke dada, menarik HP dari bra, dan menempelkannya ke telinga.
^^^"Tia! Jawab gue!"^^^
Aku meringis, lalu menjauhkan HP beberapa inci dari telinga.
"Gue baik-baik aja."
"Gue udah di dalam. Pintu udah gue kunci."
^^^"Ya ampun!"^^^
^^^"Lo bikin gue hampir mati. Apa yang barusan terjadi?"^^^
"Dia mau masuk. Tapi pintu udah gue kunci."
Aku menyalakan lampu ruang tamu. Baru tiga langkah berjalan, aku langsung berhenti.
Bagus, Sintia.
Pelan-pelan aku membalikkan badan ke arah pintu, sadar atas satu hal penting.
"Aduh, Miooo?"
"Barang-barang gue ketinggalan di luar. Arrrgh! Gimana ini?"
Amio terdiam beberapa detik.
^^^"Apa aja yang lo tinggalin di luar?"^^^
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments