Bab 19

Malam hari di kediaman Gultom.

"Beberapa hari ke depan aku memiliki urusan di luar negeri. Apa kamu tidak apa-apa tinggal sendiri di mansion? Hanya ada beberapa pelayan dan bodyguard yang akan menemani kamu."

Orlando bersandar di kepala ranjang sembari memeluk tubuh istrinya.

"Apa kamu akan pergi lama?" tanya Enza mengangkat kepalanya.

"Tidak. Aku hanya akan menemani Padre memeriksa kondisi kesehatannya. Mungkin kali ini kami akan pergi ke China. Aku ingin mencoba pengobatan tradisional menyembuhkan penyakit Padre."

"Sebenarnya aku ingin membawamu bersama kami. Tapi pendidikan mu lebih penting. Aku ingin kamu lulus dengan nilai terbaik."

Orlando mengelus kepala istrinya dengan lembur.

"Baiklah."

"Tapi selama aku pergi kamu harus ingat satu hal! Jangan pernah menatap pria lain lebih dari satu detik!" ujar Orlando dengan tegas.

Enza tersenyum lebar dan mengangguk dengan pelan.

"Baiklah Tuan muda Gultom. Aku tidak akan menatap pria lain lebih dari satu detik. Karena duniaku sudah aku serahkan sepenuhnya untukmu."

Orlando tersenyum lebar mendengar perkataan istrinya.

"Bolehkah aku minta jatah malam ini? Besok subuh kami sudah berangkat." bisik Orlando tersenyum tipis.

Enza mengangguk dengan malu-malu.

Orlando langsung mencium istrinya dan mengungkung tubuhnya di atas ranjang. Ciuman menuntut mereka berlanjut hingga berakhir dengan percintaan yang cukup panas.

#

#

Saat terbangun dari tidurnya. Enza sudah tidak melihat keberadaan suaminya di dalam kamar.

"Mengapa dia tidak membangunkan ku?" gumam Enza dengan tubuh remuk turun dari ranjang. Ia merasa kelelahan setelah digempur habis-habisan oleh suaminya tadi malam.

Enza memutuskan membersihkan diri sebelum berangkat ke kampus.

"Mengapa wajahmu terlihat sangat kusut pagi ini?" tanya seorang wanita merangkul bahu Enza.

"Sandra..." lirih Enza mengalihkan pandanganya ke samping menatap wajah segar sahabatnya.

"Apa suamimu meminta jatah berkali-kali lagi?" tanya Sandra dengan wajah polos.

"Orlando akan pergi ke China menemani proses pengobatan tradisional ayah mertuaku. Aku belum tahu kapan mereka akan kembali." curhat Enza menghela napas berat.

"Jadi kamu tidak rela berjauhan dengan suamimu?" sahut Sandra berusaha menahan senyumnya melihat wajah sedih sahabatnya.

"Tentu saja! Istri mana yang kuat ditinggal lama oleh suaminya!" tegas Enza dengan wajah kesal.

Sandra tertawa lepas mendengar ucapan tegas sahabatnya.

Kedatangan Fidelis menghentikan obrolan mereka.

"Bagaimana? Apa kalian sudah menemukan tempat magang untuk bulan depan?" tanya Fidelis menghampiri keduanya.

"Belum. Kemungkinan besar aku akan bergabung dengan perusahaan ayahku." sahut Sandra dengan wajah setengah yakin.

"Bagaimana dengan mu?" tanya Fidelis menatap wajah bingung Enza.

"Meskipun semua keluarga besar ku berasal dari keluarga pengusaha. Tapi aku ingin mencari perusahaan lain sebagai tempat magang. Aku ingin maju dan berkembang dengan kemampuan ku sendiri. Aku tidak ingin di istimewa-kan di tempat magang nanti." kata Enza dengan wajah yakin.

"Aku tidak ingin di dalam kesuksesan ku ada campur tangan keluargaku." tambah Enza penuh keyakinan.

"Aku cukup kagum dengan pemikiran mu." puji Fidelis tersenyum tipis.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa yang akan kau lakukan setengah tahun ke depan?" tanya Cassandra penasaran.

"Aku akan magang di perusahaan kedua orang tuaku. Kebetulan mereka ingin aku belajar mengenai organisasi perusahaan sebelum menjabat sebagai CEO baru yang akan menggantikan mereka dua tahun lagi."

"Menjadi anak tunggal bukanlah hal yang mudah." tambah Fidelis dengan wajah sedih.

"Jangan khawatir. Apapun yang kau lakukan dan kerjakan ke depannya akan kami support dengan baik. Selama pekerjaan yang kau lakukan tidak melenceng dari hukum." nasehat Enza menepuk bahu sahabatnya dengan lembut.

"Ya tentu saja. Jangan khawatir. Kami pasti akan mendukung mu." timpal Cassandra tersenyum hangat.

"Sebaiknya kita masuk ke dalam kelas sebelum Mr. Sutomo datang." kata Enza melanjutkan langkahnya.

#

#

Sebulan kemudian

Sebulan ini Enza menjalani hari-harinya dengan tidak bersemangat. Orlando belum kembali setelah 1 bulan menetap di China menemani ayahnya.

Meskipun Orlando masih sering mengabari Enza selama sebulan ini. Namun, entah mengapa hari ini Orlando tidak mengabarinya.

Menjelang malam, Enza kembali menghubungi nomor internasional milik suaminya. Namun, panggilan itu tidak tersambung. Enza berusaha berfikir positif. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan perasaan gusarnya.

Di luar mansion Gultom

Sebuah mobil hitam berhenti dan terparkir di halaman mansion. Sepasang suami istri turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam mansion.

"Tuan muda, Nyonya muda." sapa para pelayan dan bodyguard saat melihat kedatangan Nica dan Luiz.

"Apa adik iparku ada di mansion?" tanya Nica dengan tatapan lembut menatap para pelayan.

"Nona muda ada di kamarnya, Nyonya." sahut kepala pelayan dengan ramah.

Dari kejauhan Nica melihat seorang wanita muda terlihat melangkah menuruni tangga sembari membawa teko kaca.

"Kakak? Kenapa tidak mengabari ku sebelum berkunjung?" tanya Enza melangkah kearah Nica dan Luiz.

Nica tersenyum tipis dan berucap dengan lembut. "Maaf tidak mengabari mu terlebih dulu. Tapi kami datang karena masalah urgent."

"Kami akan berangkat ke China satu jam lagi. Apa kamu mau ikut bersama kami?" tanya Nica to the point.

"Kenapa sangat tiba-tiba? Apa padre baik-baik saja? Padre tidak apa-apa kan?"

Raut wajah Nica berubah sedih mendengar pertanyaan adik iparnya.

"Sepertinya Padre tidak akan hidup lebih lama lagi. Karena kondisinya sudah sangat kritis. Orlando meminta kami datang dan menemani Padre di hari terakhirnya."

"Jika kamu mau ikut, kami akan membawamu bersama kami."

"Aku..."

Ada sedikit keraguan di hati Enza. Satu sisi dia sudah berjanji akan lulus dengan nilai memuaskan dan mengikuti magang. Tapi dilain sisi Enza juga harus ikut bersama Nica ke China sebagai seorang menantu.

"Apa Orlando tidak mengabari mu?"

Enza menggeleng dengan wajah sedih.

Nica menghela napas menatap wajah sedih adik iparnya.

"Ikutlah dengan kami sebagai seorang menantu." kata Nica menatap adik iparnya.

"Baiklah. Ayo kita berangkat."

Tanpa berganti terlebih dahulu, Enza mengikuti langkah Nica dan suaminya dari belakang.

"Aku akan menyusul suamiku ke China. Tolong jaga mansion dengan baik." pinta Nica kepada kepala pelayan sebelum masuk ke dalam mobil.

Semua putra-putri, menantu dan cucu-cucu Ocean terbang ke China malam ini juga menggunakan jet pribadi keluarga Gultom.

#

#

Beijing, China.

Di salah satu rumah sakit swasta di China. Seorang pria paruh baya berbaring dengan tubuh tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.

Ditemani seorang dokter muda perempuan. Orlando duduk di samping ranjang rawat ayahnya dengan kepala tertunduk.

"Lebih baik kamu mengikhlaskan kepergian Ayah mu. Kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena kanker di dalam tubuhnya sudah menyebar." kata dokter itu dengan wajah sedih.

"Maafkan aku tidak bisa membantu terlalu banyak. Ikhlaskan saja. Mungkin ayahmu sudah tidak kuat menjalani pengobatan ini."

Dokter itu menepuk-nepuk punggung Orlando dengan lembut.

Tiba-tiba kedua mata Ocean terbuka dengan perlahan dan memandang langit-langit rumah sakit dengan tatapan sayu. Tangan lemah itu bergerak menggapai tangan Orlando yang saling bertautan di atas ranjang.

Orlando mengangkat kepalanya saat merasakan sentuhan tangan ayahnya.

"Padre sudah tidak kuat lagi. Ijinkan Padre menyusul Madre."

Ocean tersenyum tipis dan pura-pura tegar menatap putranya.

"Sean sudah sadar. Rasa bersalah di hati Padre akhirnya menghilang dengan perlahan."

"Jangan berucap seperti itu Padre. Kami akan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Padre." nasehat Orlando membujuk ayahnya agar mau bertahan.

Air mata Ocean mengalir membasahi pipinya.

"Apa kamu tahu mengapa Padre bertahan hidup selama tiga tahun ini? Alasannya hanya satu, Padre tidak ingin meninggal dengan satu penyesalan besar."

"Padre takut kematian Sean tiga tahun lalu menjadi penyesalan terbesar di hati Padre."

"Sekarang Padre sudah merasa lega. Akhirnya Sean sudah sadar dan menikah dengan wanita pilihannya."

"Biarkan Padre menyusul Madre dan menemani Madre di surga. Padre tidak ingin Madre hidup dalam kesepian disana."

"Akhir-akhir ini Madre sering mengunjungi Padre di dalam mimpi. Ia menatap Padre dengan wajah bahagia."

Ocean menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan wajah bahagia.

"Nak. Padre sudah pasrah. Padre sudah tidak kuat menjalani pengobatan ini. Biarkan Padre menyusul Madre. Hanya ini permintaan terakhir Padre sebelum menemui Madre."

"Tugas Padre sudah selesai. Berbahagialah dengan keluarga kalian masing-masing."

Air mata mengalir deras dari sudut mata Ocean. Ocean tersenyum tipis sebelum kedua mata biru indahnya terpejam untuk selama-lamanya.

Orlando tiba-tiba berdiri dan menatap tubuh kaku ayahnya dengan tubuh bergetar.

"Padre! No!"

"Bangun Padre!"

Orlando memeluk tubuh ayahnya dan berucap dengan suara bergetar.

"Jangan tinggalkan Orlando, Padre!"

"Bangun!"

Suara tangisan pilu itu membuat dokter muda itu merasa iba. Ia mengelus punggung bergetar itu dengan mata berkaca-kaca.

"Turut berduka cita." lirih wanita itu dengan suara pelan.

BRAK

Tiba-tiba pintu kamar itu dibuka dengan kuat dari luar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!