Tidak seperti biasanya, malam itu terasa sangat mencekam. Hiruk pikuk di istana timur malam itu seketika menghilang. Hanya terdengar suara dentingan antara piring dan sendok dari meja makan sang majikan.
Ratih menatap pria yang membelakanginya itu dengan serius. Lagi-lagi ia hanya disuguhkan pemandangan punggung dari Tuan-nya. Pria itu terlihat lebih santai dengan kaos polo berwarna putih.
"Cuihh."
Pria itu terlihat mengambil tisu dan memuntahkan makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.
"Buang ini!"
Nyonya Adhisti menginstruksikan seorang pelayan untuk mengambil piring itu lalu membawanya pergi dari hadapan sang majikan. Ratih melirik piring yang dibawa pelayan itu. Ternyata berisi daging steak dengan warna yang menggoda. Ratih bersuara dalam hati, bisa-bisanya makanan langka bagi masyarakat biasa dimuntahkan saja oleh sang majikan. Ratih tersenyum miris saat daging steak tadi dimasukkan ke tempat sampah.
"Dasar orang kaya," lirih Ratih
"Kamu mengatakan sesuatu?" Tanya Sofia yang berdiri di sampingnya.
Ratih menggeleng, "Sampai kapan kita berdiri disini?"
Mulut Sofia mendekat ke telinga Ratih, "Sampai jam bekerja selesai." Sofia menunjuk jam dinding yang masih menunjukkan pukul 8 malam.
Prang!
Sang majikan membanting sendok dan garpunya di atas piring yang makanannya masih tersisa banyak. Pria itu mengelap mulutnya lalu berdiri dan meninggalkan meja makan.
Seluruh pelayan langsung meluruhkan badannya saat sang majikan pergi. Akhirnya mereka bisa keluar dari situasi yang sangat mencekam.
"Ayo kita selesaikan pekerjaan kita," ajak Sofia untuk membersihkan piring-piring di meja makan yang mayoritas makanannya masih utuh.
"Apa tidak sayang kalau dibuang?" Ratih merasa hatinya ngilu saat melihat makanan yang hanya dicicip oleh majikannya. Ia jadi teringat dengan beberapa warga di kampungnya yang makan saja masih susah.
"Sudahlah Ratih, jangan memikirkan hal lain, kita lakukan saja tugas kita," ucap Sofia meyakinkan.
Dengan gerakan lambat ia mengambil piring itu dan mulai mengumpulkannya menjadi satu. Setelahnya Sofia membuang sisa makanan itu, sementara Ratih mencuci piring-piring itu.
"Perhatian semuanya," ucap Nyonya Adhisti yang membuat semua pelayan menatapnya.
"Karena Tuan sudah kembali, saya harap kalian segera ke paviliun setelah pekerjaan kalian selesai."
Perkataan Nyonya Adhisti itupun di angguki oleh seluruh pelayan di sana. Setelah pekerjaan selesai mereka pun mulai melangkah meninggalkan istana utama. Ratih menyusun piring yang baru dicucinya dengan rapi lalu menyusul Sofia untuk kembali ke paviliun.
Seperti biasanya, di jam setelah bekerja, semua pelayan berdiri di depan pintu kamar mandi untuk menunggu antrian. Banyak dari mereka yang ingin melakukan ritual malam, mulai dari mandi malam, cuci muka, dan lain sebagainya.
Ratih berdiri gelisah sambil melihat antrian yang masih banyak. Sungguh ia sangat tidak kuat. Alhasil ia pun keluar dari paviliun untuk mencari kamar mandi di luar paviliun. Namun sayangnya, kamar mandi di luar paviliun kondisinya sama saja dengan yang di dalam.
"Aku tidak kuat untuk menahannya," ucap Ratih sambil memegangi perutnya. Entah apa yang ia makan hari ini, tapi perutnya saat ini sangat mulas.
Ratih melihat istana timur didepan sana. Ia berpikir untuk menggunakan kamar mandi di sebelah dapur saja. Namun saat mengingat ini jam berapa, ia langsung mengurungkan niatnya.
"Tapi bukankah ini tidak terlalu malam," ucap Ratih pada dirinya sendiri. Ia juga berpikir walaupun lebih dari pukul sepuluh malam, namun waktu belum menunjukkan tengah malam, jadi tidak masalah jika ia pergi ke istana timur. Lagipula dalam keadaan mendesak seperti ini, tidak akan ada masalah bukan.
Ratih pun berlari terbirit-birit sambil menahan desakan di usus besarnya. Syukurnya rumah ini tidak pernah dikunci saat malam hari, jadi aman untuk keluar masuk. Ratih dengan tergesa-gesa masuk ke kamar mandi di dekat dapur untuk mengeluarkan hajatnya.
"Huh lega," ucap Ratih sambil mengelus perutnya.
Sesaat keluar dari kamar mandi, Ratih tertegun melihat pemandangan remang-remang di depannya. Hanya lampu berdaya rendah yang dihidupkan pada malam itu.
"Ternyata tidak ada masalah masuk kesini lebih dari pukul sepuluh malam," ucap Ratih percaya diri. Buktinya keadaannya sekarang masih baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Ekhem!"
"SIAPA DISANA?!"
Ratih terkesiap setelah mendengar deheman itu. Ia melihat ke sekeliling dapur yang hanya disinari cahaya remang-remang.
"SIAPA?!"
Ratih meraba-raba dapur untuk mengambil sebilah pisau. Sungguh ia sangat takut bahkan bulu kuduknya ikut berdiri. Ia hanya waspada terhadap keberadaan hantu yang mungkin saja sedang mengganggunya saat ini.
"Siapa kau?"
Ratih menodongkan pisau ke pojok dapur yang tidak disinari apapun. Ia yakin sosok asing itu sedang berdiri di depan sana. Tapi tunggu-tunggu, sepertinya suara ini tidak terdengar asing di telinga Ratih.
"Kamu yang siapa?" Balas Ratih yang masih menodongkan pisaunya.
"Ck, sudah melanggar aturan tapi tetap tidak tahu malu."
Ratih mengernyitkan dahinya, sungguh ia tidak bohong kalau pernah mendengar suara bariton itu.
Langkah kaki orang itu semakin mendekat dan tubuh Ratih juga semakin mundur.
"Awas kalau kamu macam-macam!" peringat Ratih.
Bruk
Punggung Ratih menabrak dinding. Gawat, tidak ada jalan lagi bagi Ratih untuk mundur. Diri Ratih semakin terancam saat orang itu semakin mendekat.
Bau cigarette bercampur mint, batin Ratih.
Ratih menajamkan indra penciumannya. Ini adalah wangi baru yang belum pernah ia cium sebelumnya. Entahlah, ada kesan candu saat mencium bau ini.
"Apa kau pikir aku penjahat, huh?"
Orang itu merebut pisau dari tangan Ratih lalu mengurung tubuh Ratih dengan salah satu tangannya.
Sementara itu diluar sana bulan purnama semakin naik ke atas cakrawala. Dari cahaya itu Ratih bisa melihat dengan jelas seperti apa tampang seseorang yang baru saja mengusik dirinya.
Ratih mengamati dengan seksama pahatan indah yang diciptakan Tuhan yang saat ini sedang menatapnya dengan intens. Rambut dark brown yang messy, alis tebal, bulu mata yang lebat, bola mata biru safir, hidung mancung, bibir atas dengan philtrum yang tajam, dan dada yang––
DADA?!, batin Ratih sambil menutup mulutnya tidak percaya.
"Terpesona, huh?"
Ratih tidak percaya dengan penampakan didepannya. Sekarang ia mengerti siapa manusia yang berada di depannya. Jika dipikir-pikir tidak akan ada orang lain yang berani masuk ke istana mewah ini kecuali majikannya sendiri.
"Tu—tu—an," gagap Ratih sambil menunduk.
Nathan mundur selangkah dari tubuh Ratih yang lalu memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. Ratih yang ditatap seperti itu tentu merasa tidak nyaman. Ditambah dengan keadaan majikannya yang tanpa menggunakan atasan.
Ternyata wajah Tuan seperti ini, batin Ratih.
"Bagaimana? Tampan bukan?"
"Uhuk uhuk."
Ratih tersedak mendengar pertanyaan Nathan. Bagaimana bisa pria itu mendengar suara hatinya.
"Maaf Tuan saya tadi hanya menggunakan kamar mandi karena kamar mandi paviliun penuh," jelas Ratih dengan jujur.
"Apa ada yang meminta penjelasan?"
Ratih menatap bola mata biru safir dihadapannya, "Saya tahu saya salah Tuan, saya telah melanggar peraturan, tolong ampuni saya."
"Mengampunimu ya?" Nathan memainkan pisau ditangannya dengan lihai. Ratih yang melihatnya hanya bisa meneguk ludahnya dengan kasar.
"Besok malam datanglah ke kamarku."
"APA TUAN?!"
Ratih dibuat tercengang dengan pernyataan yang terdengar seperti perintah yang baru saja diucapkan Nathan. Ucapan Nathan tentu saja membuat Ratih tidak bisa berfikir positif. Ia datang kesini hanya untuk bekerja dengan baik, mana mungkin ia mau datang ke kamar majikannya secara pribadi.
Dengan gerakan cepat, Nathan meletakkan pisau yang ia bawa tepat didepan leher Ratih, "Datang dan terima hukuman, atau tidak..," Nathan semakin mendekatkan pisau itu, "Darah segar dari gadis seperti dirimu pasti akan terlihat menggoda," ucap Nathan.
Ratih yang tidak bisa berpikir jernih terpaksa menyetujui perintah Nathan, "B—baik T—uan."
Nathan menjauhkan pisau itu lalu mundur beberapa langkah dari tubuh Ratih, "Tidak mau pergi?"
Mendengar lampu hijau dari Nathan, Ratih pun berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari istana utama. Namun sebelum pergi ia tidak lupa untuk menundukkan badannya. Walaupun diperlakukan seperti itu, Ratih masih sadar dengan siapa ia bekerja.
"Kamu kemana saja Ratih, aku mencarimu di paviliun dari tadi," cecar Sofia saat melihat Ratih yang baru saja masuk ke dalam kamar dengan wajah pucat.
"Jangan tanya aku dulu Sof, aku hanya ingin tidur," ucap Ratih lalu berbaring di ranjangnya.
Sofia menatap Ratih yang berbaring membelakanginya, "Jangan sembunyikan apapun Ratih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments