Cinta Adalah Luka
Retania Utami, tersenyum senang saat tau kalo kakak laki lakinya yang menelponnya.
Jarang jarang kakak laki lakinya-Pradipta-memberi kabar.
Pradipta bekerja di sebuah kapal pesiar yang ngga akan mudah mendapat sinyal kalo berada di tengah laut.
"Lingga, aku tinggal bentar, ya," pamitnya pada rekan kerjanya. Mereka akan melakukan visit pada pasien rawat inap khusus
"Mau kemana? Telpon dari pacar, ya?" tanya Lingga ingin tau. Lingga, laki laki yang seusia dengannya, satu profesi dan dulunya satu kampus.
"Ngaco. Masku nelpon," bantah Retania dengan senyum lebarnya.
"Oh iya. Oke." Lingga langsung maklum. Retania sudah pernah mengatakan padanya kalo dia memiliki kakak laki laki yang bekerja di kapal pesiar.
"Ngga lama, kok," senyumnya sambil berjalan menjauh dan meletakkan ponsel ke telinganya.
Dia sudah sangat merindukan Mas Dipta. Sudah satu minggu mereka tidak bersua lewat telpon.
Lingga hanya mengangguk. Memperhatikan wajah ceria rekannya dengan dada berdesir hangat.
Setelah beberapa bulan mengenal Retania, jantungnya selalu memberikan isyarat yang aneh.
Wajarlah kalo dia naksir juga dengan Retania. Sama seperti yang lainnya.
Gadis itu cantik, mandiri dan pintar.
"Hai, mas. Kok, baru telpon," rajuk Retania sambil menyandarkan punggungnya dii dinding rumah sakit.
Terdengar kekehan masnya.
"Mas udah ngajuin cuti. Dua hari lagi kita akan kumpul."
Pradipta menatap wajah adik tersayangnya yang selalu dia tinggalkan berbulan bulan karena pekerjaannya.
"Syukurlah," seru Retania tertahan, dengan wajah penuh binar. Ini kabar yang paling membahagiakan.
"Kamu cantik dengam seragam dokter," puji Pradipta bangga.
"Bosen, ah. Muji yang sama terus," tawa Retania manja.
Pradipta juga makin berderai tawanya.
"Mas cuma mau ngomong itu aja. Kamu juga lagi kerja, kan."
"Iya, mas."
"Ya udah. Dua hari lagi, ya. Mas udah beliin kamu banyak oleh oleh."
Wajah Retania tambah bercahaya saking bahagianya.
"Udah ngga sabar, nih."
"Ngga sabar apa? Masnya atau hadiahnya....?"
"Dua duanya." Tawa keduanya pun makin lepas.
*
*
*
Sekarang Lingga dan Retania masuk ke dalam salah satu ruangan pasien rawat inap eksklusif.
Seorang laki laki muda tampan sedang terbaring dengan salah satu kaki yamg digips.
Seorang gadis cantik berada di dekatnya bersama istri pemilik rumah sakit.
Tatap Retania bertemu dengan manik tajam laki laki muda itu.
"Pagi, bu," sapa Lingga membuat Retania mengalihkan tatapnya dari netra laki laki tampan itu.
Istri pemilik rumah sakit hanya melirik keduanya sekilas. Wanita yang masih sangat cantik di usia yang sudah mendekati angka lima puluh tahun itu memang memiliki aura angkuh yang membuat para tenaga medis sungkan dan ngga betah berlama lama berada di dekatnya.
"Lakukan pemeriksaan dengan teliti," perintahnya sambil menggandeng lengan gadis cantik ke arah sofa.
"Ya, bu," jawab Lingga. Sementara Retania hanya menganggukkan kepalanya saja.
Kemudian keduanya mendekati ranjang laki laki itu.
Davendra Arkatama. Usia dua puluh tujuh tahun.
Retania baru saja membaca indentitas pasiennya.
Retania mendadak merasa canggung dan gugup ketika sepasang manik tajam itu terus menatapnya.
Untung saja dia dan Lingga sudah membuat kesepakatan kalo pasien laki laki akan ditangani Lingga. Dirinya akan menangani pasien perempuan saja.
Retania berusaha tetap tenang sambil mencatat apa saja yang diinformasikan oleh Lingga.
"Retania," eja laki laki muda itu membuat tatap keduanya bertemu, tapi sesaat kemudian Retania mengalihkannya.
Dia ngga mau mencari masalah dengan mama laki laki ini.
"Mereka hanya dokter magang," jelas mamanya.
Laki laki muda itu-Davendra Arkatama-seolah ngga peduli dengan peringatan halus mamanya.
"Nama yang indah," pujinya dengan tatapan dalamnya.
Retania hanya tersenyum tipis tapi dia ngga bisa menyembunyikan rona merah kepiting rebus di wajahnya.
"Namanya biasa aja, Daven. Namaku lebih bagus. Ya, kan, tante," cetus gadis cantik itu seolah meminta dukungan pada istri pemilik rumah sakit.
"Tentu saja nama kamu lebih elegan, sayang," puji mama Davendra sambil mengusap lembut lengan putri sahabatnya.
"Nama pasaran itu," komen Davendra cuek. Tatapnya masih memindai dokter cantik yang tampak acuh tapi tersipu dengan pujiannya.
Dalam hati dia tersenyum.
"Enak aja," cebik gadis cantik itu jengkel.
Retania merasakan tatapan marah gadis cantik itu menyorot padanya.
Apa salahnya, batin Retania ngga tenang. Kalo bisa dia ingin segera keluar dari ruangan yang mulai menyemburkan hawa panas.
Sayangnya dia harus menunggu Lingga menyelesaikan tugasnya.
Sementara tatap manik Davendra terus saja mengarah padanya. Anehnya Retania merasakan kegugupan yang belum pernah dia alami selama ini. Jantungnya juga berdegup kencang. Perutnya mendadak mulas yang aneh.
Dia ingin keluar sekarang.
Untunglah nggak lama kemudian Lingga bisa menyelesaikan pekerjaannya.
"Kami pergi dulu, bu," pamit Lingga sangat amat sopan. Maklum saja, kalo ada kecacatan dari sikap mereka, istri pemilik rumah sakit ini bisa saja merekomendasikan pada suaminya untuk membatalkan program internship mereka dan memecat mereka kapan saja dari rumah sakit suaminya.
"Semuanya ngga ada masalah, kan? Baik baik saja?" todongnya dengan suara berwibawa.
"Ya, bu. Baik baik aja." Lagi lagi Lingga yang menjawabnya.
"Bagus. Kalian bisa pergi," usirnya dengan sikap meremehkan.
"Ya, bu." Walau dongkol tapi mereka tetap memasang wajah santun.
Retania menghembusksn nafas lega begitu keluar dari ruangan yang sudah memgambil sebagian besar oksigennya.
"Tegang, ya," kekeh Lingga pelan.
"Iya." Retania menaikkan kedua sudut bibirnya.
"Ayo, kita visit ke kamar lain," ajak Lingga
"Ayo."
*
*
*
"Reta, kamu udah ke kamar pasien anak bungsunya dokter Arkatama Reksa?" sambut Zulfa dengan mata penuh binar.
"Sudah." Retania melirik Lingga yang langsung menghampiri koloninya, sesama pria.
"Tampan banget, ya. Sayangnya ada mba lampir di sebelahnya," timbrung Elza.
"Hati hati ngomongnya." Zulfa memberi peringatan.
Elza hanya berdecak.
"Pas kamu periksa, dia ngga banyak ngomong, Ret?" tanya Elza ingin tau.
Soalnya waktu dia dan Zulfa yang memeriksa pangeran tampan itu, si lampir itu banyak sekali memberikan larangan larangannya.
"Yang periksa dia Lingga," jelas Retania kemudian mengulum senyumnya.
"Ooo, syukurlah. Si lampir itu tunangannya, ya?" tukas Elza dengan nada penuh tanya.
"Sayang sekali," lanjutnya lagi. Masih dengan cibiran khasnya.
"Sudah, Za. Lagian buat apa ngurusin orang kayak.gitu," ucap Zulfa berusaha sabar.
Mereka butuh nilai tinggi agar bisa lulus dari internship, sehingga ngga perlu mengulang lagi.
"Iya, sih. Cuma kesel aja sama sikap sombongnya," sungut Elza
"Wajarlah. Bagi mereka kita hanya remahan rengginang," kekeh Zulfa. Retania juga tertawa bersama Elza.
Retania tanpa sadar mengingat tatapan dalam anak pemilik rumah sakit itu, seketika jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.
Jangan berharap.lebih Reta. Kamu hanya remahan rengginang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Delita bae
💪💪💪💪💪💪👍👍🙏
2024-11-14
1
Uthie
coba mampir 👍
2024-11-14
1
Vajar Tri
remahan rengginang juga yang antri buayakkk 🤭🤭🤭
2024-09-28
1