Bisikan di Balik Bayang

BAB 04 : BISIKAN DI BALIK BAYANG.

Langit mulai memerah ketika Anantari dan Laura terbangun di tengah hutan yang tidak mereka kenali. Keduanya masih merasakan kejanggalan dari peristiwa sebelumnya, ketika mereka tersedot ke dalam cermin di rumah tua yang mereka kunjungi. Dunia di sekitar mereka terasa nyata, tetapi aneh—seolah-olah mereka sedang berada di dalam mimpi yang sulit dipahami.

Laura bangkit sambil mengusap keningnya yang berdebu. "Apa ini? Di mana kita sekarang?"

Anantari berdiri perlahan, matanya mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang redup. “Aku tidak tahu. Tapi... sepertinya ini bukan lagi tempat yang tadi.” Pandangannya tertuju ke arah sosok yang berdiri di kejauhan—sosok Naura yang mereka lihat sekilas sebelum semuanya berubah.

Tanpa berpikir panjang, Anantari berlari ke arah Naura, sementara Laura mengikuti di belakangnya dengan waspada. Namun, semakin dekat mereka mendekati sosok itu, Naura semakin jauh, seolah-olah setiap langkah mereka justru menjauhkan mereka dari tujuan.

“Naura! Tunggu!” teriak Anantari, suaranya pecah oleh kegelisahan.

Tetapi gadis itu tidak menoleh. Hanya bayangan samar tubuhnya yang terlihat di antara pepohonan tinggi dan kabut tipis yang mulai turun, membuat suasana semakin suram. Kegelapan di sekitar mereka semakin padat, dan tiba-tiba, Naura menghilang begitu saja, lenyap seperti bayangan yang tertelan oleh kegelapan.

Laura berhenti, terengah-engah. “Ini tidak masuk akal. Dia ada di sana, lalu menghilang begitu saja. Kita harus hati-hati, Anantari. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini.”

Anantari merasakan ketakutan merayap dalam dirinya, tetapi dia tidak bisa berhenti sekarang. “Kita tidak bisa mundur, Laura. Naura butuh kita.”

Mereka berdua memutuskan untuk terus berjalan di tengah hutan gelap itu. Angin berhembus dingin, membuat daun-daun gemerisik seolah berbisik di antara pepohonan. Di sekeliling mereka, suara-suara aneh mulai terdengar—seperti suara langkah kaki di kejauhan, atau mungkin hanya hembusan angin yang bermain-main dengan imajinasi mereka.

Setiap suara semakin membuat Laura gelisah. “Kamu dengar itu?” tanya Laura, suaranya pelan tapi penuh kecemasan.

Anantari mengangguk. “Seperti ada yang mengikuti kita.”

Mereka terus berjalan tanpa henti, namun seolah tidak pernah mencapai tempat yang pasti. Rasanya seperti mereka hanya berputar-putar di tempat yang sama, dikelilingi oleh bayangan dan suara aneh yang seolah-olah mengawasi mereka.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara lembut yang samar—sebuah bisikan. “Jangan percaya pada bayangan…”

Anantari berhenti, menoleh ke sekeliling. “Kamu dengar itu?”

Laura mengangguk, wajahnya pucat. “Siapa yang bicara?”

Namun, tidak ada yang muncul. Hanya bisikan itu, mengambang di udara seperti pesan samar dari dunia lain. Suara itu terdengar aneh, penuh peringatan, namun tidak ada sosok yang muncul untuk mengatakannya. Seolah bayangan itu sendiri yang berusaha memberikan peringatan kepada mereka.

Ketika mereka terus berjalan, bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, “Jangan dekati cermin…”

Cermin. Anantari tersentak. Cermin itu—cermin yang membawa mereka ke tempat aneh ini—mungkin kunci dari semua misteri yang sedang mereka hadapi. Tapi apa maksud dari peringatan itu? Mengapa mereka harus menghindari cermin?

Laura mulai tampak gelisah. “Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak tahu di mana kita berada, dan kita terus mendengar suara aneh. Anantari, aku rasa kita harus menemukan jalan keluar dari sini.”

Anantari ingin setuju, tetapi sesuatu di dalam dirinya berkata untuk terus maju. “Kita harus mencari Naura. Mungkin dia ada di dekat sini, dan dia mungkin tahu cara kita kembali.”

Mereka melanjutkan perjalanan mereka di tengah hutan yang semakin gelap. Di depan, bayangan besar pohon dan semak belukar tampak menutupi jalan mereka. Namun, di tengah-tengah semua itu, ada sesuatu yang terlihat aneh. Sebuah cermin—cermin besar berdiri tegak di antara pepohonan, bingkainya berkilauan di bawah sinar redup yang memancar dari langit.

Laura melangkah mundur saat melihatnya. “Cermin itu… itu sama seperti yang di rumah tua tadi.”

Anantari mendekat perlahan. Dia bisa melihat pantulan dirinya dan Laura di dalam cermin, tapi ada sesuatu yang berbeda dengan pantulan tersebut. Bayangan mereka tampak memudar di dalam kaca, seolah-olah mereka sedang menghilang secara perlahan.

“Jangan dekati cermin…” bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dari sebelumnya.

Anantari berhenti beberapa langkah dari cermin, mencoba memahami peringatan itu. “Apa yang sedang terjadi di sini?” gumamnya pada dirinya sendiri. “Kenapa semua ini terasa salah?”

Laura memegang lengannya, matanya dipenuhi dengan ketakutan. “Kita harus pergi sekarang. Ini tidak aman.”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, cermin itu bergetar. Sebuah bayangan muncul di dalamnya—bukan pantulan mereka, melainkan sosok lain, lebih besar, lebih gelap. Wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi auranya terasa menakutkan, seolah-olah ia sedang mengawasi mereka dari dimensi lain.

Anantari bisa merasakan ketakutan yang mendalam saat sosok itu perlahan-lahan mendekat ke permukaan cermin, seolah ingin menembus dunia mereka. Tangan gelapnya terulur, hampir menyentuh permukaan kaca. Anantari mundur dengan cepat, menarik Laura bersamanya.

“Kita harus lari!” teriak Laura.

Tanpa pikir panjang, mereka berdua berlari menjauh dari cermin itu. Angin bertiup lebih kencang, dan suara bisikan semakin keras di telinga mereka. Mereka tidak peduli lagi dengan arah, yang penting hanyalah menjauh dari cermin dan sosok misterius yang mencoba mendekat.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah bukaan kecil di hutan. Anantari berhenti sejenak, terengah-engah. Laura tampak kebingungan, namun matanya masih dipenuhi ketakutan.

“Apa yang barusan kita lihat?” tanya Laura dengan napas yang tersengal.

Anantari tidak punya jawaban. Dia hanya tahu satu hal: apa pun yang mereka hadapi, semuanya jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Bayangan yang mengintai mereka bukan hanya permainan cahaya dan kegelapan, tetapi sesuatu yang hidup, sesuatu yang menginginkan mereka.

“Kita harus temukan Naura,” kata Anantari tegas. “Dia pasti ada di sini… dan dia mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Laura mengangguk pelan. “Tapi kita harus berhati-hati. Bayangan itu… dia mengawasi kita.”

^^^TBC~^^^

Terpopuler

Comments

Ef

Ef

makin penasaran.

2024-10-21

0

Zendria Sunflower 🌻

Zendria Sunflower 🌻

cuy cermin, ane juga ada cerita draf tentang cermin wkwkwk, seru

2024-09-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!