Gadis yang Hilang

Bab 02 : Gadis yang Hilang

Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan Naura Agatha di taman belakang sekolah. Gadis itu dengan senyuman ramahnya membuat Anantari merasa lebih diterima di kota ini. Namun, sejak hari itu, Naura tak pernah terlihat lagi. Tidak di sekolah, tidak di sekitar taman, bahkan ketika Anantari berusaha mencarinya di tempat-tempat yang mereka bicarakan, Naura seolah menghilang begitu saja.

Di kelas, tidak ada yang tampak mempermasalahkan ketidakhadiran Naura. Anantari sempat mencoba bertanya pada beberapa murid lain, tapi jawabannya selalu sama: “Naura mungkin sedang sakit” atau “Mungkin ada urusan keluarga.” Namun, ada sesuatu yang tidak masuk akal bagi Anantari. Bahkan jika Naura sedang sakit, setidaknya dia akan mengirim pesan atau memberi tahu seseorang, bukan? Apalagi, selama percakapan terakhir mereka, Naura terlihat sangat antusias tentang eksplorasi gedung tua itu. Rasa gelisah mulai merasuki pikiran Anantari.

Hari itu, ketika jam sekolah berakhir, Anantari memutuskan untuk tidak pulang langsung ke rumah. Ada satu hal yang ingin dia selesaikan—menemukan Naura atau setidaknya mendapatkan petunjuk tentang ke mana gadis itu pergi. Dia berjalan menuju taman belakang sekolah, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya jawaban.

Saat Anantari tiba di taman, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Daun-daun berguguran, dan angin yang dingin bertiup lembut di antara pepohonan, seolah membawa bisikan-bisikan yang tak terucapkan. Anantari melangkah perlahan ke tempat di mana dia terakhir kali berbicara dengan Naura. Bangku tua tempat mereka duduk masih ada di sana, tertutup daun kering. Tapi tidak ada tanda-tanda dari Naura. Gadis itu benar-benar menghilang tanpa jejak.

Saat menelusuri taman lebih jauh, mata Anantari tertuju pada sebuah kertas yang tergeletak di tanah, setengah terkubur oleh daun-daun. Dia memungutnya dan membersihkan debu yang menempel. Kertas itu adalah sobekan dari sebuah halaman buku harian, dengan tinta yang sedikit luntur karena kelembapan. Mata Anantari melebar ketika melihat tulisan di atasnya:

Gedung tua itu... ada yang salah di sana. Aku tahu aku seharusnya tidak pergi, tapi aku harus menemukan jawabannya.

Kata-kata itu terasa familiar, seolah ia pernah membacanya sebelumnya. Tiba-tiba, Anantari teringat akan buku harian tua yang ditemukannya di loteng rumah beberapa hari lalu. Buku itu juga dipenuhi dengan pesan-pesan misterius dan simbol aneh. Apakah ini ada kaitannya dengan hilangnya Naura? Apakah gadis itu memutuskan untuk pergi ke gedung tua yang diceritakannya sebelum menghilang?

Rasa penasaran Anantari semakin memuncak. Dia tahu satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan pergi ke gedung tua yang dibicarakan oleh Naura. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Gedung tua itu terletak di pinggiran kota, jauh dari pusat keramaian, dan berdasarkan cerita yang ia dengar, tempat itu tidak aman. Apalagi dengan hilangnya Naura, tempat itu semakin terasa penuh teka-teki yang mungkin berbahaya.

Anantari memutuskan untuk mencari bantuan. Ada satu orang yang bisa dia percaya di sekolah baru ini—**Laura Gevari**, teman pertamanya yang lebih berani dan suka tantangan. Sejak pertemuan pertama mereka, Laura sudah menunjukkan minat besar terhadap hal-hal yang bersifat misterius. Jika ada seseorang yang bisa membantunya dalam situasi ini, itu adalah Laura.

Keesokan harinya, Anantari langsung mendekati Laura di waktu istirahat. Mereka duduk di kantin, di meja yang cukup sepi dari keramaian. Anantari tidak membuang waktu untuk menjelaskan situasinya.

"Naura menghilang," kata Anantari tanpa basa-basi. Laura mengangkat alisnya, sedikit terkejut.

"Apa maksudmu menghilang?" tanya Laura sambil menyesap minuman di tangannya.

“Aku sudah tiga hari tidak melihatnya di sekolah. Aku mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Aku bahkan mencoba mencari di taman tempat kami bertemu terakhir kali, tapi dia tidak ada di sana. Dan... aku menemukan ini.” Anantari menunjukkan sobekan kertas yang ia temukan kemarin. Laura mengambil kertas itu, memeriksanya dengan cermat, lalu menghela napas.

“Jadi, kamu pikir dia pergi ke gedung tua itu, kan?” tanya Laura, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

Anantari mengangguk. “Aku tidak tahu pasti. Tapi dia sempat bilang ingin ke sana, dan sekarang dia menghilang. Aku rasa ada hubungannya dengan buku harian yang aku temukan di rumah.”

“Buku harian?” tanya Laura, kini terlihat semakin tertarik. “Apa yang ada di dalam buku itu?”

Anantari menceritakan tentang buku harian tua yang ia temukan di loteng rumahnya—tentang tulisan-tulisan misterius, simbol aneh, dan bagaimana hal itu sepertinya memiliki kaitan dengan hilangnya Naura. Laura mendengarkan dengan penuh perhatian, wajahnya berubah serius saat mendengar semua detail yang diberikan Anantari.

“Baiklah,” kata Laura akhirnya. “Kalau Naura benar-benar pergi ke gedung tua itu, kita harus mencarinya. Aku dengar tempat itu memang terkenal dengan cerita-cerita aneh, tapi kalau dia benar ada di sana dan butuh bantuan, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Anantari merasa sedikit lega mendengar dukungan dari Laura. Meski dia tahu ini mungkin berbahaya, dia juga merasa tidak sendirian dalam petualangan ini. Bersama-sama, mereka merencanakan perjalanan mereka ke gedung tua itu pada akhir pekan, saat mereka punya waktu lebih banyak.

**Sabtu Pagi**

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Langit di atas kota tampak abu-abu, seolah-olah menambah kesan suram yang menyelimuti hati Anantari. Dia dan Laura berdiri di depan pagar besi berkarat yang mengelilingi gedung tua itu. Bangunan tersebut berdiri menjulang, meskipun sebagian besar atapnya telah runtuh dan dinding-dindingnya dipenuhi tanaman liar yang merambat. Pintu kayunya setengah terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalamnya.

“Kamu yakin tentang ini?” tanya Anantari, suaranya sedikit gemetar.

Laura menatap gedung itu dengan penuh tekad. “Kalau Naura ada di sana, kita harus menemukannya.”

Dengan langkah hati-hati, mereka berdua melewati pagar dan memasuki halaman gedung. Suara angin yang bertiup di antara celah-celah dinding membuat suasana semakin mencekam. Di dalam gedung, aroma lembab dan debu memenuhi udara. Sinar matahari yang lemah hanya bisa menembus melalui beberapa celah di atap yang runtuh, memberikan cahaya samar di lantai yang dipenuhi serpihan kayu dan kaca pecah.

Saat mereka berjalan lebih dalam ke dalam gedung, Anantari merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan yang tidak nyaman, seperti ada yang mengawasi mereka. Dia menoleh ke arah Laura, yang juga tampak gelisah meskipun berusaha tetap tenang.

“Mungkin kita harus mencari di lantai atas,” kata Laura pelan.

Mereka menaiki tangga kayu yang tampak rapuh. Setiap langkah yang mereka ambil menimbulkan suara derit yang semakin mempertegas suasana horor tempat itu. Saat mencapai lantai dua, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang tampaknya dulu adalah ruang pertemuan. Di sana, di tengah ruangan, ada sesuatu yang langsung menarik perhatian mereka—sesosok bayangan di sudut ruangan.

Anantari merasakan jantungnya berdebar kencang. "Naura?" panggilnya dengan suara bergetar.

Bayangan itu tidak bergerak. Tetapi saat mereka melangkah lebih dekat, sosok itu perlahan-lahan muncul dari kegelapan.

^^^TBC~^^^

Terpopuler

Comments

Ef

Ef

Sampai sini bagus kak, penulisannya juga rapih. Dan ceritanya langsung masuk ke konflik, jadi makin menarik. Semangat kak💪🏻💪🏻

2024-10-21

0

Leviathan (Hiatus - Septe 2025

Leviathan (Hiatus - Septe 2025

ini juga terlalu dalam penggunaan bahasanya, seperti generator AI.

mohon di perbaiki LG thor

2024-10-17

0

Leviathan (Hiatus - Septe 2025

Leviathan (Hiatus - Septe 2025

bahasanya terlalu dalam, lebih disederhanakan

2024-10-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!