Windy, yang duduk tak jauh dari Alice, tiba-tiba mengintip buku Alice, terkejut melihat hasil tulisannya. "Al, bagus banget tulisan kamu," pujinya dengan kagum.
Alice tersenyum kecil, menganggap itu pujian biasa, meski ini bukan pertama kalinya ia dipuji soal tulisannya. "Ajarin dong," lanjut Windy sambil cemberut, "tangan aku kaku banget, malah udah kebas nih."
Gara-gara perkataan Windy, anak-anak cewek lainnya ikut mendekat, penasaran dengan tulisan Alice. Mereka berdecak kagum, mengakui bahwa Alice memang ahli dalam hal tulis-menulis. Tak jarang guru lain juga sering memuji tulisan tangannya yang indah.
Di tengah keramaian kecil itu, Alice tanpa sengaja menangkap tatapan Alvaro dari ujung kelas. Mereka saling bertatapan sejenak, dan tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat. Alice cepat-cepat memalingkan pandangannya, merasa kikuk karena tertangkap basah menatap Alvaro.
Sementara itu, dari kejauhan, Alvaro masih terbayang-bayang mata Alice yang besar dan indah. Senyum malu-malu Alice tadi tak bisa ia lupakan. "Kenapa gue jadi gini sih," batinnya.
Bel pulang berbunyi, dan seluruh murid berhamburan keluar kelas setelah memberi salam kepada Bu Meyra. Namun pikiran Alice masih terjebak di pertemuan singkatnya dengan Alvaro. Mereka hanya bertatapan sebentar, tapi entah kenapa rasanya begitu berarti.
5.264 hari berlalu...
Di rumah, saat Alice sedang bercerita dengan adiknya, Zara, tiba-tiba Arsya, adik bungsunya, datang menghampiri dengan mata basah penuh air mata. "k-kakak," isaknya.
Alice segera menghentikan ceritanya dan mencoba menenangkan Arsya, mengelus kepalanya lembut. "udah, udah, sekarang ada kakak, jangan nangis lagi, nanti ibu sama bapak kebangun," ucapnya lembut.
Alice sudah terbiasa dengan hal ini. Sejak usia dua tahun, Arsya diasuhnya, jadi Arsya lebih dekat dengannya daripada ibunya sendiri.
"Ra, tidur sana," perintah Alice pada Zara yang masih menuntut kelanjutan cerita.
"tapi kak, ceritanya belum selesai," tolak Zara dengan wajah cemberut.
Alika tersenyum kecil, memandang adiknya. "Cerita ini masih panjang, dan ini baru awal dari pertemuan pertama. Udah malam, sekarang tidur dulu, kakak mau tidurin Arsya dulu."
Mendengar itu, Zara akhirnya menyerah dan berjalan menuju kamarnya, sementara Alice membawa Arsya ke tempat tidur. Di sana, Arsya bertanya lagi dengan suara kecil, "kak, ibu mana?"
Pertanyaan itu selalu muncul setiap malam, dan jawaban Alice juga selalu sama. "ibu ada di kamar, sya. Udah, tidur ya, besok sekolah."
Arsya mengangguk kecil, namun Alice tahu, dalam hati Arsya selalu merindukan ibunya.
Keesokan paginya, Alice pamit pada ibunya, Arini. "bu, aku pergi dulu ya. assalamu'alaikum."
"waalaikumsalam, hati-hati ya, kalau pulang aktifin lokasi," pesan ibunya.
"buat apa bu?" tanya Alice heran.
"kemarin bapak cerita, katanya sekarang komplek kita nggak aman. Ada kejadian perempuan diperkosa, sekarang dibawa ke rumah sakit jiwa karena syok. Ibunya bahkan bunuh diri."
Alice terkejut mendengar cerita itu. "h-hah? Serius, bu? Kapan kejadiannya?"
"Dua hari yang lalu. Ibunya bunuh diri pagi kemarin. Mungkin karena malu."
Alice merasa merinding mendengar cerita itu. "Ya ampun, bu. Oke deh, aku berangkat dulu, nanti telat. Kita sambung ceritanya pas aku pulang ya," jawabnya sambil memasang ekspresi waspada.
"ingat, hati-hati, Al. Kalau ada yang berhentiin kamu, jangan peduli, langsung gas aja."
Alice mengangguk sambil tersenyum, lalu berlalu pergi.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments