16. Penyesalan Yang Terlambat

Karena sadar akan sulit membujuk Asih, Kenzi dan Rhea pun mengalah lalu beralih kepada Eza. Mereka bergegas menghampiri Eza yang tergeletak pingsan di dekat pintu keluar.

"Eza, bangun Za. Eza ...," panggil Kenzi sambil menepuk pipi Eza beberapa kali.

Sesaat kemudian Eza nampak menggeliat lalu membuka matanya perlahan. Rhea dan Kenzi pun tersenyum melihat Eza siuman.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu bangun juga Za," kata Kenzi sambil membantu Eza bangkit.

Eza pun duduk lalu meringis sambil memegangi belakang kepalanya yang terasa sakit.

"Ini dimana Bang ... ?" tanya Eza sambil menatap ke sekelilingnya dengan tatapan bingung.

"Kita masih di bukit Za," sahut Kenzi.

"Bukit?" ulang Eza sambil mengerutkan keningnya.

"Iya Kak. Kan kita ke sini mau jemput wak Damar. Kakak inget ga?" tanya Rhea.

"Oh iya. Terus kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Eza.

"Panjang ceritanya Za, dibahas nanti aja ya. Sebaiknya sekarang kita keluar dulu dari sini," sahut Kenzi.

"Iya Bang," sahut Eza.

"Kamu ajak Utami keluar juga ya Rhe, biar papa yang bantu Eza jalan," kata Kenzi sambil memapah Eza.

"Iya Pa. Eh, tapi kemana Utami. Bukannya tadi di sini ya Pa," kata Rhea sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

Sambil memapah Eza, Kenzi pun ikut mencari Utami tapi nihil. Kemudian Kenzi meminta Rhea berhenti mencari Utami karena merasa dinding kereta bergetar.

"Jangan cari Utami lagi Rhe, keliatannya dia udah keluar duluan tadi. Ayo kita keluar sekarang, papa khawatir kita terjebak di sini dan ga bisa keluar nanti," kata Kenzi cemas.

Rhea pun mengangguk lalu berjalan lebih dulu menuju pintu keluar.

Dan apa yang Kenzi khawatirkan pun terjadi. Sesaat setelah dia, Rhea dan Eza keluar dari gundukan tanah melalui celah yang mirip pintu kecil itu, tiba-tiba gundukan tanah itu ambruk begitu saja.

Suara gemuruh tanah yang ambruk disertai debu yang berterbangan membuat suasana di tempat itu berubah mencekam. Beruntung Kenzi berhasil menarik Rhea agar menjauh dari gundukan tanah itu hingga gadis itu tak terluka.

Saat debu mulai menipis terlihat Kenzi, Rhea dan Eza yang tertelungkup tak jauh dari gundukan tanah yang ambruk itu. Posisi lengan Kenzi saat itu berada di belakang kepala Rhea dan Eza.

Eza menggeliat lalu bangkit. Saat itu lah dia tahu apa yang Kenzi lakukan. Eza pun terharu mengetahui Kenzi berusaha melindungi dia dan Rhea dengan lengannya tapi membiarkan dirinya tertimbun tanah dan kerikil kecil.

"Abang gapapa kan?" tanya Eza sambil membantu mengibas tanah dan kerikil dari tubuh dan kepala Kenzi.

"Gapapa Za," sahut Kenzi sambil tersenyum.

"Harusnya Abang ga perlu lakuin itu. Aku bisa jaga diri kok," kata Eza dengan suara bergetar.

"Abang refleks aja tadi Za," sahut Kenzi.

"Iya. Tapi gara-gara ngelindungin aku, kepala Abang jadi terluka nih," kata Eza sambil cemberut.

Kenzi hanya meringis mendengar ucapan Eza. Nampaknya Kenzi lupa Eza telah dewasa dan bisa menjaga diri. Selama ini dia memang menyayangi Eza. Dia tak pernah membedakan kasih sayang antara Eza dan Rhea.

"Papa udah bilang gapapa, ya artinya papa baik-baik aja Kak. Kenapa masih mendramatisir sih," sela Rhea.

"Bukan mendramatisir Rhe. Aku cuma merasa harusnya aku yang ngelindungin kamu dan bang Kenzi bukan sebaliknya. Aku kan bukan anak-anak lagi sekarang," sahut Eza gusar.

"Cukup anak-anak. Kita kesampingkan dulu masalah itu ya. Ayo kita cari Utami dan wak Damar sekarang," lerai Kenzi.

Rhea dan Eza pun saling menatap kemudian mengangguk. Setelahnya Kenzi meminta Eza ke arah selatan bukit sedangkan dia dan Rhea pergi ke arah utara.

Sementara itu arwah Asih yang merasuki Utami membawa raga Utami naik ke atas bukit. Ternyata di sana ada Damar yang sedang duduk di sebuah batu besar sambil termenung. Terlihat tenang dan tanpa ekspresi.

Utami nampak mendekati Damar perlahan dan berhenti saat jaraknya hanya tiga meter saja dari tempat Damar duduk.

"Jadi kamu di sini ...," sapa Utami.

Damar tersentak lalu menoleh ke belakang dan terkejut melihat keberadaan Utami di sana.

"Ck, apa maumu. Kenapa terus mengikuti aku Utami?!" tanya Damar kesal sambil menatap Utami lekat.

Pertanyaan Damar membuat Utami menggelengkan kepala. Sambil tersenyum Utami pun melangkah mendekati Damar yang menunjukkan sikap tak suka.

"Tetap di sana Utami!" kata Damar lantang.

Mendengar suara lantang Damar yang belum pernah ia dengar semasa bersama dulu, membuat arwah Asih yang merasuki tubuh Utami pun tertegun. Dia menatap Damar dengan tatapan sedih.

"Kenapa Mas. Kenapa aku ga boleh mendekat. Apa kamu membenciku sekarang?" tanya Asih.

Pertanyaan Utami justru membuat Damar mengerutkan keningnya karena bingung. Nampaknya Damar belum menyadari bahwa yang ada di hadapannya kini bukan lah Utami melainkan Asih yang meminjam raga Utami.

"Jangan bicara seolah kita dekat Utami. Aku ga kenal kau. Aku hanya tau kau teman Rhea dan Isma. Ga lebih dari itu," kata Damar ketus.

"Apa kamu benar-benar ga mengenalku Mas?" tanya Utami dengan lirih.

Meski diucapkan lirih namun berhasil membuat tubuh Damar menegang seketika. Ya, suara dan aksen yang diperdengarkan Utami mengingatkan Damar pada sosok Asih, istri pertamanya yang telah meninggal dunia itu.

"A-Asih ... ?" panggil Damar ragu.

"Iya Mas, ini aku," sahut Asih sambil mengangguk.

Untuk sejenak dunia seolah berhenti. Kedua insan yang lama tak bersua itu pun saling menatap dalam diam. Meski kini Asih berada dalam raga Utami, namun kemiripan raga mereka membuat Damar gamang.

Damar yang telah lama memendam rasa penyesalan di dalam hatinya nampak tak kuasa lagi menahan tangis. Dengan langkah cepat dia menghampiri Utami lalu memeluknya erat. Utami pun dengan antusias menyambut pelukan Damar.

"Kenapa pergi Dek, kenapa?. Kamu ga tau aku nyaris gila kehilangan kamu dan anak kita. Kenapa bisa ada di kereta itu Dek, kenapa. Kamu mau kemana dan kenapa ga bilang kalo mau pergi ... ?" tanya Damar sambil terisak.

Untuk sesaat arwah Asih yang meminjam raga Utami pun terlihat sedih. Ucapan dan sikap Damar seolah ingin menegaskan betapa Damar sungguh-sungguh mencintainya. Damar seolah ingin memberitahu Asih betapa hatinya juga hancur saat mengetahui istri dan anaknya menjadi korban dalam tragedi itu.

Tak lama kemudian Damar dan Asih saling mengurai pelukan.

"Anak kita kepengen naik kereta api Mas. Makanya aku nyusul kamu. Niatku pengen minta kamu nemenin aku naik kereta api sebentar aja. Tapi ... " ucapan Asih terputus.

"Tapi apa Dek?" tanya Damar tak sabar.

"Tapi aku denger kamu lagi berdebat sama mas Aziz," sahut Asih lirih.

Jawaban Asih mengejutkan Damar hingga rengkuhannya pada bahu Utami alias Asih terlepas.

"Apa yang kamu denger Dek?" tanya Damar dengan suara tercekat.

"Semuanya ...," sahut Asih.

"Se-semuanya?" tanya Damar panik.

"Iya," sahut Asih dengan nada kecewa.

Damar pun mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tak menyangka Asih akan mengetahui rahasia besarnya.

"Mas ...," panggil Asih sesaat kemudian.

"I-iya Dek ...," sahut Damar gugup.

"Kenapa kamu tega bohongin aku Mas?" tanya Asih.

"Aku ga pernah bohong sama kamu Dek," sahut Damar cepat.

"Masa sih. Terus gimana sama hadiah dan uang yang kamu akui darimu padahal itu pemberian mas Aziz?!" tanya Asih.

"Itu cuma salah paham Dek. Aku ... " ucapan Damar terputus karena seseorang menyela dengan tegas.

"Itu bukan salah paham Dam. Tapi kamu memang orang licik yang suka menggunting dalam lipatan!" kata seorang pria dengan lantang.

Damar dan Asih pun menoleh ke arah sumber suara. Jika Damar terkejut melihat Eza, tapi tidak dengan Asih. Wanita itu justru tersenyum melihat Eza yang dirasuki arwah Aziz itu berdiri tegak di sisi lain bukit.

"Jangan ikut campur Za. Kamu ga tau apa-apa dan ga kenal sama Asih," kata Damar sambil tersenyum mengejek.

"Aku kenal Asih dan aku mencintainya diam-diam. Bahkan saking cintanya sama Asih, aku melakukan berbagai cara supaya Asih mau menoleh padaku. Dan kamu tau pasti apa yang aku lakukan kan Dam?" tanya Eza sambil menatap Damar lekat.

Mendengar Eza memanggilnya dengan nama saja tanpa embel-embel 'wak' membuat Damar bingung. Dia menatap Eza sejenak lalu membelalakkan mata saat menyadari sesuatu. Ya, Damar akhirnya tahu arwah Aziz lah yang bicara melalui Eza.

"A-Aziz ... ?" panggil Damar ragu.

"Iya ini aku Dam," sahut Eza sambil melangkah mendekati Damar.

Melihat Eza yang dirasuki arwah Aziz mendekat kearahnya, Damar pun refleks mundur untuk menghindar.

"Sa-sabar Ziz. A-aku bisa jelasin semuanya," kata Damar sambil melangkah mundur.

"Bagus. Tunggu apa lagi Dam, ayo jelasin semuanya sekarang biar aku bisa mati dengan tenang," sahut Aziz dingin.

"Iya, tapi bukan begini caranya Ziz. Kalo kaya gini sama aja kamu menjebak aku," kata Damar gusar.

"Menjebak?" ulang Aziz sambil menatap Damar lekat.

"Iya," sahut Damar cepat.

"Siapa yang menjebak siapa hanya kamu dan Allah yang tau," kata Aziz.

Damar yang mengerti kemana arah pembicaraan Aziz pun semakin panik. Dia terus mundur hingga kakinya membentur batu besar. Dan saat menyadari dirinya berada di pinggir bukit, Damar pun berhenti lalu melirik ke bawah. Entah mengapa Damar merasa ngeri membayangkan tubuhnya jatuh melayang ke bawah sana.

"Ternyata kamu punya rasa takut juga Dam," ejek Aziz.

"Tolong jangan kaya gini Ziz ...," pinta Damar menghiba.

Aziz nampak mendengus kesal.

"Sekarang kamu menghiba seperti perempuan. Apa kamu lupa betapa gagahnya kamu saat menipu Asih dan mencelakai kami?!" kata Eza lantang.

Damar yang tersudut tak bisa lagi mengelak. Dengan terbata-bata dia menjelaskan alasannya 'menipu' Asih.

Ternyata Damar melakukan semuanya karena cemburu pada Aziz.

"Kalo hanya cemburu aku bisa mengerti Dam. Aku juga sudah mengikhlaskan semuanya. Tapi setelah semuanya, kenapa kamu justru tega mencelakai Asih dan bayi kalian?. Apa kau tau gimana menderitanya Asih saat itu?!" kata Eza marah.

Damar menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Aziz. Setelahnya dia jatuh berlutut lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ya, Damar menangis saat mengenang tragedi itu.

"Itu ... untuk yang satu itu aku juga menyesal Ziz. Aku khilaf," sahut Damar sambil menangis.

"Khilafmu melukai banyak orang Dam. Ternyata bukan cuma aku dan Asih yang ada di dalam kereta api itu. Masih ada puluhan penumpang yang akan turun di stasiun terakhir. Dan kamu tega membantai kami hanya karena benci padaku?" tanya Aziz dengan suara tercekat.

"Aku menyesal. Sungguh aku menyesal Ziz ...," sahut Damar di sela Isak tangisnya.

Mendengar tangis Damar yang memilukan membuat Asih dan Aziz terdiam sambil saling menatap dengan tatapan tak terbaca.

\=\=\=\=\=

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

penyesalan mu tak berarti lagi Damar .. km hrs pertanggung jawabkan perbuatan mu ..

2024-10-14

0

Ali B.U

Ali B.U

next

2024-10-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!