Perjodohan Dan Pernikahan
—Mungkin, dengan Ikhlas menerima semuanya, seberkas cinta dapat muncul di dalam kehidupanku— Davina Sutedjo.
"Vin, Ayah mau, kamu menerima perjodohan dengan cucu sahabat Opa kamu, Nak. Ayah sangat yakin, cucunya sangat baik, dan sangat tepat buat kamu, sayang. Sebagai gantinya Ayah kelak, kalau Ayah tidak bisa menjaga kamu lagi." Suar Pria yang tak lagi muda itu sangat menyentuh. Tubuhnya sedang terbaring di atas ranjang ruangan rumah sakit yang di huni tiga ranjang dalam satu ruangan, tiba-tiba membuat tubuh Davina mengguncang. Davina, dia merasa kaget, saat tangannya sedang memijat lembut lengan sang Ayah terhenti tiba-tiba.
"Yah, tapi Davina masih belum matang Ayah. Masa iya harus di jodohkan sih? Davina bisa sendiri kok, Yah. Jadi, gak perlu ada perjodohan, kan? Lagian Ayah pasti sembuh, yakin sama Davina, Yah."
Kepalanya di sejajarkan ke arah wajah Davina, putri semata wayangnya itu.
"Nak, selagi Ayah masih hidup masih bisa bernapas, melihat kamu menikah saja, bisa membuat Ayah tenang di sisa detik-detik terakhir hidup Ayah. Tolong dipertimbangkan dulu, sebelum kamu menolaknya, Nak. Penyakit Ayah, bukan seperti penyakit biasa yang hanya sembuh beberapa hari saja. Penyakit ini, bisa saja tiba-tiba membuat hidup Ayah berakhir." Bukan guratan wajah sang Ayah saja yang bersedih, Davina juga ikut bersedih, membayangkan sang Ayah yang sudah lama merasakan sakit dalam tubuhnya.
Kulit mata yang tak lagi mulus itu, kini menatap ke Davina dalam-dalam. Ekor matanya, tidak melepas biji mata yang mencoba menghindar.
Tangan lemahnya terulur, menarik pelan tangan Davina dan menggenggamnya.
"Ayah takut, Nak. Ayah tidak tenang bila mana nantinya kami sendiri, saat Ayah sudah tak di samping kamu. Karena dari itu, selagi Ayah masih bernapas, menikalah dengan pria itu. Yakin sama Ayah, kamu kelak akan bahagia bersamanya." Suar penuh harap dan memohon itu terdengar jelas di indera pendengaran Davina.
Getir di rasa hatinya. Bagaimana bisa Davina menolak permintaan sang Ayah di dalam keadaan yang tidak memungkinkan bagi dirinya untuk menolak permintaannya.
'Selama ini, Ayah tidak pernah meminta yang aneh-aneh kepadaku. Di saat ini, di saat dia terbaring lemah, dengan perlatan medis yang terpasang di sekujur tubuhnya, sangat kejam, jika Aku menolak permintaannya. Bahkan, biaya rumah sakit saja, sahabat opa yang menanggungnya. Sementara Aku? Tidak pernah memberikan yang terbaik buat Ayah. Tidak bisa memberikan apa-apa, terkecuali waktuku. Bagaimana mungkin, Aku bisa menolak untuk permintaan yang barusan Ayah katakan, yang mungkin saja, membuat Aku menyesal selamanya, jika Aku menerima perjodohan ini'
"Davina, kamu pikirkan dulu Nak. Kalau belum bisa menjawab sekarang. Jika jawaban kamu tetap sama, papa tidak akan meminta lagi."
"Baiklah, Ayah, Davina akan menerimanya. Jika itu membuat Ayah tenang, bahkan penyakit Ayah sembuh. Davina Akan lakukan, selagi bisa membahagiakan Ayah." Matanya berkilat, ada guratan kesedihan di balik ucapannya. Tapi, mampu di tutupi gadis kecil kesayangan Ayahnya.
Kedua sudut bibir sang Ayah membentuk sebuah senyuman. Ada kelegahan dari wajahnya.
"Terima kasih putri Ayah. Ayah tau, Davina memang putri Ayah yang sangat baik dan penurut."
"Sudah, jangan terus memuji Davina. Sekarang, tidurlah. Ayah sedari tadi banyak bicara, bagaimana mau cepat pulih." Davina beranjak berdiri dan menutup tubuh sang Ayah dengan selimut.
Sedangkan sang Ayah, masih menatap wajah sang putri dengan lekat, meskipun dia tau jelas, ada kesedihan yang dia tutupi.
Seusai menutup tubuh sang Ayah dengan selimut, Davina kembali mendudukkan tubuhnya, menatap wajah sang Ayah, yang baru saja memejamkan kedua matanya.
Sesudah di rasa sang Ayah tertidur dengan nyenyak, Davina beranjak berdiri, dan berjalan keluar menuju koridor rumah sakit.
"Aku harus ikhlas, mungkin Rasyid bukan jodohku. Apakah kelak, ada seberkas cinta dari perjodohan ini? Mari kita coba." Davina duduk di koridor rumah sakit sambil mengusap air matanya.
"Kau menangis?" Pria yang duduk di samping Davina, tiba-tiba mengagetkan Davina dari kesedihannya. Memang benar, air mata Davina menggenangi wajah putih polosnya.
Pria yang duduk satu bangkunya saja tidak bisa di sadarinya. Membuat Davina bingung, sejak kapan pria berbadan tegap, bertubuh atletis, sangat sempurna di mata Davina, berada di sampingnya. Sejenak membuat Davina mematung.
"Aku yakin, kau benar-benar menangis." katanya dengan merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangan, kemudian memberikannya ke Davina. "Nih, siapa tau saja kau membutuhkannya. Ambillah," perintah pria itu ke Davina sambil tersenyum manis.
"Tidak usah Tuan, Terima kasih." tolak Davina dan sigap berdiri untuk menjauh dari pria asing baik hati.
Davina berjalan memunggungi pria asing yang menegurnya. Pikir Davina, dia sudah terlepas dari pria yang sok akrab dengannya, kenyataannya tidak. Pria itu mengejar Davina dan menghentikan langkah Davina.
Dengan tersenyum, pria asing di depan Davina menarik punggung tangannya. Lalu, ia memberikan sapu tangan yang di tolak Davina sebelumnya ke atas telapak tangan Davina.
"Pakailah, aku yakin kau membutuhkannya. Air mata mu sangat berharga, jika terbuang sia-sia di wajah cantikmu. Harus bisa menjadi lebih kuat." Senyuman tipis tampak dari bibirnya yang merah. Setelah memberikan sapu tangan, pria asing itu berlalu meninggalkan Davina.
Tampak mendatangi teman prianya yang juga baru keluar dari salah satu ruangan rumah sakit. Keduanya sama-sama tinggi, bertubuh kekar bak seorang atletis. Sangat menawan bila di pandang mata.
"Siapa dia?" tanya Davina sambil mengusap sisa air matanya dengan sapu tangan pemberian pria asing tadi.
Bahkan, aroma parfume yang sangat menenangkan dari tubuh pria asing tadi, masih melekat di indera penciuman Davina. Terus memandangi pria tadi, hingga berlalu dari koridor rumah sakit.
Davina pun mencoba mencari udara segar, dengan berjalan menuju pintu keluar ke arah halaman rumah sakit.
Dengan mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku halaman yang bertabur rerumputan hijau dan pepohonan rindang, membuat sejenak pandangan Davina teralihkan dari kesedihannya.
"Jika Aku menikah nanti, Rasyid tidak bisa berada di dalam hatiku lagi. Meskipun Rasyid tidak tau, selama ini aku memendam cinta dalam diam untuknya." Kedua matanya menatap ke langit biru yang terbentang luas. Menikmati udara yang menyapu permukaan kulit dan rambut panjang ikal bewarna hitam.
Sedikit berbicara soal Rasyid. Rasyid, adalah sahabat dekat Davina, sejak mereka duduk di bangku SMA. Keduanya terpisah, saat mereka melanjutkan studi mereka masing-masing ke Universitas yang berbeda. Hanya saja, semesta mempertemukan mereka kembali, di satu perusahaan besar di Jakarta.
Perusahaan itu mempertemukan mereka kembali di satu Divisi, yaitu Divisi pemasaran antara lain, promosi dan penjualan. Di sinilah, mereka juga di pertemukan dengan Dinda, Vira dan Aldi.
Rasyidlah, yang menjadi leader di team yang beranggotakan Dinda, Vira dan Davina. Hanya saja, di dalam team itu, Rasyid tampak sangat perhatian dengan Savira bukan Davina, sehingga ada kecemburuan di dalam hati Davina. Tapi, Davina memilih untuk memendam cinta yang sudah tumbuh lama di dalam dirinya.
"Setidaknya, aku pernah mencintai pria selain Ayahku. Meskipun, cinta ini hanya bisa bersemi dalam diam di hatiku."
Bersambung
***
Hai, jika kalian suka dengan cerita saya. Tolong berikan jejak komentar dan Vote kalian ^^. Oh ya tolong dong ikuti profil saya, dan favoritkan cerita ini agar kalian tidak ketinggalan.
Jangan lupa juga mampir di karya saya lainnya.
TERPAKSA MENIKAH
KEKASIHKU SEORANG CEO
MY CHOSEN WIFE
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Vera Wilda
hadir nich Thor ....
2023-09-02
1
AiraCarolina Munthe
Semangat Thor.....🙏
2021-08-31
0
Ni Nyoman Rinti
baru nyimak
2021-07-18
0