Nyaris Kecurian

Adi mengembalikan ponsel Kimi setelah melakukan panggilan. Bajaj kembali bergerak, kali ini melintasi jalanan perumahan yang cukup lebar. Beberapa menit kemudian, mereka memasuki Jalan Pijar.

Kimi memberi tahu Adi bahwa mereka sudah dekat dengan Jalan Raya Mabes Hankam yang dituju. Namun, saat Kimi melihat peta, ia tidak menemukan jalan untuk menyeberang karena terhalang oleh jalur-jalur besar dan ruas tol. Jalan Raya Mabes Hankam terletak di ujung timur, sementara mereka di sebelah barat.

Adi mengambil alih ponsel Kimi, lalu mengamati peta. Dari Jalan Pijar, ia melihat ada jembatan yang melintasi di atas ruas-ruas jalan yang sibuk di bawahnya. Ia menoleh ke luar, dan benar saja, jembatan itu ada di sebelah kanan mereka—kecil dan tampak agak menyeramkan.

"Kamu yakin, Di? Kita akan menyeberangi jembatan kecil itu?" tanya Kimi dengan nada ragu.

“Tak ada pilihan lain. Ini yang tercepat. Aku harus segera sampai di tujuan,” jawab Adi seraya mengembalikan ponsel Kimi, sementara matanya fokus ke jalan.

Bajaj diarahkan ke sebelah kanan, melewati jalan paving block yang sempit dan masuk ke jembatan. Beberapa orang yang sedang bersantai di warung tampak kebingungan melihat bajaj yang tiba-tiba melintas di jembatan sempit itu.

Tiba-tiba, ponsel Kimi berbunyi nyaring, menandakan panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Kimi merasakan firasat tidak enak, tapi tetap mengangkat panggilan itu.

"Halo, assalamu'alaikum!" sapa Kimi, suaranya berusaha menandingi deru bising jalan raya di bawah.

"Loh, siapa kamu?" suara perempuan dari seberang terdengar tajam. "Mana Adi?"

"Kamu sendiri siapa?" Kimi berteriak sedikit, berusaha mengatasi kebisingan di sekitar.

"Saya tunangan Adi! Mana Adi? Saya mau ngobrol sama Adi sekarang juga!"

"Oh, oke… tapi Adi lagi sibuk sekarang, dia nggak bisa diganggu," jawab Kimi cepat, melirik Adi yang sibuk mengendalikan bajaj di atas jembatan beton sempit itu.

Jembatan itu panjang dengan permukaan lintasan tidak rata. Ketinggiannya sangat mengerikan dengan jalanan lebar yang ramai di bawahnya. Bajaj mereka berguncang hebat, membuat Kimi memegang pegangan erat-erat agar tidak terlempar.

"Apa kamu bilang? Kamu berani-beraninya bicara seperti itu sama saya? Lagi pula, siapa kamu? Selingkuhan Adi? Cepat berikan teleponnya ke Adi sekarang juga!"

"Bukan! Saya bukan selingkuhan Adi! Jangan sembarangan kamu ya!" ucap Kimi tegas, darahnya mulai mendidih.

"Lalu siapa kamu? Pantas saja Adi nggak bisa dihubungi, ternyata dia lagi sama perempuan murahan! Cepat berikan teleponnya!"

Kimi tak tahan lagi. Dengan marah, ia memutus panggilan itu, lalu mematikan SIM card-nya. Ia menghela napas panjang, berusaha meredam emosinya, lalu kembali memantau peta Google dalam mode offline.

"Siapa tadi?" tanya Adi, matanya sesekali melirik Kimi di sela-sela usahanya menjaga setang bajaj tetap stabil di jalan yang tidak rata.

"Tunangan kamu," jawab Kimi, suaranya datar, berusaha menahan kekesalan.

"Karin? Oh tidak… Dia pasti meminta nomormu dengan paksa ke Mira. Maafkan aku, Kimi. Kamu jadi terlibat dalam masalah pribadiku,” ucap Adi sambil meringis, tangan kirinya mulai pegal menahan getaran setang bajaj.

Mata Kimi berkaca-kaca. Ia sangat tersinggung disebut sebagai perempuan murahan. Kimi menyeka air matanya dengan cepat. Dia tahu siapa dirinya, dan dia tidak akan membiarkan kata-kata kasar itu merusak suasana hatinya.

Bajaj terus melaju. Di peta offline Kimi melihat bahwa jembatan itu menuju percabangan dua jalan bernama pintu 1 TMII. Sebuah percabangan yang masih menjadi misteri. Sayang sekali Kimi tidak bisa memeriksa lebih jauh karena jaringan yang dinonaktifkan sementara waktu.

Sepanjang jembatan beberapa kali mereka berpapasan dengan pejalan kaki. Setiap kali berpapasan, bajaj harus berhenti untuk memberi ruang kepada pejalan kaki yang melongo melihat mereka. Beberapa pejalan kaki bahkan memperingatkan mereka bahwa jembatan itu bukan jalur bajaj. Namun, sudah terlanjur, jembatan kecil itu tidak memungkinkan mereka untuk berbalik arah.

"Aduuuh, pegel, setang bajaj ini bergetar terus," keluh Adi dengan senyum getir, setelah bajaj kembali melaju.

"Ya iyalah, kamu lihat sendiri jalannya rusak gitu! Dan kamu denger juga kan omongan orang-orang tadi? Jalur ini sepertinya memang bukan untuk kendaraan," ucap Kimi sambil berpegangan, berusaha meredam guncangan.

“Mau bagaimana lagi, kita tidak mungkin putar balik, jembatan ini sempit.”

Setelah melewati jembatan yang panjang dan sempit itu, mereka tiba di sebuah pertigaan jembatan yang membuat hati keduanya makin ciut.

Di sisi mereka ada dua pilihan: turunan tangga naik yang tampak rusak di sebelah kanan, atau tangga tembok turun di sebelah kiri. Baru saat itu Adi dan Kimi menyadari dengan jelas bahwa mereka memang benar-benar salah jalan—ini bukan jalur untuk kendaraan, melainkan jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki.

"Astahgfirlloohaladziim! Bagaimana ini Di?” tanya Kimi panik sambil melirik ke kiri dan ke kanan.

“Kita nggak mungkin bisa putar balik, pertigaan ini langsung menuju tangga." kata Adi, suaranya terdengar frustasi.

Kimi menarik napas dalam-dalam. "Kita pilih kiri aja, Di. Kayaknya tembok di tengah tangga itu bisa kita pakai untuk menurunkan bajaj ini. Setidaknya dengan tembok tengah itu ban depan masih bisa bergerak normal."

Adi mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya yakin dengan ide Kimi. Tapi ia tahu, tidak ada lagi pilihan. Dengan hati-hati, Adi mengarahkan bajaj ke jalur kiri.”

“Tunggu, aku turun saja! Aku tidak mau ikut, aku turun saja!” kata Kimi. Tapi begitu Kimi membuka pintu bajaj, pintu itu terbentur pagar jembatan, tak bisa terbuka sempurna. “Ya Allah, astaghfirullooh, susah, Di,” lanjut gadis itu dengan panik.

“Ya sudah, mau bagaimana lagi, tutup lagi pintunya dan cepat pegangan!” suruh Adi setengah berteriak.

"Bismillah... Semoga kita selamat," gumam Kimi sambil menutup matanya sesaat, berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya.

Adi mencoba menuruni tangga yang sempit dengan bantuan tembok datar di tengah. Suara decitan rem terdengar nyaring saat Adi berusaha mengendalikan kecepatan bajaj yang nyaris mustahil dikendalikan di atas tangga itu.

"Pegangan yang erat!" seru Adi, giginya terkatup rapat karena tegang.

Kimi memegang erat-erat pegangan kursi, wajahnya pucat. Setiap kali bajaj meluncur turun dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya, Kimi merasa jantungnya melonjak.

Bajaj itu seperti meluncur dengan gaya bebas, terjun dari satu anak tangga ke anak tangga lain dengan suara dentuman yang membuat nyali siapa pun menciut. Setiap kali ban belakang bajaj menghantam permukaan tangga, seluruh tubuh mereka terguncang hebat.

"Ini sama sekali di luar dugaan, Kimi," keluh Adi, suaranya sedikit gemetar seraya berusaha mengendalikan bajaj sehati-hati mungkin.

"Aku nggak mau seperti ini lagi!" jawab Kimi dengan nada putus asa. “Aku nggak mauuu…!!!”

“Aku juga!” sahut Adi.

Mereka sampai di belokan tangga berikutnya yang langsung mengarah ke jalan raya. Adi memegang setang bajaj lebih erat, mengatur napas, dan mengerem sekuat tenaga saat mereka menuruni setiap anak tangga.

Suasana semakin menegangkan ketika mereka hampir terjun langsung ke jalan raya yang ramai. Namun Adi dengan sigap menekan tuas rem lebih dalam lagi.

Akhirnya roda depan bajaj mencapai permukaan jalan dengan mulus. Adi menghela napas panjang, dan Kimi merasa seluruh tubuhnya lemas seketika. Mereka selamat, meskipun dengan adrenalin yang masih menderu.

"Kimi," Adi memecah kesunyian dengan suara penuh penyesalan, "kita baru saja menyeberangkan bajaj di jalur pejalan kaki."

“Memang… dan jangan diulangi lagi.”

Bajaj kembali meluncur di jalan yang benar. Mereka menghela napas panjang, dan perjalanan berlanjut di Jalan Taman Mini I. Namun, mereka dihadapkan pada tantangan baru. Mereka harus tiba di sisi lain jalan itu untuk bergerak ke selatan menuju Jalan Raya Mabes Hankam, tetapi terhalang pembatas jalan yang membuat mereka harus terus melaju ke utara, mencari jalan untuk memutar arah.

Setelah beberapa puluh meter akhirnya mereka menemukan belokan untuk memutar balik ke selatan. Dengan lega, Adi segera mengarahkan bajaj ke jalan yang benar, kembali melaju di Jalan Taman Mini I sisi berikutnya menuju arah selatan, dengan tujuan yang sudah di depan mata.

“Lihat plang di depan, Di! Kita sudah hampir tiba di Jalan Mabes Hankam!” ujar Kimi bersemangat.

“Akhirnya…” sahut Adi, terharu.

Namun, tiba-tiba bajaj mulai melambat. Laju kendaraan yang tadinya lancar berubah menjadi tersendat-sendat, hingga akhirnya berhenti sama sekali di tengah jalan.

"Oh, jangan lagi!" gumam Adi, jelas terlihat panik.

Kimi menatap Adi dengan wajah cemas. "Apa yang terjadi? Mesinnya rusak lagi?"

Adi menggeleng sambil menghela napas panjang. "Tidak tahu! Kita harus meminggirkan dulu bajaj ini!" kata Adi seraya bergegas turun.

Kimi menyusul keluar. Mereka segera mendorong bajaj ke pinggir jalan. Kemudian Adi memeriksa mesin. Ia tidak melihat tanda-tanda apa pun sampai ia memeriksa selang bensin yang tersambung ke karburator. Selang itu kosong, memberi petunjuk bahwa mesin mati kali ini karena kehabisan bensin.

Mereka pun memutuskan untuk memarkir bajaj dan meninggalkannya. Sementara mereka mulai mencari-cari pedagang bensin eceran, meskipun tampak sia-sia karena di sepanjang jalan itu tidak ada satu pun yang terlihat.

Setelah berkeliling cukup lama, mereka akhirnya menemukan seorang penjual bensin di pinggir jalan. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama saat menyadari satu hal: mereka tidak punya wadah untuk menampung bensin itu.

Adi melihat sekeliling dengan cepat, matanya tertuju pada tempat sampah di dekat situ. "Tunggu di sini, aku coba cek dulu," katanya sambil berlari ke arah tempat sampah. Dengan sedikit berharap, Adi mengaduk-aduk isi tempat sampah itu dan menemukan sebuah botol plastik bekas.

"Ini dia!" Adi berkata sambil membawa botol itu ke penjual bensin. Setelah memasukkan bensin ke dalam botol dan membayar, mereka segera berlari kembali ke tempat bajaj diparkir.

Namun, ketika mereka sampai di sana, bajaj itu sudah tidak ada. Adi dan Kimi saling berpandangan, panik.

"Di mana bajajnya?" Kimi bertanya, suaranya terdengar penuh kekhawatiran.

Adi dengan cepat memindai area sekitar dan tiba-tiba melihat sesuatu di kejauhan. "Lihat! Itu bajaj kita!" Adi menunjuk ke arah sekelompok anak berandalan yang sedang mendorong bajaj mereka masuk ke sebuah gang.

Tanpa berpikir panjang, Adi dan Kimi segera menyusul mereka. Ketika mereka mendekat, mereka melihat bahwa anak-anak berandalan itu sudah berjongkok di sebuah sudut gang yang sepi, sepertinya bermaksud mempreteli bajaj, mungkin untuk menjual onderdilnya.

"Jangan! Itu bajaj sewaan, bukan milik kami!" Adi berteriak, mencoba menghentikan mereka.

Anak-anak berandalan itu tampak terkejut, tetapi salah satu dari mereka segera mengeluarkan pisau lipat, seakan siap untuk menyerang. Melihat itu, Adi merasa jantungnya berhenti sejenak, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

"Tunggu, kita bisa berdamai, oke?" kata Adi, mencoba meredakan situasi. Sebenarnya, ia sendiri sangat takut. "Kami tidak akan melaporkan kalian, kita selesaikan ini dengan baik-baik."

Kimi memandang Adi dengan cemas, berharap Adi bisa mengendalikan situasi. "Sekarang lebih baik kalian terima uang dari saya daripada membongkar bajaj itu," lanjut Adi. "Saya akan beri kalian uang... 200 ribu."

Anak-anak berandalan itu saling berpandangan, tampak tidak puas. Mereka menggeleng.

"Oke, bagaimana dengan 300 ribu?" Adi berusaha bernegosiasi.

Namun, mereka tetap menolak. "500 ribu," kata Adi dengan suara yang lebih tegas. "Tidak ada tambahan lagi. Kalau kalian menjual onderdil bajaj ini, belum tentu kalian dapat uang 500 ribu dengan cepat."

Anak-anak itu akhirnya mengangguk, setuju dengan tawaran Adi.

“Lihat ini uang beneran, kalian bisa melihatnya?” Adi dengan cepat menggulung uang 500 ribu itu, mengikatnya dengan serpihan tali rami yang ia temukan di dekat tong sampah lalu melemparkannya jauh ke ujung gang.

Anak-anak berandalan itu segera berlari mengejar uang tersebut, memberi Adi dan Kimi kesempatan untuk mengambil kembali bajaj mereka.

Dengan cepat Kimi masuk ke dalam bajaj. Sementra Adi memasukkan bensin ke tangki, menutup tangki itu lagi lalu masuk ke ruang kemudi, menyalakan mesin dan segera membawa bajaj kabur dari tempat itu.

Namun, ketika mereka tiba di Jalan Raya Mabes Hankam, jalan itu sudah macet total. Jalan yang tadi masih lengang kini dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat. Adi menghela napas panjang, sementara Kimi hanya bisa menggeleng pelan.

“Ada apa lagi ini?” gumam Adi panik.

Kimi melihat ke belakang. “Di, kita harus segera pergi, kalau tidak kita akan terjebak.”

Adi segera mengambil tindakan, ia membelok arah menuju ruas jalan menuju utara. Mereka kembali ke Jalan Taman Mini I jalur utara.

“Kimi, sepertinya kita butuh rute alternatif lagi.”

“Google Maps?” tanya Kimi, memastikan.

“Ya!” jawab Adi setengah berteriak.

Dengan terpaksa Kimi mengaktifkan kembali SIM card-nya untuk mendapatkan jaringan. Ia membuka Google Maps mencoba membaca situasi real time untuk menentukan target.

“Ada, Di!” teriak Kimi.

“Kemana target kita sekarang?”

“Jalan Raya Hankam.” Jawab Kimi.

“Kemana kita harus bergerak sekarang?” Adi mengedarkan pandang sejenak sambil tetap melajukan bajaj. “Apakah ke jalur masuk TMII bisa?”

Kimi terkejut, lalu memeriksa peta. “Sepertinya bisa, dan sepertinya paling singkat. Tapi… serius kamu kamu melintas ke sana?” tanya Kimi memastikan.

“Kalau itu paling singkat, kenapa tidak!”

Episodes
1 Wawancara Kerja
2 Sepatu Kulit
3 Keributan Pagi Hari
4 Sopir Bajaj Dadakan
5 Kecemasan Sang Resepsionis
6 Perekrutan yang Aneh
7 Keributan di Mini Bank
8 Kalimat Ancaman
9 Gosip Dua Desainer
10 Berita dari Kantor
11 Perkelahian Tak Terduga
12 Perkenalan
13 Konglomerat Prancis
14 Kemarahan Kimi
15 Tunangan Egois
16 Nyaris Kecurian
17 Terjebak di TMII
18 Pencarian Makna
19 Firasat Buruk
20 Batin Seorang Ibu
21 Hampir Sampai
22 Jejak yang Terlacak
23 Di Balik Layar
24 Sahabat Dekat
25 Kekeliruan Kecil
26 Menuju Gerbang
27 Secercah Harapan
28 Pertengkaran Sengit
29 Tamu dari Prancis
30 Français, S'il Vous Plaît !
31 Penerjemah Misterius
32 Pengemudi Excavator
33 Puncak Kehilangan
34 Berpisah di Kemang
35 Sebuah Rahasia
36 Belajar Sholat
37 Telepon Penting
38 Tes Bahasa
39 Ketegangan di Butik
40 Dua Kandidat Aneh
41 Nomor Ponsel Anonim
42 Kejutan Mengharukan
43 Berpisah di Restoran
44 Permintaan Kimi
45 Suara Protes
46 Sholat di Ruang Divisi
47 Mengejar Masa Lalu
48 Tur Kantor
49 Seakan Lenyap
50 Rencana Besar
51 Penyebaran Angket
52 Teka-teki
53 Hasil Survey
54 Jalan Buntu
55 Sebuah Pengakuan
56 Hadiah untuk Renata
57 Di Bawah Langit Jakarta
58 Surat Protes
59 Tekad Sang Vlogger
60 Rencana Pembelaan
61 Tim yang Terpecah
62 Menata Tujuan
63 Perasaan Asing
64 Video Mengejutkan
65 Di Luar Dugaan
66 Malam Membara
67 Bukti Tak Terbantahkan
68 Tekad dalam Kepayahan
69 Kekecewaan di Meja Makan
70 Sebuah Tekad
71 Hari Penentuan
72 Terjebak di Perjalanan
73 Adu Argumen
74 Bantuan Tak Terduga
75 Suara Dominasi
76 Keberanian yang Tertahan
77 Sebuah Pilihan
78 Video Bukti
79 Penerimaan
80 Sopir Taksi
81 Gejolak Hati
82 Pilihan yang Tak Mudah
83 Pancake Istimewa
84 Konfrontasi
85 Emosional
86 Di Perjalanan Pulang
87 Tangis Haru
88 Sambutan Tanpa Senyuman
89 Histeris
90 Terjebak Kerumitan
91 Rangkaian Memori
92 Malam Berkabut
93 Merah Merona
94 Amanat Masa Lalu
95 Rencana Rahasia
96 Mata-Mata Dadakan
97 Jejak dan Pilihan
98 Surat Balasan
99 Menemui Rose
100 Nomor Kontak
101 Prasangka
102 Semangat Baru
103 Pilihan-Pilihan
104 Keputusan Besar
105 Tak Akan Mundur
106 Rasa Bersalah
107 Malam Panjang
108 Kejutan Ulang Tahun
109 Tamu Pria
110 Tamu Pengganggu
111 Di Perkampungan Kumuh
112 Di Pasar Tanah Abang
113 Perempuan Tua
114 Rencana Ke Eropa
115 Kilas Masa Lalu
116 Tiga Masterpieces
117 Tatapan Tajam
118 Tak Terduga
119 Lepas Landas
120 Welcome to Dubai!
121 Acara Jamuan
122 Malam Pertama di Paris
123 Merasa Diikuti
124 Rencana Besok
Episodes

Updated 124 Episodes

1
Wawancara Kerja
2
Sepatu Kulit
3
Keributan Pagi Hari
4
Sopir Bajaj Dadakan
5
Kecemasan Sang Resepsionis
6
Perekrutan yang Aneh
7
Keributan di Mini Bank
8
Kalimat Ancaman
9
Gosip Dua Desainer
10
Berita dari Kantor
11
Perkelahian Tak Terduga
12
Perkenalan
13
Konglomerat Prancis
14
Kemarahan Kimi
15
Tunangan Egois
16
Nyaris Kecurian
17
Terjebak di TMII
18
Pencarian Makna
19
Firasat Buruk
20
Batin Seorang Ibu
21
Hampir Sampai
22
Jejak yang Terlacak
23
Di Balik Layar
24
Sahabat Dekat
25
Kekeliruan Kecil
26
Menuju Gerbang
27
Secercah Harapan
28
Pertengkaran Sengit
29
Tamu dari Prancis
30
Français, S'il Vous Plaît !
31
Penerjemah Misterius
32
Pengemudi Excavator
33
Puncak Kehilangan
34
Berpisah di Kemang
35
Sebuah Rahasia
36
Belajar Sholat
37
Telepon Penting
38
Tes Bahasa
39
Ketegangan di Butik
40
Dua Kandidat Aneh
41
Nomor Ponsel Anonim
42
Kejutan Mengharukan
43
Berpisah di Restoran
44
Permintaan Kimi
45
Suara Protes
46
Sholat di Ruang Divisi
47
Mengejar Masa Lalu
48
Tur Kantor
49
Seakan Lenyap
50
Rencana Besar
51
Penyebaran Angket
52
Teka-teki
53
Hasil Survey
54
Jalan Buntu
55
Sebuah Pengakuan
56
Hadiah untuk Renata
57
Di Bawah Langit Jakarta
58
Surat Protes
59
Tekad Sang Vlogger
60
Rencana Pembelaan
61
Tim yang Terpecah
62
Menata Tujuan
63
Perasaan Asing
64
Video Mengejutkan
65
Di Luar Dugaan
66
Malam Membara
67
Bukti Tak Terbantahkan
68
Tekad dalam Kepayahan
69
Kekecewaan di Meja Makan
70
Sebuah Tekad
71
Hari Penentuan
72
Terjebak di Perjalanan
73
Adu Argumen
74
Bantuan Tak Terduga
75
Suara Dominasi
76
Keberanian yang Tertahan
77
Sebuah Pilihan
78
Video Bukti
79
Penerimaan
80
Sopir Taksi
81
Gejolak Hati
82
Pilihan yang Tak Mudah
83
Pancake Istimewa
84
Konfrontasi
85
Emosional
86
Di Perjalanan Pulang
87
Tangis Haru
88
Sambutan Tanpa Senyuman
89
Histeris
90
Terjebak Kerumitan
91
Rangkaian Memori
92
Malam Berkabut
93
Merah Merona
94
Amanat Masa Lalu
95
Rencana Rahasia
96
Mata-Mata Dadakan
97
Jejak dan Pilihan
98
Surat Balasan
99
Menemui Rose
100
Nomor Kontak
101
Prasangka
102
Semangat Baru
103
Pilihan-Pilihan
104
Keputusan Besar
105
Tak Akan Mundur
106
Rasa Bersalah
107
Malam Panjang
108
Kejutan Ulang Tahun
109
Tamu Pria
110
Tamu Pengganggu
111
Di Perkampungan Kumuh
112
Di Pasar Tanah Abang
113
Perempuan Tua
114
Rencana Ke Eropa
115
Kilas Masa Lalu
116
Tiga Masterpieces
117
Tatapan Tajam
118
Tak Terduga
119
Lepas Landas
120
Welcome to Dubai!
121
Acara Jamuan
122
Malam Pertama di Paris
123
Merasa Diikuti
124
Rencana Besok

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!