Riana menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Ia bahkan sengaja membiarkan ponselnya berdering lebih lama untuk menyadarkannya bahwa ia tidak sedang bermimpi. Pria itu benar-benar menghubunginya.
Namun ketika panggilan itu berakhir, ia malah menyesal karena mengabaikannya begitu saja .
"Bodohnya aku!" ia menepuk dahinya geram.
Dan beruntungnya Riana, ponselnya kembali berdering dengan penelepon yang sama . Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab panggilan itu di dering pertama.
"H-halo! Siapa ya?" tanyanya pura-pura tidak tahu.
"Ini om Ervin! Apa om membangunkan mu?"
"Hmm... Tidak kok, om! Saya baru selesai mengerjakan tugas. Ada perlu apa ya, om?"
"Oh! Begini, apa om bisa meminta bantuan darimu?" Tanyanya.
"Bantuan apa ya, om! Bukan mau minjam uang, kan?" Candanya.
Terdengar suara tawa di seberang.
"Tentu saja bukan. Ini soal Alina."
"Memangnya Alina kenapa, om?"
"Bagaimana mengatakannya, ya! Sebenarnya om tidak ingin menyusahkan kamu. Tetapi Alina sepertinya hanya mau mendengarkan kamu saja . Jadi om terpaksa harus merepotkan kamu."
"Tidak selalu, om. Terkadang Alina juga tidak mendengarkan perkataan saya. Hmm... Apa ini masalah Tante Yasmin?" Tebaknya.
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Hmm... Saya hanya menebak saja, om. Soalnya Alina selalu curhat tentang masalah itu pada saya."
"Iya. Itu memang pokok permasalahannya. Hmm... Apa kamu bisa membujuknya?"
"Membujuknya bagaimana, om?"
"Tolong bicara padanya. Om benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya akhir-akhir ini. Alina sepertinya sengaja ingin menghindar dari om. Om jadi bingung sekarang harus bagaimana. Apa kamu bisa membantu?" tanya Ervin
Riana terdiam sejenak. Ia tampak berpikir keras.
"Hmm.... Baiklah, om! Saya akan coba untuk bicara padanya." Ucap Riana menyanggupi.
"Terima kasih Riana."
"Iya, om!"
"Baiklah! Om matikan ponselnya, ya? Maaf sudah mengganggu kamu malam-malam."
"Tidak apa-apa, om. Saya juga belum tidur, kok!"
"Baiklah! Selamat malam!"
"Selamat malam, om!" Riana mengakhiri panggilan telepon nya.
Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Hatinya seperti akan melompat keluar dari tubuhnya karena tak berhenti berdebar.
Namun ia terlihat kecewa begitu mendengar permohonan dari Ervin. Ia harus membujuk Alina agar mau menerimanya calon ibu tirinya itu. Sungguh melelahkan.
...****************...
Hari berikutnya. Riana tampak terdiam sejenak sebelum memulai pembicaraan dengan Alina. Ia terlihat ragu. Sepulang kuliah mereka berjanji untuk ketemu di cafetaria di dekat kampus Alina.
Alina tampak murung hari ini. Ia bahkan tidak menyentuh makanan yang sudah ia pesan. Raganya memang ada di sini, namun sepertinya jiwanya entah melayang kemana.
"Apa kamu baik-baik saja, Al? Kamu terlihat pucat. Apa kamu sakit?" Alina menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya.
"Tubuhmu terasa hangat. Apa kamu tidak enak badan?" Lanjutnya.
"Aku baik-baik saja. Hanya tidak nafsu makan saja." Ucap Alina.
Riana tampak menghela nafas.
"Kamu sedang tidak baik-baik saja. Kamu tidak akan terlihat seperti ini jika sedang baik-baik saja."
"Dasar sok tahu!" Alina menggerutu.
"Aku memang tahu. Apa ini karena pertunangan ayahmu?"
Alina hanya diam.
"Sampai kapan kamu mau bersikap seperti ini? Ini akan menyulitkan mu juga ayahmu. Jika kamu memang tidak menyukai wanita pilihannya, katakan saja kepada ayahmu. Jangan bersikap seperti ini. Ayahmu juga tidak akan pernah memaksa mu, 'kan?"
"Itu sudah terlambat, Ri! Mereka akan bertunangan. Jika aku mengatakan hal ini pada ayah, itu hanya akan membuat masalah."
"Terkadang aku merasa bingung dengan sikapmu. Jika tidak menyukainya di awal, kamu seharusnya jujur pada ayahmu. Jika sudah seperti ini, kamu juga yang akan kesulitan. Al, aku sudah berulang kali mengatakan hal ini padamu. Tapi sepertinya kamu hanya bersikap egois karena terlalu memikirkan perasaan mu sendiri. Kenapa tidak memberi kesempatan kepada dirimu sendiri untuk berdamai dengan keadaan. Cobalah untuk menerima Tante Yasmin yang berdiri di samping ayahmu. Aku yakin ayahmu tidak akan sembarangan memilih wanita. Apalagi wanita itu nantinya akan menjadi ibu mu. Jadi cobalah untuk menerimanya. Biarkan ayahmu bahagia dengan pilihannya."
Alina menghela nafas. "Baiklah! Aku akan menerimanya. "
"Anak baik. Sekarang habiskan makananmu. Tidak baik memainkan makanan seperti itu." Tegur Riana.
"Iya, iya! Kamu ini cerewet sekali. Seperti ibu-ibu saja." Keluh Alina.
"Biar saja!" Riana tidak ambil pusing dengan perkataannya.
Alina menghabiskan makanannya. Mereka juga banyak mengobrol siang itu karena sudah lama tidak bertemu.
...****************...
Riana mengantarkan Alina pulang ke apartemennya karena suhu tubuh Alina yang tiba-tiba naik. Alina mengeluh jika kepalanya terasa pusing. Tetapi wanita itu menolak saat Riana menawarkan diri untuk menemaninya ke rumah sakit.
Alina memang tidak suka dengan rumah sakit karena ia takut pada jarum suntik. Jika hanya sakit ringan seperti ini, ia akan memilih untuk di rawat di apartemen saja.
"Kamu berbaring dulu di sini. Aku akan mencari obat penurun panas di dalam kotak obat. " Ucap Riana ketika membaringkan tubuh Alina di atas ranjang.
Ia lalu keluar kamar dan mengambil kotak obat yang ada di laci dapur. Ia memang sudah sering datang ke apartemen Alina. Sehingga Riana cukup menguasai setiap ruangan yang ada di rumah ini.
"Untung saja masih ada. Tanggal kadaluwarsa nya juga masih tersisa beberapa bulan lagi."
Ia juga mengambil segelas air agar Alina bisa meminum obatnya.
Riana lalu kembali ke kamar. Ia memberikan obat itu pada Alina. Alina segera meminumnya.
Alina kembali tidur. Riana lalu menyelimutinya. Ia juga mengompres dahinya dengan air hangat.
Sebelumnya ia sudah mencoba untuk menghubungi ayahnya, tetapi tidak ada jawaban. Nomornya selalu sibuk.
"Kau benar-benar tidak ingin dibawa ke rumah sakit?"
Alina tampak menggeleng.
"Dasar keras kepala. Aku akan menunggu di sini sampai ayahmu pulang, oke?"
Riana menjaganya hingga malam tiba. Saat itu sudah pukul tujuh malam. Suhu tubuhnya sudah mulai turun. Tetapi masih belum bisa dikatakan sembuh.
"Kenapa ayahnya belum pulang juga? Apa selalu seperti ini setiap harinya?"
Riana menatap ke arah Alina yang masih tidur.
"Dia pasti lapar!"
Riana lalu turun ke bawah untuk memasak di dapur. Tetapi tidak ada satupun bahan masakan yang bisa dipakai di dalam kulkas. Hanya ada roti dan minuman botol. Itu hal wajar, mengingat jika di rumah ini tidak ada yang bisa memasak. Biasanya makanan hanya di pesan secara online saja. Jadi mustahil jika ada bahan masakan di apartemen ini.
Mau tak mau, Ayana hanya bisa memesan bubur secara online . Ia juga tak bisa berbelanja karena minimarket berada di persimpangan jalan. Itu akan memakan waktu yang lebih lama .
Sambil menunggu pesanan tiba, ia mencoba menghubungi Ervin kembali. Masih tetap sama. Nomor yang dituju sedang sibuk. Akhirnya ia memilih untuk mengirimkan pesan teks saja.
"Kasihan Alina! Dia pasti sangat kesepian!"
...****************...
Nb. Jangan lupa dukung ya!!
♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments