Istriku Selingkuhanku
Seorang gadis kurus berpakaian lusuh, kulit kecoklatan, kusam, kering, rambut sebahu kusam dan pecah-pecah, nampak berlari di samping brankar yang didorong perawat menuju UGD.
"Ello, kamu harus kuat. Kakak tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Kamu harus bertahan!" ucap gadis yang tak lain adalah Elin. Kepanikan nampak jelas di wajahnya yang basah oleh air mata.
Beberapa menit kemudian Elin duduk menangis di koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu adiknya menjadi korban tabrak lari dan dilarikan ke rumah sakit tempat dirinya berada saat ini.
Adiknya butuh biaya untuk operasi, namun ia dan adiknya yang merupakan anak yatim-piatu tanpa sanak saudara di kota besar ini, tidak memiliki cukup uang untuk biaya operasi.
Elin adalah gadis yang tidak lulus SMA yang berprofesi sebagai penjual kue keliling. Ia putus sekolah karena ibunya meninggal ketika ia menerima raport semester satu saat kelas 12. Ia menggantikan ibunya menjadi tulang punggung keluarga, melanjutkan usaha ibunya berjualan kue keliling.
Ayahnya? Sepuluh tahun yang lalu ayahnya pamit pergi bekerja, tapi tidak pulang hingga saat ini dan tidak pernah ada kabar beritanya. Entah masih hidup atau sudah meninggal.
Ia dan adiknya tinggal di rumah petakan padat penduduk di lingkungan kumuh dan makan seadanya agar bisa menabung untuk biaya sekolah adiknya.
Ia bekerja keras tanpa lelah, pagi berjualan kue, siang menjadi pemulung dan malam hanya tidur sebentar karena pukul tiga dini hari sudah mulai membuat kue untuk di jual pagi hari. Semua itu ia lakukan agar adiknya bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter. Ia tak ingin cita-cita adiknya kandas seperti cita-citanya yang ingin menjadi seorang guru.
Elin memiliki harapan besar adiknya bisa menjadi dokter karena adiknya sangat cerdas, selalu rangking satu, dan selalu mendapatkan beasiswa. Karena itu selama ini Elin tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk sekolah adiknya dan bisa menabung meskipun tidak banyak.
"Bagaimana caranya agar aku bisa menyelamatkan Ello? Dia saudaraku satu-satunya. Aku harus bagaimana?" gumam Elin menangis terisak-isak memeluk kedua lututnya.
Elin takut kehilangan adiknya, keluarganya satu-satunya yang ia miliki. Elin merasa putus asa karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan adiknya.
Menjual diri? Siapa yang akan tertarik dengan gadis kurus dan dekil seperti dirinya? Menjual organ tubuh? Elin sudah bicara pada beberapa orang perawat dan dokter kalau dirinya ingin menjual ginjal dan hatinya agar bisa membiayai operasi adiknya, tapi perawat dan dokter tidak menanggapinya.
"Kakek bisa membantumu," suara kakek tua terdengar membuat Elin mengangkat wajahnya menatap sang kakek berwajah pucat yang duduk di kursi roda. Seorang pria paruh baya nampak berdiri di belakang kakek tua itu.
"Be.. benarkah?" tanya Elin antara tak percaya dan penuh harap menatap sang kakek.
"Benar. Asalkan kamu menyanggupi persyaratan yang kakek ajukan," sahut sang kakek.
"Saya akan melakukan apapun, asalkan adik saya bisa selamat," ucap Elin yang sudah putus asa. Tidak peduli syarat apa yang diinginkan kakek tua ini, yang penting adiknya bisa selamat.
"Apapun?" tanya sang kakek memastikan.
"Apapun. Menjadi pelayan keluarga kakek seumur hidup pun saya rela. Bahkan.. saya rela memberikan organ tubuh saya jika diperlukan, asal adik saya bisa selamat," jawab Elin penuh kesungguhan masih dengan wajah yang basah oleh air mata.
"Baik. Kita tolong adik kamu dulu, setelah itu kita bicarakan syarat yang kakek inginkan," ucap sang kakek.
Akhirnya adik Elin mulai ditangani dokter di ruangan operasi. Selama menunggu adiknya di operasi, Elin dan sang kakek yang ternyata bernama Zhafran tersebut saling memperkenalkan diri. Kakek Zhafran bertanya banyak hal tentang Elin.
Beberapa jam kemudian Elin bisa bernapas lega setelah dokter mengatakan bahwa operasinya berjalan lancar. Setelah operasi selesai, adik Elin di bawa ke dalam ruang pemulihan ( ruang recovery).
Di ruangan recovery, pasien di observasi tanda-tanda vital, keluhan, perdarahan atau masalah lainnya selama 2 – 3 jam. Setelah itu akan dipindahkan ke ruangan rawat inap atau rawat intensif sesuai dengan advis (saran) dokter.
"Menurut dokter, kemungkinan besar adik kamu akan segera pulih, karena semangat hidupnya tinggi. Sebelum kita bicarakan tentang perjanjian kita tadi, kamu ambil dulu semua berkas pribadi mu," ujar Kakek Zhafran.
"Baik," sahut Elin mengikuti Kakek Zhafran yang duduk di kursi roda dan didorong oleh seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah Hadi.
Mereka masuk ke dalam sebuah mobil yang perlahan meninggalkan rumah sakit menuju kawasan perumahan kumuh milik Elin. Jujur, baru kali ini Elin naik mobil mewah. Seumur hidupnya, mobil yang pernah dinaiki Elin hanya mobil angkot, bus dan mobil pick up.
Dari kamar rumah sakit yang berbau obat, Elin bersama Kakek Zhafran dan Pak Hadi keluar menuju dunia yang berbeda. Mobil mewah Kakek Zhafran yang dikemudikan oleh Pak Hadi meluncur mulus di jalanan aspal yang mulus, kontras sekali dengan jalanan berlubang dan berdebu yang biasa Elin lalui. Jendela mobil diturunkan sedikit, angin malam membelai wajah Elin, membawa aroma bunga-bungaan yang asing. Elin memejamkan mata, mencoba membayangkan bagaimana kehidupannya akan berubah dari saat ini.
Mobil melaju semakin jauh meninggalkan rumah sakit. Elin menatap keluar jendela, pikirannya melayang, "Tadinya, aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar adikku bisa sembuh. Sekarang, aku dihadapkan pada kenyataan baru, yaitu syarat yang diberikan oleh Kakek Zhafran yang belum aku ketahui. Aku yakin syarat ini tidaklah mudah. Mungkin ke depannya aku akan menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari yang pernah aku bayangkan. Apakah aku siap menghadapi semua ini?" batin Elin bertanya-tanya.
Setelah Elin mengambil semua berkas pribadinya dan menyerahkannya pada Pak Hadi, mereka langsung melanjutkan perjalanan ke perumahan elit di kota tersebut.
Elin tertegun menatap rumah-rumah yang dibangun serta didesain dengan arsitektur yang modern dan elegan, menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi seperti marmer, kayu jati, dan kaca. Luas bangunannya pun sangat besar.
Berbeda 180 derajat dengan perkampungan tempatnya tinggal. Kondisi fisik rumah di perkampungan tempat tinggalnya sangat buruk dan tidak layak huni. Bangunannya terbuat dari bahan seadanya, seperti kayu lapuk, seng bekas, atau bahkan anyaman bambu. Ukurannya pun terbatas dan seringkali tidak memiliki ventilasi yang cukup.
Lingkungan sekitar tempatnya tinggal juga tidak sehat, sanitasi buruk, akses terbatas terhadap air bersih, gang sempit, banyak sampah di mana-mana, bau got menyengat yang membuat perut mual, jemuran berbentuk kacamata dan segitiga warna warni, alias pakaian dalam bergelantungan bebas di atas kepala.
Tempat tinggalnya dan tempat tinggal sang kakek benar-benar jauh berbeda, berbanding terbalik, bagai langit dan bumi.
Tak lama kemudian mobil tersebut memasuki gerbang sebuah rumah besar. Elin menelan salivanya kasar saat turun dari mobil dan melihat rumah yang ada di depannya saat ini.
Elin yang hanya memakai sandal jepit berwarna putih yang tidak lagi putih itu mengikuti sang kakek masuk ke dalam rumah besar, megah nan mewah.
Ia bahkan melepaskan sandal jepitnya sebelum masuk ke dalam rumah karena takut mengotori lantai yang bisa dipakai untuk bercermin karena sangking bersihnya. Para pelayan di rumah itu menatap Elin dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Rumah ini sungguh indah. Cahaya lampu kristal menyinari ruangan, memantul pada lantai marmer yang berkilau. Aku merasa seperti Alice yang tersesat di Negeri Ajaib," batin Elin seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.
Setiap sudut rumah Kakek Zhafran memancarkan kemewahan yang tak terbantahkan. Lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan, sementara lantai marmer berkilau memantulkan cahaya. Perabotan antik menghiasi setiap ruangan. Dinding-dindingnya dihiasi oleh lukisan yang begitu indah dan hidup, menciptakan galeri seni pribadi yang menakjubkan.
Berbeda jauh dengan rumah petakan tempat tinggalnya yang sempit tanpa perabotan dan hanya diterangi light bulb (bola lampu) 10 Watt. Lemari pakaiannya adalah kardus bekas, dan dirinya tidur hanya beralaskan tikar usang. Tidak ada kursi, ranjang, apalagi meja makan.
"Mira.." panggil Kakek Zhafran, pada seorang wanita paruh baya.
Sedangkan Pak Hadi masih di belakang Kakek Zhafran, siap mendorong kursi roda Kakek Zhafran kemanapun.
"Iya, Tuan besar," sahut Mira yang merupakan kepala pelayan di rumah tersebut sekaligus ibu susu Zion, cucu Zhafran satu-satunya.
"Kamu tunjukkan kamar tamu untuk Elin, agar Elin bisa membersihkan diri," titah Zhafran dengan suara pelan dan wajah yang terlihat pucat.
"Baik, Tuan besar," sahut Mira, kemudian membimbing Elin ke salah satu kamar tamu yang ada di rumah tersebut.
Kakek Zhafran menatap Elin yang dibimbing menuju kamar tamu dengan tatapan penuh penyesalan.
"Aku sadar bahwa kesalahanku telah menimbulkan dampak yang begitu besar bagi keluargamu. Kesalahan ini terasa begitu berat, seakan menindih dada dan menyumbat napasku. Setiap kali mengingat peristiwa itu, penyesalan menusuk relung hati terdalamku. Rasa bersalah ini bagaikan bayangan gelap yang tak pernah lepas dari diriku, menghantui setiap langkah dan menghancurkan ketenanganku. Elin.. maaf.." kata yang tidak terucap dari mulut Kakek Zhafran. Bibirnya nampak bergetar, mata berkaca-kaca dan kedua tangannya terkepal erat.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Siti Aidar
menyedihkan
2024-10-27
1
Yulia Irawan
kayaknya seru... sang kakek nyimpen rahasia apa ya... sepertinya punya kesalahan terhadap keluarga elin deh...
2024-10-12
3
sherly
wow dari judulnya saja sudah buat penasaran...
2024-10-09
2