Layla bukannya tidak mengenal sosok itu, yang kembali muncul. Padahal ia selalu berharap jika tidak akan bertemu dengannya lagi, berselang 2 tahun lamanya ia harus berusaha melupakan pemuda itu dari kehidupannya. Sejujurnya, ia tidak bisa melupakan pemuda itu dengan mudah entah mengapa. Layla hanya berusaha sampai detik ini, sejujurnya hatinya tidak bisa teralihkan dengan siapa pun. Padahal ada banyak yang menunggu Layla siap membuka hati, hanya saja dia seolah tidak memberikan tiket itu ke siapa pun.
Sekarang ia tengah dalam masa semakin depresi, di tinggal ayahnya selama 2 tahun itu juga karena sebuah pertengkaran hebat, pertengkaran tanpa alasan dan hanya di mulai oleh satu orang, yaitu adalah ulah Layla sendiri. Gadis itu yang memulai sebuah perang dengan pria paruh baya yang menjabat sebagai seorang ayah di dalam kehidupannya. Karena sebuah rahasia yang tidak lagi ia sembunyikan, terlalu muak dengan semua itu.
Kejadian yang terjadi begitu cepat, sehingga terkadang Layla merasakan jika kehidupan ini seperti tidak bisa menerimanya ada di sana. Gadis itu berusaha kuat, dengan dua sahabat yang ia miliki sekarang itu membuatnya sebagai sebuah semangat baru dan sebuah tujuan baru. Ia akan tetap hidup dengan normal, dan bahagia karena ia tidak mau meninggalkan dua sahabatnya itu, dan Fatma.
Di dalam organisasi yang ia ikuti saat ini, sudah seperti tempat untuk melupakan masalahnya di dalam rumah. Layla mengikuti organisasi OSIS, yang sebenarnya dia tidak minat dengan itu. Tetapi, karena permintaan tantenya yang membutuhkannya untuk berada di sana. Mau tidak mau ia harus menurut, tidak ada lagi rumah untuk bersinggah lagi. Dan sekarang adalah waktunya, organisasi yang tengah mengadakan sebuah rapat untuk acara kakak kelas yang akan lulus tahun ini. Itu yang mengurus adalah organisasi sekaligus beberapa guru yang ikut membantu masalah acara rumit itu.
Dan Layla harus berhadapan dengan ketua OSIS yang terlalu ambisius, sekaligus tidak kenal mau yang namanya kalah. Bukannya tidak mau kalah, dia terlalu keras kepala dan dia menakutkan. Itu bagi Layla, tapi bagi orang lain dia tampan. Bagian mana titik ketampanan itu?
"Jadi? Kita cuma perlu merencanakan? Biayanya?"
"Biaya dari hasil pengumpulan uang spp, apa fungsi spp kalau bukan tentang ini?" Layla mengatakan semua itu tanpa beban, uang spp itu akan berfungsi setidaknya dengan sebagian uang untuk pembangunan dan juga uang perayaan kelulusan. Sudah berlangsung selama 3 tahun, pasti terkumpul cukup.
"Menurut lo gitu? Lo pikir gedung sebelah pakek uang apa? Spp, lo mikir apa mbak? Sekolah butuh uang tambahan lain-"
"Terus lo mau kasih solusi buat siswa bayar lagi? Lo pikir semua siswa di sini konglomerat kayak lo?"
"Gw gak ngomong gitu, mbak. Kita kasih pilihan setelah rapat orang tua di lakukan, mereka setuju atau gak itu hak mereka-"
"Omong kosong, bakal ada pemungutan lagi kan? Gw tau acara kelulusan itu cuma beberapa tahun sekali dan acara cuma berlangsung cuma waktu lulus aja. Gw tau, tapi apa harus?"
Tidak, Layla beradu argumen dengan ketua OSIS yang kenyataannya adalah adik kelasnya sendiri. Ia hanya mau keadilan untuk siswa yang dari kalangan menengah, karena sekarang Layla mengalami yang namanya ekonomi yang bermasalah. Jangan beranggapan jika Layla tidak mengalami musibah itu ia akan beranggapan sama dengan ketua OSIS itu, tidak. Ia hanya mau semuanya adil saja, kenapa? Itu salah?
"Mbak, gw tau niat lo baik kasih solusi itu. Tapi tanpa biaya tambahan, acaranya bakal sulit di lakuin. Apa lagi kakak kelas angkatan 12 itu mau yang bahkan gak sampai bajet yang kita punya, kita harus apa? Ujung-ujungnya kita juga yang di salahin."
Hisam, memberikan sebuah tanggapan akan itu. Keputusan yang sulit bukan? Keinginan angkatan 12 yang terlalu berlebihan dan tidak memikirkan keuangan sama sekali, yang mereka hanya mau perayaan yang sepadan dengan perjuangan mereka. Mereka? Mungkin ada yang tidak niat, kalian pasti paham dengan semua itu. Tapi apakah permintaan kelas angkatan 12 semuanya sama? Tentu saja pasti ada yang di paksa untuk berpendapatan sama.
Layla menaruh kertas-kertas berisi permintaan rumit angkatan 12 itu, berpikir jernih dan berusaha mendinginkan kepalanya sendiri. Semua anggota OSIS yang sedikit ragu memberikan argumen jika kedua kubu ini terus berperang, antara Layla dan Hisam. Keduanya sama-sama tidak mau kalah, walaupun beberapa argumen mereka bisa di logika dengan baik.
"Ngundang artis? Otaknya mampet kayaknya,"
"Maka dari itu mbak, gw ngasih saran yang pantas sama permintaan mereka. Apa masih keberatan sama keputusan yang gw ambil, mbak?" Hisam menyatakan hal itu, bukan dirinya yang salah sebenarnya. Permintaan tidak masuk akal itu yang membuatnya harus berperang dengan kakak kelasnya itu, yang duduk di depannya saat ini.
"Ambil pemungutan suara, besok."
Seketika satu ruangan terkesiap, bahkan guru pun terkejut dengan satu kalimat yang keluar itu. Para guru saja bingung dengan permintaan anak murid mereka sendiri jadi meminta bantuan kepada OSIS di sana. Apalah daya, mereka akan di serang para murid jika saja permintaan tidak di turuti, dan memberikan kesan tidak menyenangkan nantinya.
"Kamu yakin? Apa mereka bakal mau?"
"Kalau gak mau, suruh aja ngadep ke saya bu. Kasih alasan yang logis kenapa gak mau, simple? Rapat selesai." Layla langsung beranjak dari tempat duduknya itu dan pergi meninggalkan orang-orang masih di dalam ruangan.
Hisam langsung berdiri dan menyusul gadis itu keluar dari ruangan itu. Ia melihat punggung kecil itu dari jauh, lantas ia mengejarnya sampai ia berdiri di depan Layla dengan tinggi badannya yang mendominasi di sana. Hisam sebenarnya hanya mau mengatakan sesuatu, walaupun ia tahu jika Layla tidak akan semudah itu berhadapan dengan lawan jenis secara empat mata.
"Maaf mbak, tapi keputusan yang mbak buat. Apa gak bahaya mbak? Gimana kalau mbak di labrak habis-habisan sama mereka?" Pertanyaan yang terus terlontar seolah tidak menerima satu keputusan yang hanya di setujui satu pihak, jujur saja Hisam tidak masalah. Hanya salah ini akan membahayakan satu pihak, semua orang akan mengatakan jika hanya Layla yang mengambil keputusan secara egois padahal semuanya juga setuju dengan hal itu.
"Gw gak perduli,"
"Tapi mbak-"
"Apa? Lo mau apa lagi? Kalau lo mau batalin, yaudah batalin aja yang tadi. Gw gak masalah, gw masuk OSIS juga di paksa kali. Gw gak minat, gw cuma mau ikut andik aja biar tante gw gak di serang, itu aja. Bukan urusan gw, minggir lo bocah!" Layla mendorong barang Hisam yang mendominasi jauh lebih besar darinya itu.
Hisam hanya diam di sana, sampai di mana ia membalikan badannya dan melihat kepergian kakak kelasnya itu dengan ekspresi angkuhnya itu. Ia tidak mau apa yang di khawatirkan akan terjadi, apa maksudnya Hisam?
"Gw bakal ikut kalau ada yang protes sama lo, mbak. Gw bakal ada di depan lo nanti... " Langkah gadis terhenti beberapa saat di sana, di lorong itu seolah menjadi saksi jika Hisam akan melindungi Layla jika saja ada yang menyakiti kakak kelasnya itu.
"Gw bakal ada di depan lo... "
Layla bahkan tidak memberikan sebuah tanggapan apa pun, akan nyali Hisam saat ini. Ia mengabaikan pemuda itu dan melanjutkan langkahnya ke kelas kembali, kembali mencuci otaknya dengan pelajaran tanpa harus berpikir pusing akan keadaan yang sekarang tengah ia hadapi.
Tidak lagi memberikan sebuah kesempatan untuk siapa pun, berusaha mengabaikan semua orang agar tidak terjebak lagi dengan perasaan. Di satu sisi ketika ia akan masuk ke kelas, ternyata kelas tengah dalam keadaan sepi dan di sana ia tidak sengaja mendengar sesuatu di sana.
"Gw suka sama Hisam, tapi gimana? Hisam kayak gak perduli sama gw, tapi gw bisa liat jelas kalau Hisam itu perduli sama Layla,"
"Jadi lo cemburu? Itu cuma penglihatan lo doang, Jena. Lo liat dari sisi Layla gak? Lo juga udah denger sendiri kalau Layla aja mati rasa sama semua orang, sampek Aska aja dia cuekin." Seolah tengah menjelaskan dari satu sisi, meyakini jika Layla sudah mati rasa dengan semua orang.
"Tapi apa lo gak liat? Gw lihat sendiri, Hisam selalu ambil tempat duduk yang deketan sama Layla, kayak mau deket gitu,"
"Hisam alim tau gak? Dia gak bisa deket sama cewek, dia agamis banget. Lo pasti tau juga soal itu, mana mau dia deket sama anak tanpa figur ayah kayak Layla?"
Seketika itu seolah dunianya seperti hancur, sahabatnya sendiri bisa mengatakan semua itu? Lantas, jika mereka tahu Layla banyak kekurangan mengapa mereka mendekat? Kenapa? Gadis itu melangkah mundur, mencoba tidak mendengar apa pun di sana dan bersikap normal. Namun, kenyataannya tidak akan bisa ketika ia sudah terlanjur sakit hati.
Layla berlari entah ke mana, mencoba meredamkan semuanya, berusaha melupakan segalanya dan meyakinkan kepada dirinya sendiri jika dirinya salah mendengar. Salah mendengar? Padahal Layla yang mendengar itu secara jelas dan masuk ke otaknya sendiri. Mengapa masih mengelak.
"Manusia emang gak ada yang bisa di percaya ya, hahaha... Goblok banget gw... "
...◇◇◇...
Arkan berada di gerbang sekolah, ia berniat menunggu seseorang di sana, siapa lagi kalau bukan Raka dan Javas. Mereka berakhir satu sekolah, itu sangat keberuntungan sekaligus kebetulan. Ia tidak sengaja saja melihat ke arah jalan raya, beberapa kendaraan yang lewat dan bus yang berhenti di depan sekolahnya menunggu penumpang atau bahkan mencari orang yang mau naik bus.
Di sana pria itu tidak terlalu perduli dengan itu, ia hanya sebatas menatap pemandangan yang ada di depannya saja. Tapi siapa sangka, jika bus yang berhenti memperlihatkan seseorang yang duduk di dalam sana. Arkan membeku di sana, badannya yang seketika tegap dan secara tiba-tiba berjalan mengejar bus itu. Gadis itu hanya diam seraya mendengarkan musik dengan headset yang dia pakai, tidak tahu jika ada Arkan yang mengejarnya di sana.
Arkan berlari ketika bus itu sudah mulai jalan, melaju cepat begitu saja meninggalkan dirinya di sana. Ia tidak dapat menyusul bus itu karena terlalu cepat, langkahnya tetap akan kalah dengan kendaraan seperti itu. Arkan mengatur nafasnya, dia kembali membalikan badannya dan mengambil motornya yang terparkir di dalam sekolah. Lantas dia menyusul gadis itu ketimbang menunggu kedua sahabatnya yang masih ada di dalam sekolah.
Di sana ia melajukan kendaraannya itu, berusaha menyamakan kecepatannya sampai di mana bus itu berhenti di stasiun itu. Gadis itu turun dari bus itu, melanjutkan langkahnya ke rumah dengan jalan kaki. Arkan tidak mau menyia-nyiakan hal itu, dia berhenti tepat di depan gadis itu.
"Apaan sih?!" Arkan melepaskan helmnya dan turun dari motornya.
"Sebentar, La... Please dengerin gw dulu,"
"Siapa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments