Layla masih sama saja, tidak menerima kehadiran siapa pun saat ini. Bahkan yang di perbolehkan masuk hanyalah Javas, sepupunya saja sisanya ia enggan melihat. Javas duduk di sisi bangsal saudaranya itu, melihat betapa menyedihkannya hidup ini kepada saudara perempuannya itu.
"Lo bisa nuntut kalau lo mau, gw bakal cari cara-"
"Gak perlu, dia di penjara pun gak akan bisa buat gw sembuh." Layla menoleh ke arah Javas, niatnya memang baik untuk memperbaiki keadaan. Hanya saja keadaan sudah tidak bisa lagi di perbaiki.
Mengapa ia harus bertahan jika tidak ada sesuatu yang membuatnya mampu? Terkadang gadis remaja itu berpikir, semua orang akan sama saja. Datang dan pergi sesuka hati mereka tanpa memikirkan perasaan seseorang yang sudah terlanjur bergantung, tidak bisa ia elak semuanya. Layla terkadang takut kehilangan seseorang. Tapi ia enggan mengatakan semua itu, berpura-pura tidak perduli agar tidak terlihat lemah di mata mereka semua.
Javas tidak tahu apa pun tentangnya, ia tidak membuka diri di depan Javas. Dengan segala alasan yang ia katakan beberapa waktu itu, sebuah pendirian yang sepertinya akan dia terapkan sampai kapan pun. Ia cukup sakit hati dengan semua ini, setelah patah hati terhebatnya kepada seseorang yang menjabat sebagai pria pertama di dalam hidupnya, dan sekarang ia harus merasakan patah hati dengan seorang pemuda yang pertama kali ia sukai.
Cinta memang tidak bisa di miliki, hanya bisa di rasakan dan di lihat saja. Tapi Layla sadar semua itu, ia tidak akan pernah berhak atas semua itu. Gadis itu sangat sadar 100℅ sekarang, ia tidak akan bisa mengelak akan segalanya walaupun ia sebenarnya bisa.
"Kenapa lo diem aja? Padahal lo bisa ngomong semuanya, lo masih di bawah umur. Itu kesempatan lo buat jatuhin dia-"
"Apa kata orang, gw terlalu kejam untuk seorang anak yang membenci ayahnya sendiri. Mau bagaimana pun dia ayah kandung gw, entah dia nerima gw dalam kehidupannya atau gak, gw gak bisa ngelak soal itu. Gw bisa apa? Gw bahkan gak tau harus mengekspresikan semua ini dengan apa lagi?"
Layla sempat tersenyum walaupun air mata itu menetes membasahi pipinya, dan sekarang Javas tidak mampu mengatakan apa pun. Walaupun keras kepala gadis itu tidak bisa di lawan, tapi terkadang sifat terlalu baik dan menurunkan harga dirinya itu bisa membuat siapa saja akan semena-mena kepadanya. Tidak bisa di katakan lagi.
"Gw gak bisa, La. Gw mana bisa liat lo terus-terusan tersiksa kayak gini? Gak, gw gak bisa-"
"Gw gak apa-apa, tangisan gw gak akan bikin nyaaa gw ikut hilang. Gw cuma gak bisa beradaptasi aja sama semua ini, selebihnya lo gak perlu khawatir,"
"Gak khawatir kata lo? Dengan keadaan lo yang semakin memburuk kayak gini? Lo gila?" Layla tertawa, ia memang gila bukan?
"Mungkin iya, gw emang sudah gila. Makasih sudah mengingatkan. Lo bisa pulang ke rumah istirahat, gw bisa sendiri." Layla membalikan badannya memunggungi Javas di sana. Pemuda itu tidak mampu mengatakan apa pun lagi, untuk sekarang otaknya mendadak mati.
Di satu sisi ia tidak bisa memaksakan kehendak Layla, ia memilih pergi dari sana segala kepedihan yang dirinya rasakan. Keluar dari ruangan itu ia menemukan Arkan, sahabatnya itu sudah lama menunggu di luar ruangan itu untuk sekedar meminta izin bertemu. Javas menatap ke arah Arkan dengan tatapan menyedihkan. Ada apa?
"Kenapa?" Tiba-tiba saja Javas menangis di sana, itu membuat Arkan bertanya-tanya dengan apa yang sudah terjadi di dalam sana.
Namun, yang Arkan lihat hanyalah sosok Layla yang entah dia tengah tertidur atau justru menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya terjadi. Arkan memilih menenangkan Javas terlebih dahulu, mungkin memang ada yang sudah terjadi. Hanya saja Arkan tidak pernah bisa tahu semuanya, tapi ia harus tahu semuanya untuk meluruskan semua ini.
...◇◇◇...
Setelah 3 hari itu, Arkan berjaga di rumah sakit. Dia tidak langsung masuk ke ruangan Layla, dia berjaga di luar ruangan sedangkan di dalam sana hanya ada Javas. Arkan sering diberikan pesan oleh ayah Javas, agar mengingatkan tentang makan dan istirahat. Sebenarnya Arkan sudah di suruh pulang ke rumah saja, tapi Arkan selalu menolak akan itu.
Sedangkan di dalam ruangan, Javas merawat saudara perempuannya yang besok akan pulang ke rumah. Selama beberapa hari juga wanita itu tidak datang menjenguk anaknya sendiri dengan alasan anak laki-lakinya juga sakit di rumah. Siapa? Tentu saja adik laki-laki Layla.
Entah apa yang beliau pikirkan sampai dia mengabaikan anaknya yang lain, yang jelas-jelas lebih membutuhkan sosoknya saat ini. Tapi dia justru memilih anaknya yang lain, apakah yang sering Layla pikirkan itu sudah benar? Tidak, jangan berprasangka buruk. Banyak orang menanggapi akan itu, anak perempuan tidak terlalu penting karena anak perempuan tidak bisa di andalkan. Benarkah? Tapi kenyataannya Layla melakukan semuanya sendirian.
Sampai dia bisa melupakan semua orang saking mandirinya dia sekarang. Melupakan sosok yang sebenarnya bisa membantunya dalam berbagai hal. Javas mengerti, keadaannya sekarang tidak bisa memungkinkan, apa lagi melawan adalah ide buruk untuk saat ini. Javas berniat pergi ke toilet, yang letaknya ada di dalam ruangan juga.
Baru saja dia menyelesaikan urusannya dan hendak keluar toilet, niatnya di urung. Karena ia mendengar suara familiar saat ini sedang berbicara dengan Layla, dengan nada biasa tapi kalimatnya menusuk. Javas tidak pernah melakukan apa yang dikatakan, kalimat itu juga tidak tertuju kepada Javas juga, tapi entah mengapa ada sakit hati di sana.
"Lo memang anak sialan, karena lo rumah tangga yang gw bangun sejak lama hancur karena anak haram kayak lo. Gw gak tau apa niat tuhan sampai nitipin lo ke gw? Apa tuhan ngutuk gw atas apa yang gw lakuin? Tapi gw gak salah, seandainya aja lo gak pernah bilang ke istri gw kalau gw udah nikah lagi, dan punya anak juga di sana. Mungkin lo bakal baik-baik saja sekarang, lo menderita karena siapa? Diri lo sendiri, jadi jangan pernah lo berdiri di depan gw atau minta tolong ke gw setelah apa yang lo lakuin. Gw harap lo mati secepatnya, biar gw bisa punya keluarga bahagia tanpa lo ada di sana."
Kedua tangan Javas menggenggam erat, raut wajahnya terlihat sangat marah saat mendengar semua itu. Saat ia membuka pintu toilet dan mendapati pria itu akan keluar dari sana, ia langsung berlari sekaligus memberikan hantaman keras sampai badan buntal pria itu terhempas di sana.
Mendengar suara rusuh itu Arkan langsung masuk ke dalam bersama perawat laki-laki, melihat keadaannya sekarang menjadi kacau. Kapan pria itu masuk ke dalam? Arkan hanya pergi sebentar tadi, berniat memanggil perawat untuk mengontrol kesehatan Layla, karena sepertinya Javas melupakan jadwal periksa itu.
Tetapi, dia malah melihat pertengkaran di dalam sana dan bisa ia lihat bagaimana raut wajah Javas saat ini yang begitu marah. Menatap benci ke arah pria itu saat ini. Arkan menoleh ke arah gadis itu yang hanya diam, dengan tanpa sadar air mata itu menetes di sana. Perawat itu mencoba melerai pertengkaran itu, walaupun amarah Javas jelas tidak bisa di tentukan jika sudah seperti ini.
"Lepasin gw!! Denger ya tua bangka, lo gak pantes di sebut bapak tau gak?! Gak pantes! Yang mati harusnya lo bukan Layla!! Lo yang harus mati!!!"
"Javas-"
"Jangan lo coba-coba buat gw berhenti, Arkan. Dia bajingan, dia harusnya di penjara karena dia KDRT!! Dia nyiksa anaknya sendiri!!! Apa gw salah belain saudara gw yang jadi korban? Salah gw?!! Lepasin!!" Javas terus memberontak tidak karuan, wajahnya sudah merah padam terbakar emosi.
Pria itu berdiri di bantu oleh perawat itu, dia menatap ke arah Javas dengan tatapan benci dan beralih ke arah Layla yang sejak tadi sama sekali tidak memberikan respon apa pun. Pria itu kemudian pergi dari sana, dan Javas masih terbakar amarahnya sendiri seperti akan menghantam. Dan benar saja, ia menghantam Arkan dengan pukulan keras di sana.
"Lo jangan ikut campur, lo cuma orang asing yang pengen tau aja. Jangan lo buat gw berhenti, karena gw gak akan pernah berhenti." Javas langsung pergi dari ruangan itu, dia menatap ke arah perawat itu.
"Maaf mas, tolong jaga dia sebentar ya,"
"Baiklah, saya akan panggil satpam untuk menghentikan kekacauan tadi." Arkan hanya mengangguk saja, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Layla yang hanya menatap ke arah depan dengan tatapan kosong, menangis dalam diam, itu yang sedang dia lakukan.
Dan Arkan berlari mengejar Javas yang hilang kendali, dan juga menghubungi kedua orang tua Javas tentang semua ini. Ia berharap jika ini akan segera berhenti, walaupun ia tidak tahu apa masalahnya sampai membuat Javas bisa semarah ini. Tapi ia yakin, masalahnya pasti adalah masalah besar. Javas tidak mungkin marah tanpa alasan yang jelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments