Sepanjang jalan gadis itu memakai headset seolah berisiknya dunia tidak mau ia dengar, hari minggu yang membosankan dan pekerjaannya hari ini hanyalah menggambar. Rasa bosan itu terus menghantui, di dalam waktu ia terus berusaha melupakan seseorang. Mencintai seseorang dalam jangka waktu 7 tahun lamanya, itu seperti mempersulit diri sendiri.
Layla mengalihkan dunianya dengan menggambar dan melukis, atau bahkan membuat sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya sendiri. Ia tidak memikirkan hal banyak, ia hanya mau melupakan seseorang sekarang. Baginya semua pria sama saja, ia bahkan enggan dengan pakde sendiri, yang jelas-jelas membantunya dengan suka rela. Itu adalah kebodohan, tapi situasi membuat semua itu adalah pikiran yang benar.
Tidak terlalu memperdulikan segalanya, ia memikirkan bagaimana masa depannya tanpa seorang ayah. Peran ayah yang baginya sudah musnah dari hidupnya, sejak kecil. Sejak itu Layla tidak akan pernah mempercayai pria mana pun lagi.
"La, mama mu datang."
Ia langsung menoleh ke arah suara, dan seketika itu gadis remaja itu beranjak. Menemukan sosok wanita itu, ia hanya diam dan berjalan pelan di sana dengan bendungan air matanya yang sulit di tahan. Wanita yang ia sebut mama itu tersenyum ke arahnya, walaupun ia masih tidak paham jika anak perempuannya tetap bisa merasakan apa yang ia rasakan.
"Kamu makan dengan baikkan? Jangan menangis, semuanya akan baik-baik saja... Mama janji... " Layla menggelengkan kepalanya, ia tidak mau keadaan membaik. Ia hanya mau kehidupannya seperti anak-anak lain, hidup dengan normal dengan keluarga lengkap dan menyayanginya. Apakah itu begitu sulit ia dapatkan?
"Maaf, kalau aja aku gak bilang. Mungkin gak akan kayak gini-"
"Stt! Mama gak apa-apa, justru jika kamu tidak mengatakan itu kepada mama. Mama tidak akan tahu kehidupan mama sedang di pertaruhkan, maafkan mama ya? Maaf, karena kamu harus menghadapi semua ini di saat kamu sedang fokus belajar." Layla hanya menunduk, berusaha tersenyum di depannya.
Bahkan ketika pria itu memaki dirinya, memaki mamanya, memaki adik paling kecil yang ia sayangi. Di saat kasih sayang itu tidak terbagi dengan merata, itu membuatnya sakit hati setengah mati. Apakah ia menginginkan semua ini? Jelas semua itu tidak akan mau ia alami. Jika saja ia hidup kembali, Layla akan berharap keluarga yang ia tempat akan menyayangi dirinya. Tidak perduli kondisi ekonominya, ia tidak perduli.
"Maafin mama, mama bahkan gak pernah tahu soal luka yang dia lakukan sama kakak... Mama terlalu bodoh, maafin mama ya? Maafin mama... " Dia memeluk putrinya, yang bahkan sama sekali tidak ia ketahui luka dalam putri kandungnya sendiri. Ia tidak tahu apa pun, ibu macam apa dirinya itu?
Bahkan pelukan saat ini adalah pelukan yang pertama kalinya Layla rasakan, dan semua itu sungguhan ia rasakan. Ini rasanya di peluk? Menyenangkan ya? Pantas saja adik laki-lakinya sangat suka sekali di peluk.
...◇◇◇...
"Kepala lo masih pusing? Apa mau gw bawa ke uks?" ucap teman satu kelasnya ketika melihat wajahnya mulai memucat di terik sinar matahari saat ini. Upacara di laksanakan di hari senin dengan jangka waktu 1 jam lamanya. Ia tidak tahu kapan semua ini akan selesai, badannya yang sama sekali tidak bisa di ajak kerja sama.
Layla berusaha bertahan di atas kedua kakinya sendiri. Javas curi-curi pandang ke arah sepupunya itu yang sudah terlihat tidak meyakinkan itu. Javas hendak melangkah ke arah di mana Layla berdiri, tapi langkahnya terhalang oleh kakak kelas OSIS.
"Mau kemana lo? Di sini aja, bentar lagi juga selesai-"
"Layla pingsan, gw harus bawa dia ke uks sekarang-"
"Lo gak sopan banget sih? Nanti juga ada yang nanganin dia kalau pingsan, lo urus diri lo sendiri aja dari pada di hukum, ngerepotin aja." Javas mengumpat dalam hati, terkadang ia ingin memukuli kakak kelas itu walaupun sebenarnya ia urung terus.
Ia tetap memperhatikan Layla dari jauh, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bahkan sampai di mana ia melihat darah itu menetes membuatnya panik, pemuda itu langsung berlari dan persetan tentang hukuman itu. Ia berlari dan menangkap badan ringkih itu di sana.
Darah itu menetes kian deras, badan yang melemas dengan wajah yang memucat itu membuatnya khawatir. Petugas uks itu langsung berlari ke arahnya, Javas langsung mengangkat badan mungil itu ke ruang uks yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana.
Ia tidak memperdulikan hukuman, ia bisa saja melakukan semua hukuman dengan suka rela. Tapi tidak dengan saudaranya yang sekarang bahkan tidak sadarkan diri. Ia tidak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi. Javas memilih tetap di sana dan mengawasi selama Layla masih di tangani anak-anak PMR.
Di lain sisi, Arkan bosan di dalam upacaranya itu. Ia bahkan bingung harus melakukan apa, secara tiba-tiba saja ia merasa kepalanya pusing bukan main. Arkan berusaha bersikap normal, pandangannya mulai kabur di sana dan tanpa ia sadari tetesan merah itu mengenai seragam osis miliknya.
"Arkan? Lo gak apa-apa? Woy! Pmr! Arkan?! Arkan bangun woy!" Badannya seketika ambruk di saat itu juga.
...◇◇◇...
Langkahnya begitu cepat menelusuri lorong rumah sakit, bahkan di saat salah satu lubang hidungnya tersumpal selembar tisu dengan darah menodai di sana. Ia sempat berlari ke rumah sakit, tepat di depan ruangan itu menatap Javas sudah begini di sana dengan pandangan gusarnya.
"Di mana Layla? Dia gak apa-apakan?"
Javas menoleh ke arah sahabatnya itu, dan mendapati keadaan Arkan sekarang yang sudah berdiri di depannya. Entah dari mana dia tahu kalau Javas ada di rumah sakit menemani Layla saat ini. Keadaan Arkan saja patut di pertanyakan, seragam osisnya yang terkena tetesan darah dengan hidungnya yang merah karena mimisan itu.
"Lo yang harus gw tanya, lo gak apa-apa? Lo sampek sini, mimisan? Lo sempet lari-lari!"
"It-itu gw... Lupain aja, di mana Layla? Cepet jawab!" Javas menggelengkan kepalanya, dia kembali menghadapi Arkan yang entah dia tengah emosional.
"Dia ada di dalem, lagi di rawat. Pertanyaan gw buat lo, siapa yang ngasih tau lo kalau gw ada di sini sama Layla? Gw aja gak chat grup sama sekali."
Arkan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal, ia hanya kebingungan mencari jawabannya. Ia menatap lurus, walaupun ia sebenarnya gugup ketika di interogasi oleh sepupu Layla itu.
"Gw tau aja, emangnya kenapa? Gw gak boleh jenguk?"
"Kayaknya Layla yang bakal lempar pala lo pakek termos. Gw inget betul, dia bengi sama lo."
Itu kenyataan, kenyataan yang sulit ia hadapi. Layla membencinya karena tragedi saat di lapangan futsal saat itu. Tidak, bukan salah gadis itu sekarang. Karena semua itu adalah kesalahannya.
"Gw berusaha buat minta maaf, tenang aja." Javas terkejut, apa maksudnya? Minta maaf? Pertama kalinya ia melihat Arkan begitu berusaha meminta maaf kepada seseorang, dia sendiri dengan orang tuanya saja gengsinya setinggi pencakar langit. Tiba-tiba saja?
"Lo gak kesurupankan?"
"Lo pikir gw apaan? Gw cuma mau aja, emangnya kenapa?" Javas tertawa renyah di sana, ia baru tahu sifat asli sahabatnya itu dan baru kali ini ia mendengar ucapan itu dari mulut pemuda itu sendiri.
Setelah kejadian dia bangun tidur di kursi pinggir lapangan itu, dia tiba-tiba saja begini? Itu aneh. Bahkan kejadian tidak lama ini, Arkan pernah memukul seseorang dan dia di suruh oleh guru untuk meminta maaf saja, dia sama sekali tidak mau walaupun sudah di berikan peringatan dan ancaman dari guru konseling itu. Dan tiba-tiba saja, apakah ketika dia melihat sepupunya dia langsung berubah? Keajaiban sekali.
"Gak masalah sebenarnya, itu bagus. Terusin ya?"
...◇◇◇...
Layla sudah bangun, dia hanya merasa sendirian di ruang inap. Ia tidak tahu sejak kapan ia ada di ruang inap ini. Secara tiba-tiba saja seseorang masuk membuatnya langsung menoleh ke arah pintu, dan sekaligus menemukan seseorang yang bahkan masih ia anggap sebagai orang asing.
"Lo?"
"Tenang aja, ada Javas. Dia lagi cari makan aja, bude lo lagi ambil pakaian lo, lo gak sama gw doang. Gw cuma di titipin buat jaga lo aja-"
"Pergi, gw bisa sendiri." Arkan terdiam di sana dan memilih diam saja di sana. Ia tidak memilih apa pun, ia duduk di kursi paling ujung ruangan agar Layla tidak merasa terganggu akan kehadirannya.
Layla hanya diam saja, seraya memainkan tabletnya yang mungkin sudah Javas bawakan untuknya. Ia menganggap tidak ada orang lain selain dirinya saja di dalam ruangan itu, kejam? Biarkan saja, sudah pernah Layla bilang jika dirinya tidak akan mempercayai laki-laki mana pun.
"Sebenci itu lo sama gw, La? Gw minta maaf... " Layla mendengar itu, tapi dia pura-pura tuli. Ia seolah tidak akan pernah menerima kehadiran Arkan di dalam hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments