Valen tengah memeriksa keadaan Layla, dan ia berharap semuanya akan baik-baik saja. Tetapi, berselang ketika ia melihat hasil tes gadis itu hari ini, ia bahkan tidak bisa mengatakan apa pun. Apakah ia harus menjelaskan semua ini di depan Layla?
"Kenapa muka lo kayak gitu?"
Layla juga akhir-akhir ini sering batuk berdahak, mungkin itu faktor karena terlalu banyak minum es. Mungkin? Tapi itu membuatnya semakin seperti diombang-ambing oleh lautan. Valen duduk di atas kursinya dan bersandar di sana, ia tersenyum tipis melihat kertas itu dan menaruhnya di dalam laci meja kerjanya itu.
"Makan lebih banyak lagi, lo kurusan,"
"Jadi hasilnya apa? Ada perkembangan?" Valen terdiam di sana, ia mencoba menutupi perasaan yang hancur di dalam dirinya.
"Bagus, tapi lo harus banyak-banyak makan yang bergizi. Makanan itu berpengaruh buat kesehatan lo nanti, kalau lo gak paham lo bisa hubungi gw aja. Gw bakal kasih tau, makanan apa yang boleh dan gak boleh. Ngerti?"
"Ngerti kok, makasih ya. Gw gak mau sakit kalau mama gw pulang nanti, sia-sia saja dia berjuang tapi gw gak bisa bertahan." Valen tersenyum, tersenyum sangat terpaksa.
"Tapi kayaknya gw bakal gagal buat bertahan, gw juga udah terlalu cape sama semua ini. Makasih, len... Gw gak akan lupain pertemanan kita, makasih udah selalu ada di saat gw susah... "Senyuman Valen mendadak pudar, mereka berdua saling menatap satu sama lain. Seolah ada sesuatu yang akan terjadi.
...◇◇◇...
Layla akan pulang sekarang walaupun sebenarnya dia juga malas jika harus kembali ke rumahnya nanti, di sana Dika juga menyadari akan itu dan dia melihat jika Layla sudah membereskan barang-barangnya akan bersiap pulang ke rumah.
Setelah pemeriksaan kemarin, ia cukup tahu akan semua itu. Ia beberapa kali mimisan, seperti obat yang terus di minum untuk menghilangkan rasa sakit dan seperti itulah caranya Layla bertahan. Ia sepertinya harus kembali ke rumah, melihat adik laki-lakinya, mengobrol sebelum tidur dan tidur dengan nyenyak seolah tidak ada masalah.
Pria berumur 25 tahun itu beranjak juga dan akan berlari keluar dari ruangannya, tapi terlalu lambat baginya karena gadis itu sudah pergi dari meja kerjanya itu membawa beberapa barang di sana.
Pria itu mengikuti ke mana arah di mana gadis itu pergi, tepat dia keluar dari gedung itu dan akan mengambil kendaraannya sendiri. Dika keluar dari gedung itu dengan tergesa-gesa, pada akhirnya ia tidak menemukan gadis itu berada.
Ia pikir jika Layla sudah pulang, karena yang ia tahu gadis itu kalau sudah naik motor dia akan melaju sangat kencang sampai tidak terlihat sama sekali. Baru saja dia akan kembali masuk ke dalam gedung itu, suara orang-orang membuatnya menoleh lagi ke arah belakang.
Di mana pandangannya pergi ke arah di mana Arkan tergelatak di jalan dengan kakinya yang tertindih motor besarnya, baru saja ia akan bertindak seseorang terlebih dahulu berlari ke arah Arkan. Bahkan di saat ada truk itu melaju ke arah sana juga. Dika hendak menolong tapi para karyawan yang menahannya agar tetap di sana karena posisinya berbahaya, tapi bagaimana dengan keadaan dua orang di sana? Apa mereka juga tidak dalam bahaya juga?
Dika memberontak di sana akan menolong. Layla berlari ke sana, menolong Arkan yang tertindih motor. Dia menarik motor itu agar bisa memberikan celah untuk Arkan lari, ketika pria itu sudah hampir berdiri di sana.
Layla menoleh ke arah sorotan lampu truk itu ke arahnya, bukannya lari gadis itu justru mendorong Arkan dengan sangat kuat membuat pria itu terjatuh lagi hanya saja jauh dari jangkauan truk itu berjalan.
"Aggkk!" Arkan membuka matanya hanya sekejap saja suara hantaman menabrak tubuh seseorang sampai terlempar cukup jauh dari sana.
"LAYLA!"
Tubuh gadis itu terlempar, dan membentur aspal beberapa kali dan berhenti ketika badannya membentur pembatas jalan yang membuatnya berhenti di sana, darah mengalir deras di sana. Sebagian wajah gadis itu yang terbentur terseret beberapa kali itu hancur, menyisakan bagian mata atas yang masih utuh. Kedua bola matanya merah akibat pendarahan di sana.
Dia tergeletak mengenaskan di sana, hanya mendengarkan samar-samar suara orang yang menghampiri dirinya. Ia bisa melihat, tapi semuanya tidak jelas ia lihat juga. Sebelah kiri telinga nya bersuara nyaring sedangkan telinga satunya mendengar banyak suara.
"LAYLA!! BANGUN!!! PANGGIL AMBULAN SEKARANG!!"
Dika meraih badan gadis itu yang berlumuran darah itu, dia melepaskan jasnya untuk menutupi baju gadis itu yang robek di sana dan tidak memperdulikan darah yang membuatnya kotor di sana.
Dengan gemetaran, Dika meraih kepala Layla dan menangis di sana. Memeluk badan gadis itu yang sudah melemas di sana, orang-orang di sana juga ikut membantu menghubungi pihak kepolisian dan medis juga di sana. Dika memeluk gadis itu dengan erat, menangis di sana. Namun, Layla justru tersenyum sesekali ia harus merasakan sakit di sana.
"Di-dia baik-baik saja kan? Mas?"
"Jangan katakan apa pun! Jangan katakan apa pun... Jangan..." Tangannya mencoba meraih tangan Dika dan menggenggamnya, tidak terlalu erat di sana tapi Dika jelas merasakan jika telapak tangan itu mulai terasa dingin.
"Bi-bilang... Bilang sama dia, kalau... Ka-kalau gw suka sama dia... Gw minta ma-af..." Air mata yang bercampur dengan darah itu menetes, kedua matanya berkaca-kaca seolah bukan rasa sakit di badannya yang ia rasakan, melainkan rasa sakit di hatinya.
"Maafin Layla... Layla gak bisa nepatin janji buat jemput mama waktu pulang nanti, maaf ma... Layla sayang mama..."
"ENGGAK!!JANGAN TUTUP MATA LO LA!!ENGGAK! ENGGAK LA!!! AAAAGHKKKK!!" Raungan keras dari Dika jelas terdengar, bahkan seorang gadis yang di ketahui adalah Devi ambruk di atas tanah. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
...◇◇◇...
Suara jantungnya bahkan tidak terlalu terdengar lagi, wajahnya dan tubuh yang penuh dengan darah itu. Bangsal yang ia buat berbaring pun sudah berlumuran darah, saking banyaknya darah itu sampai menetes di setiap jalan yang dia lewati.
Dika bahkan sudah menangis sejak tadi, ia tidak bisa jika melihat semua ini. Sampai di mana langkahnya sudah terhenti di sana, ia tidak di perbolehkan masuk ke ruangan itu karena di sana Dika akan melakukan pemeriksaan dan mungkin saja dokter bisa berusaha mempertahankan gadis itu.
Pria itu dalam keadaan kacau saat ini, ia tidak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi sekarang ini. Dika menangis di sana, memegangi wajahnya sendiri yang bahkan tidak tahu jika dirinya terlalu kacau.
Di sana Fahri berlari menghampiri Dika yang berlumuran darah, pria itu hanya menangis dalam diam di sana dan enggan mengatakan sesuatu. Fahri menghampiri temannya itu, keadaannya sangat kacau dan tidak luput dari darah.
"Di mana Layla?" Dika tidak mau menjawab, dia hanya diam dan semakin menangis di sana. Dia terlalu banyak mengetahui semuanya, sampai-sampai apa yang ia tahu itu menyakiti dirinya.
Ia semakin penasaran dengan apa yang terjadi sekarang, ia tidak tahu bagaimana keadaan gadis itu sekarang ini, dan kenapa Dika malah menangis seperti ini? Karena terlalu geram dengan sahabatnya itu yang tidak kunjung menjawab, Fahri mencengkram kerah kemeja pria itu dengan keras dan menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam.
"Lo bisu apa gimana? Di mana Layla? Gimana keadaannya sekarang?" Dika mulai mendongak, bagaimana ekspresinya sekarang bahkan bisa di bayangkan apa yang sudah terjadi. Fahri melepaskan cengkraman itu dan melangkah mundur.
"Bilang ke gw kalau ini cuma mimpi, Dika... Bilang ini cuma mimpi... "
"Enggak... Ini bukan mimpi, Fahri... Gak mimpi... " Dika bahkan tidak bisa berhenti, menghentikan air matanya hanya akan semakin menyakitinya sekarang.
Fahri berdiri menghadap ke arah pintu itu, berharap ini semua mimpi dan tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya tidak, ini semua adalah kenyataan yang harus ia terima. Fahri mulai terdiam di sana, dan berharap jika semuanya akan baik-baik saja. Namun,
"Bagaimana keadaannya dokter? Layla tidak apa-apa kan? Dia-"
"Maafkan aku... " Dan saat itu, dokter keluar dan Fahri meluncurkan berbagai pertanyaan.
Tetapi, ekspresi dokter itu bahkan tidak memberikannya harapan apa pun. Darah yang berada di pakaian medisnya jelas sekali ia lihat, air matanya menetes ketika ia mendengar jawaban pria berprofesi dokter itu.
Dika semakin menunduk, air matanya jelas semakin deras turun membasahi pipinya. Sedangkan Fahri, dia menatap lurus ke arah ruangan yang terbuka itu, ketik suster menutupi wajah gadis itu yang setengah hancur itu dengan kain.
"In-ini gak mungkin... " Fahri langsung berlari masuk ke dalam, dia bahkan mendorong suster itu dan mencegah agar dia tidak menutupi wajah gadis itu dengan kain apa pun.
Fahri menyibak selimut putih itu yang menutupi wajah itu yang sudah tersentuh oleh darah, di sana Fahri hanya terdiam sejenak. Apakah semua ini benar-benar terjadi di dalam hidupnya,"
"Layla? Gw tau lo pasti masih hidup kan? Layla, lo gak usah kebanyakan drama kayak gini gw gak suka... Buka mata lo Layla... "
"Fahri, ihklasin-"
"GAK!! DIA GAK MATI! GW YAKIN DIA MASIH HIDUP!!" Fahri mengguncangkan badan mungil itu yang sudah tidak lagi terisi oleh nyawa, dan saat itu tangan gadis itu terjatuh bebas menggantung di sana dengan darah yang menetes di sana.
Bahkan pergelangan tangan yang masih terdapat gelang pemberiannya saat itu, gelang itu hanya tergores sedikit tapi darah itu menyelimuti. Air mata pria itu kini terjun bebas tanpa kendali, bagaimana bisa ia percaya dengan semua ini?
"Enggak... Enggak! Layla!!! Enggak boleh pergi, gak boleh... AAAGGGKK!!!!LAYLA!!!"
Fahri menangis keras, menangis histeris di sana dengan tangannya yang menggenggam tangan yang lebih kecil darinya. Dika menahan tubuh Fahri yang ambruk di atas lantai, pria itu benar-benar hancur. Bahkan hancurnya pria itu bisa orang-orang rasakan dari tangisan memilukan itu.
Dan tidak jauh dari sana, ada seseorang yang bahkan dia tidak jauh dari kata baik-baik saja. Dia berdiri di sana mematung bagaikan patung, sebelah kakinya yang berdarah tidak ia perdulikan. Hanya saja air mata itu tidak dapat bisa berbohong, ia terlambat.
Badan Arkan hampir terjatuh saat Devi berlari masuk ke arah ruangan itu, dan badannya seketika lemas. Perempuan ia melangkah tertatih, menatap seluruh badan juniornya yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri itu sudah terbujur kaku dengan keadaan mengenaskan.
"La... Layla? Kamu gak mungkin ninggalin mbak sendirikan?" Dengan gemetaran tangan Devi hendak meraih wajah kecil itu, yang di mana separuh atau 60℅ wajah yang selalu membuatnya tertawa itu kini tidak berbentuk.
"Aaggrr!!" Devi bahkan tidak bisa memegangi wajah itu yang sering sekali ia cubit dulu, bahkan beberapa waktu sebelumnya ia di buat tertawa karena tingkah aneh gadis itu. Tapi kenapa sekarang dia membuatnya menangis histeris seperti ini?
Tangannya gemetaran, seolah ia akan menyakiti gadis malang itu ketika ia menyentuh luka yang sangat mengerikan itu. Devi memegangi pergelangan tangan yang masih utuh itu dengan tangisannya yang sangat menyedihkan.
"Jangan tinggalin mbak... Nanti siapa yang buat mbak ketawa? Nanti siapa yang mau dengerin cerita mbak La? Siapa? La, bangun la... La, maafin mbak maafin mbak la haagghh!"
"Arkan? Lo harus obatin kaki lo dulu... "
"Harusnya gw yang di sana, kenapa cewek itu yang di sana? Kenapa dia yang tidur di sana?" Rehan meraih tangan temannya itu. Namun, ia di tepis dengan kasar.
"Ini enggak mungkin, ini cuma mimpi kan?" Air matanya mulai menetes semakin deras, nafasnya semakin sulit ia dapatkan.
Rehan melihat kaki temannya itu bercucuran darah tanpa henti, ia mencoba meraih Arkan untuk membawanya ke ruang inap untuk di rawat tapi dia seperti menolak dan akan berjalan maju. Tapi belum beberapa langkah, badan Arkan ambruk di atas lantai.
Kepalanya terbentur lantai dengan keras, dan seketika kesadarannya pun hilang di sana. Tidak dapat di pungkiri, hari itu adalah hari di mana seolah dunianya sudah sangat hancur. Ia terlambat, terlambat mengatakan sesuatu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments