Pintu diketuk pelan. Suara ketukan itu bergema lembut, namun cukup mengganggu keheningan.
Seorang pria berseragam teknisi berdiri di ambang pintu—Hwang In-yeop. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyiratkan kelelahan dan kehati-hatian.
Dengan sedikit membungkuk, ia membuka suara, “Permisi, saya dari pihak pemeliharaan. Ada laporan kebocoran. Izinkan saya memeriksa keran di unit ini.”
Manda menghela napas pelan, menahan kegelisahan yang tidak ia pahami. “Silakan,” jawabnya singkat, suaranya datar namun sopan.
Tanpa sepatah kata pun lagi, In-yeop melangkah masuk, langsung menuju kamar mandi. Ia bahkan tak melirik Manda. Seolah keberadaannya tak lebih dari bayangan.
Manda berdiri di ruang tengah, kaku. Suara tetesan air dan denting peralatan teknisi menciptakan atmosfer canggung yang menggantung di udara.
Perasaannya mengambang. Tak nyaman. Asing.
“Aku harus keluar dari sini.” pikirnya. Luka di kakinya sudah mulai pulih. Sudah cukup kuat untuk berjalan. Dan hari ini... ia butuh udara.
---
Di luar apartemen.
Jalanan lengang. Angin berhembus ringan, membawa aroma beton yang mengering oleh panas matahari.
Manda berdiri di trotoar. Pandangannya kosong, pikirannya berkecamuk.
“Kenapa sih harus dicek sekarang? Ck.” gerutunya pelan, melirik kanan-kiri seolah mencari alasan untuk tetap berdiri di sana.
“Negara ini... tak seperti yang kubayangkan,” desisnya kecewa. Langkah kakinya mulai berjalan tanpa arah. Hanya mengikuti naluri.
Namun nasib, seperti biasa, punya rencana lain.
“Manda!”
Suara ceria yang tak asing lagi menyela lamunannya. Manda menoleh setengah hati.
Gyumin.
“Lagi-lagi dia...” batinku mendesah kesal.
“Sering banget ya kita ketemu kebetulan,” sahut Gyumin dengan senyum cerah seperti mentari yang terlalu terang di hari muram.
“Bisa nggak sih kamu gak muncul terus?” jawab Manda dingin, tetap berjalan tanpa mengurangi langkah.
“Hey, kau ingat aku,” Gyumin tertawa. “Itu perkembangan besar.”
“Apa urusannya?” suara Manda ketus.
“Kita kan teman?” Gyumin menatapnya, sedikit melambat.
“Teman? Jangan bercanda. Aku gak berteman sama preman kampus,” tawa sinis keluar dari bibir Manda.
“Hey! Itu kasar. Aku bukan preman. Mereka cuma... teman-temanku.”
“Masalahnya itu. Lingkungan mencerminkan siapa dirimu.” Manda melirik tajam.
Gyumin mulai kehilangan senyum. “Aku nggak seburuk yang kau pikir.”
“Bahkan orang jahat pun bisa berpura-pura jadi pahlawan untuk lima menit,” sindir Manda.
“Kalau begitu, lima menit waktu yang kupakai buat nolongmu dari dosen gila itu berarti gak ada artinya?” nada suara Gyumin mengeras, terluka.
Manda menghentikan langkahnya tiba-tiba. Menatapnya lurus. “Kau menagih kebaikan?”
“Bukan! Aku cuma... aku hanya...” Gyumin kehilangan kata-kata.
“Sudahlah. Jangan ikuti aku.” Manda kembali melangkah.
Namun Gyumin tetap di belakangnya, langkahnya lebih pelan, tapi tidak berhenti.
“Kalau kau tak punya tujuan, ikut denganku.”
Manda menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Tanpa menjelaskan, Gyumin menggenggam tangannya. “Ayolah.”
“Hei! Lututku belum sembuh!” Manda meronta, namun genggaman itu hangat... dan tak terasa memaksa.
Gyumin melambat. “Maaf... aku nggak bermaksud menyakitimu.”
“Kalau sampai cacat, kamu yang tanggung jawab,” gerutu Manda, separuh marah, separuh malu.
Gyumin tersenyum. “Aku akan bertanggung jawab... dengan seluruh hidupku.”
---
Panti jompo..
Gedung tua itu berdiri sunyi di balik pepohonan. Daun-daun berguguran seolah waktu pun ikut menua bersama penghuninya.
Gyumin berjalan pelan, membimbing Manda menyusuri jalan setapak. Di taman kecil yang teduh, seorang Nenek duduk di kursi roda, tatapannya kosong namun damai.
“Nenek!” seru Gyumin lembut.
Perempuan tua itu menoleh. Senyumnya langsung merekah. “Cucuku... akhirnya kau datang lagi...”
Pelukan mereka terlihat seperti serpihan masa lalu yang dirajut kembali. Hangat. Utuh.
“Dia yang kau ceritakan?” tanya Nenek, melirik ke arah Manda.
Manda tergagap. “Sa-saya... Manda.”
“Kau cantik,” kata Nenek, tatapannya tajam namun lembut.
Gyumin tertawa kecil. “Nenek, jangan menakut-nakuti temanku.”
“Dia bukan sekadar teman, bukan?” tanya Nenek, kali ini menatap langsung ke Manda.
Manda hanya diam. Senyumnya kaku.
“Aku mengenali tatapan laki-laki yang menyayangi seseorang,” lanjut sang Nenek. “Dan cucuku ini menatapmu dengan cara itu.”
Gyumin menunduk, merah padam.
Waktu berjalan cepat. Satu jam terasa satu menit.
Saat pamit, Nenek menggenggam tangan Manda. “Jangan ragu padanya. Jika kau pernah disakiti oleh dunia, percayalah... dia bukan bagian dari dunia itu. Dia akan berdiri di sisimu.”
Manda menatap mata Nenek. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
---
Perjalanan pulang.
Langit mulai redup. Suara langkah kaki menyatu dengan desir angin sore.
Manda menatap Gyumin diam-diam. Ia menyadarinya.
“Ada apa?” tanyanya lembut.
Manda menghindari pandangannya. “Maaf... karena pernah berpikir buruk tentangmu.”
Gyumin tersenyum. “Aku tidak keberatan. Kau sudah cukup sering memelototiku.”
Manda berhenti berjalan. “Kenapa kau muncul pagi ini? Kenapa kamu terus muncul?”
Gyumin mengangkat bahu, menatap langit yang memerah. “Entahlah. Kakiku membawaku ke arahmu.”
Manda menghela napas. “Ck. Kau ini... menyebalkan.”
“Tapi menyenangkan,” Gyumin menambahkan, tertawa.
Dan untuk pertama kalinya, Manda ikut tertawa. Bukan karena lelucon. Tapi karena... hatinya terasa ringan.
Kami tertawa bersama. Suara tawa kami pecah di antara udara sore yang sejuk, seperti musik lembut yang menenangkan jiwa.
Sesampainya di apartemen, aku menatapnya dengan hati yang hangat, mata kami saling bertaut dalam keheningan yang berarti.
"Terima kasih... karena sudah membawaku ke tempat yang menyenangkan," ucapku tulus, dengan senyum yang tak bisa kusembunyikan.
Gyumin tersenyum—senyum yang hangat tapi menyimpan sesuatu—lalu menghindari pandanganku yang mungkin terlalu dalam.
"Aku akan menunggumu besok," katanya, setelah akhirnya menatapku lagi. Tatapannya... ada harapan di sana.
"Baiklah," jawabku lembut, lalu berbalik pergi, membawa senyum itu bersamaku.
---
Satu bulan berlalu. Aku bersamanya tanpa keraguan. Pria itu begitu baik, begitu tulus, seolah diciptakan untuk merawat luka-luka yang tak pernah kuungkap.
Di Universitas Korea, aku melihat sosoknya dari kejauhan.
"Gyumin!" seruku riang, melambaikan tangan tinggi-tinggi.
"Hai!" balasnya sambil melambaikan tangan, senyumnya begitu lebar hingga seolah mampu menepis semua kegundahan yang sempat datang.
Aku menghampirinya dengan semangat yang tak bisa kusembunyikan.
"Kapan kau akan membawaku ke tempat yang kau janjikan? Aku sudah menantikannya!" tanyaku, mataku berbinar.
"Ikutlah denganku!" ucapnya, tanpa ragu. Ia meraih tanganku... menggenggamnya... erat.
Kami tiba di sebuah Rumah Musik—tempat yang begitu hidup, penuh alunan nada dan tawa lepas. Suara instrumen berdenting, berpadu dengan suara-suara yang penuh semangat.
"Mengapa kau membawaku ke sini?" tanyaku pelan, mataku menelusuri interior ruangan yang elegan, sementara kakiku mengikuti langkahnya.
"Ini tempatku... bersama mereka," jawabnya sambil menarik tirai, memperlihatkan sekelompok pemuda yang sedang bercengkrama.
"Hai!" sapanya ceria. Seketika semua mata tertuju pada kami—lebih tepatnya, padaku.
"Siapa gadis ini?" tanya salah satu dari mereka, matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
Aku tersenyum gugup, sementara Gyumin memperkenalkanku satu per satu. Suasana menjadi hangat, tawa mereka menyambutku, membuatku merasa... diterima.
"Itu dia gadis yang kuceritakan waktu itu. Cantik sekali, kan?" bisik Jun Ki pada Sehoon, matanya bersinar saat menyebutku.
"Ini tempat yang kujanjikan," ucap Gyumin, menatapku dalam-dalam. Matanya... penuh rasa yang nyaris tak terucap.
Dua pria tiba-tiba masuk ke ruangan. Salah satunya menghentikan langkahnya, memandangku dengan sorot mata yang membuat dadaku menegang. Yang satunya lagi berjalan lurus, acuh, dingin, seperti bayangan tanpa jiwa.
"Kau..." gumamku pelan.
"Wah, takdir mempertemukan kita lagi," ucap In Woo sambil menyeringai. "Bagaimana dengan kakimu? Sudah membaik?"
"Kau mengenalnya?" tanya Gyumin, wajahnya memuat tanda tanya yang jelas.
"Aku... aku bertemu dengannya waktu itu. Tidak sengaja," jawabku gugup, memalingkan pandangan, mencoba menyembunyikan kecemasan yang merayap.
Gyumin mengangguk, tapi matanya menatap In Woo penuh tanya. Lelaki itu masih menatapku. Terlalu lama.
Suasana berubah. Mereka mencoba membuatku tertawa, melempar lelucon dan bercanda, seolah tak ada yang janggal. Tapi mataku tertuju pada satu sosok di pojok ruangan. Ia duduk sendiri, memainkan gitar, tak sekalipun menoleh ke arahku. Dingin. Misterius.
Waktu berlalu cepat. Saat perpisahan tiba, Jun Ki melambaikan tangan.
"Datang lagi ya!"
"Mari berkencan!" seloroh In Woo, membuat semua orang tertawa.
"Berhati-hatilah," ucap Sehoon dengan nada tulus.
"Sampai jumpa," balasku dengan senyum yang terasa... hangat, tapi entah mengapa hati ini terasa berat.
Apartemen.
Pukul 09.25 malam.
Perutku berbunyi nyaring.
"Aduh..."
Aku memeriksa lemari penyimpanan. Kosong. Kulkas pun sama.
"Ah, habis semua. Aku harus ke minimarket," gumamku, lalu mengambil dompet dan jaket.
Keluar dari minimarket, langkahku terhenti mendadak. Sosok pria dingin dari siang tadi berdiri tak jauh dariku. Ia juga berhenti.
"Ada apa?" tanyanya datar. Suaranya menusuk.
"Emm... ee... aku... bukan apa-apa!" jawabku gugup, hendak pergi.
Namun ia... meraih pergelangan tanganku. Genggamannya kuat. Terlalu kuat.
"Jawab pertanyaanku!" suaranya dingin, menakutkan. Sorot matanya menusuk jantungku.
"Maaf... kau menyakiti tanganku," bisikku lirih.
Ia melepaskanku, tapi ucapannya membekas.
"Jangan melihat orang seperti itu lagi. Itu sangat mengganggu!"
"Aku tidak akan melakukannya lagi," ucapku cepat, sebelum bergegas pergi. Napasku tercekat. Jantungku berdetak tak karuan.
Di apartemen, aku memandangi tangan yang sempat digenggamnya tadi.
"Dasar pria aneh! Aih! Kenapa aku malah ketakutan begini!" Aku mengacak rambutku frustasi.
"Sudahlah!" teriakku sendiri, berharap bisa mengusir bayangannya dari pikiranku.
Keesokan paginya, Universitas Korea. Pukul 08.20.
Taman terasa sejuk, tapi hatiku... tak setenang biasanya.
Gyumin menghampiriku, duduk di sampingku.
"Kau tampak tidak bersemangat. Ada sesuatu yang terjadi?" tanyanya lembut.
"Entahlah..." jawabku, menunduk. Kepalaku penuh dengan ingatan semalam.
Lalu, suara langkah terdengar dari belakang. Doohyun tiba-tiba muncul, membuat Gyumin sedikit terkejut.
"Kau kembali? Urusanmu sudah selesai?" Gyumin menyambutnya hangat, menepuk tangannya.
Doohyun hanya mengangguk. Matanya... langsung tertuju padaku. Tajam. Membakar.
"Dia Manda. Dia..." Gyumin hendak memperkenalkanku, tapi aku segera berdiri.
"Aku harus pergi. Sampai jumpa!" kataku buru-buru, lalu meninggalkan mereka dengan langkah tergesa.
"Kenapa dia terburu-buru?" gumam Gyumin bingung.
"Maaf... kemarin aku tidak memperhatikannya," ujar Doohyun datar. Matanya masih mengawasi kepergianku.
"Bagaimana kondisi ayahmu? Sudah membaik?" tanya Gyumin, mencoba mengalihkan suasana.
Doohyun mengangguk pelan, lalu duduk.
"Di mana kau mengenalnya? Dia tampak... berbeda."
"Dia dari Indonesia. Kecantikannya membuatku jatuh hati," ucap Gyumin sambil tersenyum. Pandangannya jauh. Ada kilau bahagia di matanya.
"Aku belum pernah melihatmu seperti ini. Kau menyukainya?" tanya Doohyun, tajam.
Gyumin tersenyum samar.
"Menurutmu?"
"Bagaimana lagi? Kau menunjukkannya dengan sangat jelas," jawab Doohyun, menatap langit biru pagi itu.
"Dia... cinta pertamaku," kata Gyumin lirih, nyaris seperti pengakuan rahasia.
"Sudah kau nyatakan perasaanmu?" tanya Doohyun pelan.
Gyumin menggeleng.
"Aku akan menunggu. Sampai waktunya tiba."
...To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments