Dengan enggan, aku mengikuti pria ini—masih belum yakin dengan niat baiknya. Kaki melangkah ragu, tapi naluri menolak kembali ke ruangan penuh racun tadi.
Restoran kampus ramai dengan tawa dan obrolan mahasiswa. Namun, saat aku duduk berhadapan dengannya, suasana riuh itu serasa menjauh. Hanya ada kami berdua—dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara.
"Pak Kim ingin bicara. Kenapa membawaku ke sini?" tanyaku, tajam.
Pria itu, Gyumin, menatapku serius. Tatapan yang berbeda dari sebelumnya.
"Jangan dekati orang itu lagi kalau kau masih ingin merasa aman di negeri ini," ucapnya, suaranya lebih rendah, lebih mengancam.
Aku terdiam. Kalimat itu menyentakku.
"Ada apa dengan Pak Kim?" tanyaku. Curiga. Khawatir. Mungkin juga takut.
Gyumin menatap ke meja. "Dia dikenal sebagai predator. Banyak mahasiswi menjadi korban. Aku hanya ingin kau tahu, sebelum terlambat."
Sekeliling kami tetap riuh, tapi semua terasa jauh. Aku hanya mendengar detak jantungku.
"Sebaiknya kau dekat denganku. Setidaknya, aku bisa melindungimu," katanya santai, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak kukenal.
Aku memalingkan wajah. "Berteman dengan berandal sepertimu? Maaf, bukan seleraku."
Gyumin tertawa. "Aku bukan seperti yang kau pikir. Tapi jika kau butuh seseorang, temui aku."
Tangannya menyentuh pergelangan tanganku. Seketika kutarik.
"Lepaskan. Aku tidak perlu memberitahumu namaku lagi, kan?"
Dia mengangguk pelan. "Tapi aku akan tetap ada di sini saat kau kesulitan. Namaku Gyumin. Ingat itu."
Aku bangkit, meninggalkannya. Tapi jantungku tak tenang. Suaranya tertinggal.
---
Langit sore meredup saat aku berjalan ke swalayan. Setelah seharian dipenuhi drama, aku hanya ingin mengisi perut dan menenangkan pikiran.
Udara dingin menyambut saat pintu otomatis terbuka. Tangan ini refleks meraih troli.
"Aku butuh makanan. Banyak. Dan jauh dari tatapan-tatapan menyebalkan itu," gumamku.
Aku menyusuri lorong demi lorong. Makanan ringan. Mi instan. Sereal. Saat tanganku hampir meraih kotak favoritku, seseorang muncul di sampingku.
"Yang ini enak, ya?" suaranya tenang.
Aku mengangguk singkat. "Favoritku."
"Favoritku juga," katanya, tersenyum. Tapi aku tidak membalas. Kembali sibuk mencari susu.
Di bagian susu, seorang ibu tersenyum. "Susu coklat pilihan bagus. Anak-anak saya suka."
Aku tersenyum kembali. "Bisa menenangkan hati juga."
Kemudian, seorang gadis kecil menarik lenganku. "Tolong ambilkan roti itu. Aku tak bisa menjangkaunya."
"Tentu," jawabku lembut.
Suasana yang mulai mencair seketika hancur saat aku tiba di kasir.
Kasir itu—sikapnya aneh. Tatapannya menusuk. Senyumnya licik.
"Banyak juga belanjaannya," katanya sambil menatapku dari atas ke bawah.
Aku menunduk. "Tolong cepat. Saya terburu-buru."
Tangannya tiba-tiba menyentuh tanganku.
"Kurang ajar!" teriakku, spontan, dengan bahasa Indonesia. Refleksku langsung menarik tangan.
Seseorang tiba-tiba muncul dari belakang.
"Apa yang kau lakukan?!" bentaknya pada kasir.
"Kau siapa?! Pergi sana!" bentak kasir balik.
"Sentuh dia lagi, aku akan hubungi polisi!" ancam pria itu.
Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku bersyukur.
Setelah barang dibayar, aku melangkah keluar—dan tiba-tiba, sebuah sepeda motor menabrakku. Aku terjatuh. Lututku terluka, darah mengalir deras.
"Akhh!" rintihku. Sakitnya luar biasa.
Pria penyelamat tadi, yang ternyata bernama In Woo, berlari menghampiriku. "Lututmu berdarah... Biar kubantu!"
Aku mencoba berdiri, tapi jatuh lagi. In Woo menangkapku, wajah kami nyaris bersentuhan.
Dari kejauhan, pria bermotor—Kim Nam Gil—mendekat. "Kenapa kau berlarian?! Itu berbahaya!"
Aku tertegun. Dua pria. Dua energi berbeda. In Woo protektif. Nam Gil keras kepala.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Nam Gil.
"Tidak! Bawa aku ke apartemen saja!"
Nam Gil menyodorkan tangan, tapi In Woo menepis.
"Bersamaku lebih aman daripada pria kasar sepertinya," katanya.
"Dia butuh pertolongan, dan aku yang menabraknya! Aku yang akan urus dia!" Nam Gil bersikeras.
Mereka bertengkar. Suaranya meninggi. Aku muak.
"Tinggalkan aku!" bentakku.
Mereka terdiam. Nam Gil memberikan kartu namanya. "Kalau lukamu tak membaik, hubungi aku."
Aku menerimanya. Diam-diam.
---
Perjalanan ke apartemen hening. In Woo membukakan pintu mobil.
"Kau butuh bantuan?"
Aku tertatih turun. "Tidak, dan terima kasih."
"Tunggu!" panggilnya.
Aku menoleh. Wajahnya tampak khawatir.
"Namamu... boleh aku tahu?"
Aku menatapnya kosong. "Maaf. Aku tak bisa."
---
Setelah mengobati luka dan menyimpan belanjaan, aku rebah di sofa. Lelah. Penuh sesak.
"Capek banget..." gumamku.
Namun, belum sempat aku menutup mata, bel apartemen berbunyi.
Aku membuka mata. Jantungku menegang.
"Ada apa lagi, sih?!"
...To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Girl lạnh lùng
Wah, seru banget thor! Lanjutkan karya kreatifmu!
2024-08-21
2