"Lho, Ca! Gue salah apa?"
Suara Manda pecah di ujung telepon, serak dan bergetar. Matanya memerah, tenggorokannya tercekat, tapi ia masih berusaha bicara.
Namun yang ia terima bukan penghiburan—melainkan tamparan verbal yang lebih menyakitkan dari makian.
"Lo nggak salah! Gue yang salah! Salah ngenalin cowok baik kayak Angga ke cewek genit dan manipulatif kayak Lo!"
Suara Caca melengking seperti cambuk, menyayat telinga dan hati Manda. Sebelum sempat membalas, sambungan terputus. Suara tuut... tuut... menyambut keheningan yang mencekam.
"Ca! Hallo, Ca!" Manda menjerit putus asa. Tapi suara di seberang tak kembali. Hanya keheningan menusuk yang menjawab.
Wajahnya menegang, lalu berubah marah. "Argh! Pria sialan!" teriaknya, dan ponsel di tangannya melayang, menghantam cermin di meja rias. BRAK! Suara kaca pecah memecah keheningan. Serpihan bersinar-sinar di bawah cahaya lampu, seperti kilatan luka-luka kecil di hatinya.
"Ck! Hidup lebih lama di sini bakal bikin gue gila!" desisnya, menahan amarah, tangan terkepal, napas memburu.
---
KEESOKAN HARINYA
Aroma tumisan bawang dan sayur dari dapur membawa Manda kembali ke dunia nyata. Langkahnya berat menuruni tangga. Matanya sayu, rambut dikuncir asal, dan wajahnya masih menyimpan jejak malam penuh amarah.
"Manda udah mikir," gumamnya pelan sambil membuka lemari dapur dan menuang air dingin ke gelas.
Ibunya menoleh, ekspresi lembut namun penuh kekhawatiran. "Apa? Ke luar negeri?"
Manda mengangguk, tegak. "Iya, ke Korea Selatan. Bahasa mereka nggak asing buatku. Aku butuh... kabur."
Ibunya menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Baik. Kamu akan lanjut kuliah di sana. Tapi, Mama harap kamu bisa berubah, Nak. Jangan terus-terusan lari dari masalah."
Manda tersenyum pahit. "Tenang aja, Ma. Aku setuju itu. Aku capek jadi gadis yang dibenci semua orang."
"Mama urus semuanya. Kamu cuma perlu bersiap."
Dan Manda kembali ke kamarnya—kali ini, bukan untuk marah, tapi untuk merenung. Di balik dinding-dinding rumah mewah, seorang gadis sedang patah, tapi mencoba berdiri kembali.
---
DUA MINGGU KEMUDIAN – BANDARA SOEKARNO HATTA
Pelukan terasa lebih erat dari biasanya. Mata Ibunya merah, tangan Ayahnya menggenggam erat koper Manda. Di kejauhan, suara pengumuman boarding menggema.
"Kamu udah siap? Ada yang ketinggalan?" tanya Ibu cemas.
"Mama, Papa... nanti jenguk Manda kan?" bisik Manda, suaranya nyaris hilang.
"Tentu saja." Ayah mengusap kepala putrinya. "Belajar yang giat. Jangan bikin masalah."
"Jaga kesehatanmu, ya, Nak." Air mata Ibunya tumpah, tapi ia cepat menyekanya.
Manda melambaikan tangan saat melewati gate. Ia tak menoleh ke belakang. Kalau ia menoleh, ia tahu hatinya akan luluh.
---
INCHEON AIRPORT, KOREA SELATAN
Setelah perjalanan panjang, Manda turun dari pesawat dengan wajah lelah namun menantang. Matanya sibuk mencari.
"Mana sih jemputannya...?" gerutunya, menarik koper.
Seorang sopir datang tergopoh-gopoh. Wajahnya terkejut melihat Manda.
"Dari mana aja, Pak? Saya udah di sini satu jam!" serunya dengan Bahasa Korea yang cukup fasih.
Sopir itu terdiam sesaat, seperti tersihir kecantikan Manda, sebelum akhirnya tergagap, "Maafkan saya… ada urusan sebentar."
"Tolong antar saya ke alamat ini. Saya capek banget."
Di perjalanan menuju Gangnam, Manda memandangi lampu-lampu kota Seoul yang berkilau seperti bintang jatuh. Tapi hatinya masih gelap.
Sesampainya di apartemen, ia menjatuhkan diri ke ranjang.
"Akhirnya... tidur." gumamnya, sebelum tertidur tanpa sempat membuka koper.
---
PAGI BERIKUTNYA – GANGNAM, 09.18
Perut keroncongan membangunkannya. Manda meraih tas, mengenakan jaket, dan keluar untuk mencari swalayan.
Di jalan, tatapan orang-orang mengikuti langkahnya. Tubuh tinggi semampai, rambut panjang terurai, kulit putih bersih, dan wajah Asia Tenggara yang eksotis. Ia sadar ia mencolok.
Di dalam swalayan, seorang pria muda mendekatinya. "Maaf, boleh minta nomor ponselmu?"
Manda berpura-pura bingung. "Maaf, saya tidak mengerti. Permisi." jawabnya dalam Bahasa Indonesia, lalu berlalu.
Tak nyaman dengan perhatian yang berlebihan, ia menyelesaikan belanja dan kembali pulang.
Namun di jalan pulang—brukk! Ia menabrak seseorang dan terjatuh. Pria muda yang tertabrak cepat membantunya bangkit.
"Kau terluka? Kau terburu-buru? Ada yang mengganggumu?"
Manda menolak bantuan, berdiri sendiri. "Tidak apa-apa." jawabnya singkat, lalu melangkah cepat tanpa menoleh.
---
SATU MINGGU KEMUDIAN – TAMAN UNIVERSITAS SEOUL, PUKUL 08.00
Manda duduk di bangku taman, menatap kosong.
"Membosankan." keluhnya pelan.
Beberapa mahasiswa mendekat, tatapan mereka tertarik. Salah satunya mendekat. "Kau terlihat bingung. Mungkin butuh teman?"
"Tidak," jawab Manda datar, tanpa menatap.
"Kau sendirian? Ayo bergabung dengan kami."
"Tidak tertarik." Kali ini nadanya tajam.
"Berikan nomor ponselmu, nanti kami pergi." goda si pria.
"Aku tidak punya." balasnya cepat.
"Kau bercanda?"
Manda berdiri dan menatap mereka tajam. "Sekumpulan orang aneh. Ketuanya juga nggak jelas!" Semprotnya, lalu pergi.
"Hei! Tunggu! Sombong banget sih dia!" keluh salah satu.
Seorang temannya menahan, "Sudahlah, Gyumin. Dia bukan tipe yang bisa dikejar."
Jun Ki menepuk punggungnya. "Sepertinya, pesonamu memudar, bro!"
"Hah?! Gila!" Gyumin menggerutu, lalu mengajak mereka ke restoran kampus.
---
KELAS PAGI ITU – UNIVERSITAS SEOUL
Manda masuk kelas dengan langkah pelan, duduk di satu-satunya kursi kosong—tepat di samping Gyumin.
"Gyumin, lihat! Gadis itu!" bisik Jun Ki.
Gyumin menoleh. Detik itu juga, dunia terasa melambat. Matanya tak bisa lepas dari sosok Manda.
Manda menyadari tatapannya. Merasa tak nyaman, ia segera mengenakan masker.
"Selamat pagi." suara Dosen Kim menggelegar di kelas.
"Pagi!" jawab seluruh kelas.
"Hari ini kita kedatangan mahasiswa baru. Dan kabarnya, ia sangat spesial. Silakan berdiri dan perkenalkan dirimu!"
Dengan enggan, Manda bangkit dan membuka maskernya. Seketika, kelas menjadi hening.
"Saya Mandalika. Panggil saja Manda. Saya dari Indonesia." ucapnya, tersenyum anggun.
Kelas pun gempar, suara pujian dan godaan datang dari segala arah.
Gyumin hanya diam. Tatapannya lembut, penuh tanya, seperti sedang melihat seseorang yang sudah lama ia cari.
Jun Ki mengetuk meja keras-keras. "Woy! Ngapain bengong?"
Gyumin tersentak. "Gila lo, Jun Ki!"
"Sudah cukup! Harap tenang!" Dosen Kim melanjutkan kelas.
---
SELESAI KELAS
Saat Manda hendak melangkah keluar, Dosen Kim memanggil.
"Manda, ikut saya sebentar."
Namun sebelum sempat menjawab, tangan Manda ditarik dari belakang.
"Kau berjanji pergi denganku, ingat?" ucap Gyumin pelan, namun nadanya tegas. Tatapannya menembus, membuat Manda membeku sejenak.
Ia tak menyangka, di negeri asing ini, seseorang berani menghentikannya seperti itu.
...To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Sad Grill
asik ceritanya
2024-08-23
0