Dering ponsel kembali memecah keheningan kamar. Suaranya tajam, seperti pisau yang menusuk langsung ke saraf kepala. Manda menghela napas berat, matanya menatap nanar ke layar yang terus-menerus menyala. Setelah beberapa detik yang terasa seperti siksaan, ia menggesek layar ponselnya dengan kasar.
"SIAPA?!" suaranya melengking, dingin dan marah.
"Ini Kevin..." suara di ujung seberang terdengar lelah, parau, penuh luka. "Apa alasanmu mutusin aku? Aku masih... sayang sama kamu, Manda."
Rahangnya mengeras. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena cinta, tapi karena jenuh. Lelah dengan drama yang tak kunjung habis.
"Nomormu udah aku blokir. Jangan pernah hubungi aku lagi!" serunya.
"Tolong... izinkan aku nanya satu hal," suara Kevin nyaris menjadi bisikan. Lirih. Patah.
"Gak ada waktu buat itu!" potong Manda, matanya mulai berkaca-kaca, entah karena marah atau bosan.
"Aku ngelakuin semuanya buat kamu, Mandalika... Tapi kamu pergi tanpa alasan. Kenapa...?"
Hening.
Satu detik. Dua detik. Manda menggigit bibirnya, lalu berteriak:
"Karena kamu terlalu baik, Kevin! Terlalu gampang dicintai, dan terlalu mudah dilupakan!"
Telepon ditutup. Dengan brutal. Layar menjadi hitam, tapi jantung Manda masih berdetak seperti drum perang. Ia terduduk, menggenggam ponsel seolah ingin meremukkannya.
"Manda! Kamu di mana?!" suara ibunya memanggil dari luar kamar.
"Iya, Ma! Jangan teriak-teriak, aku denger!" jawabnya sambil membuka pintu dengan dorongan kasar.
Tatapan sang ibu tajam, penuh amarah yang terpendam. "Berapa banyak cowok yang nyariin kamu hari ini? Manda, kamu bikin masalah apa lagi?!"
"Aku gak ngapa-ngapain! Kenapa Mama gak usir aja mereka?!"
"Mereka ke rumah karena kamu, Manda. Temui mereka. SEKARANG."
"Temenin!"
"Kalau kamu gak genit, gak pacaran sama lima orang sekaligus, Mama gak bakal dipermalukan begini!"
"Ya karena aku cantik, Ma," jawab Manda, sinis. "Salah Manda?"
Mereka berjalan ke arah pintu. Manda membukanya—dan dunia di depan sana seperti medan perang.
"ADA APA LAGI?!" bentaknya.
Empat pria berdiri di halaman. Wajah mereka tegang, saling menatap dengan kebingungan dan kemarahan yang membuncah.
"Dia siapa?" tanya Jihan pada Vino, matanya menyipit.
"Seharusnya gue yang nanya itu!" bentak Vino.
"Kami pacaran satu bulan ini!" ujar Jihan, menggenggam kerah Vino.
"Pergi! Aku harus bicara sama dia!" sela Dafa, maju selangkah.
"Sayang... jelaskan semuanya. Mereka siapa?" suara Arka bergetar, nyaris putus asa.
Manda mendesis. Matanya dingin. Ia menatap mereka satu per satu, lalu...
BRAK!
Pintu dibanting. Dunia di luar langsung sunyi. Ibunya terdiam, syok melihat kekacauan yang baru saja terjadi.
"Sumpah! Menyebalkan!" geram Manda sambil menggigit bibir bawahnya keras.
"Mama kirim kamu ke luar negeri. Titik!" suara sang Ibu akhirnya keluar, tegas dan penuh tekanan.
Manda membelalak. "APA?! Mama mau buang aku?!"
Ibunya mencubit pipi Manda lembut tapi tegas. "Kamu udah 23 tahun. Dewasa, dong. Mama gak kuat lagi lihat kamu mainin hati orang terus. Pilih negara sendiri, atau Mama yang tentuin!"
"MAMA!" Manda menghentakkan kaki.
"BERSIKAP DEWASA, MANDA!"
Pintu kamar kembali tertutup keras. Kali ini, bukan karena amarah semata, tapi campuran luka, ketakutan, dan tekad.
---
Malam Hari – Ruang Keluarga
"Papa, pinjam mobil," suara Manda terdengar manja.
"Gak usah dikasih, Pa! Dia pasti keluyuran lagi!" sahut ibunya tajam.
"Ma, plis! Pa, ayolah..." rayunya sambil memeluk lengan sang ayah.
Ayahnya hanya tertawa kecil. "Nih. Tapi pulang cepat, ya!"
"Thank you, Papa paling sayang!"
---
Di Rumah Caca
"Gue harus balas dendam," Manda duduk di sofa, matanya berkilat.
"Dendam ke siapa?" tanya Caca.
"Semua cowok-cowok brengsek itu. Mereka bikin Mama marah. Sekarang gue jadi korban!"
"Terus?"
"Gue butuh aktor. Pacarmu. Cuma satu malam."
"Angga?"
"Yes. Suruh dia jadi pacar palsuku. Upload foto, bikin drama. Biar mereka kapok!"
---
Café XYZ
Cahaya temaram, aroma kopi, dan musik lembut menyatu sempurna. Tapi bukan itu yang ada di kepala Manda—melainkan: eksekusi.
"Gue pesan tiga steak. Dua jus. Satu kopi." katanya kepada pelayan.
Beberapa menit kemudian...
"Kevin... kayaknya dia di parkiran," bisik Caca.
Manda hanya tersenyum. "Bagus."
Kevin datang. Langkahnya berat. Sorot matanya penuh amarah.
"DIA SIAPA?!"
Manda tetap tenang. Angga menatap Kevin, sedikit gugup.
"Pacar gue," jawab Manda akhirnya.
"Baru semalam putus! Dan kamu gini ke gue?!" Kevin nyaris berteriak.
"Kamu cuma masa lalu. Dan maaf, aku gak menyesal." jawab Manda, dingin dan tegas.
"Kamu akan menyesal, Manda. Sumpah!"
"Silakan. Tapi aku udah gak peduli."
Kevin pergi. Manda kembali duduk. Senyumnya tipis. Kemenangan.
---
Restoran – Setelah Drama
Angga duduk di seberangnya, menatap Manda dengan penuh kekaguman.
"Kamu... luar biasa cantik."
"Jangan mulai deh," ujar Manda. "Ini bukan kali pertama gue mainin perasaan orang."
Angga tertawa gugup.
Manda mengangguk ke arah Caca. "Panggil dia. Biar ikut."
Foto diambil. Tawa kecil tercipta.
Tapi malam belum berakhir.
---
Di Rumah Caca – Detik-detik Patah
"Ca, kita harus bicara," ucap Angga.
"Apa, Sayang?"
"Aku... gak bisa terus sama kamu. Aku suka temen kamu, Ca."
Petir seakan menyambar jantung Caca. Matanya melebar. Dunia runtuh.
"Apa?!" suaranya parau.
"Maaf. Gue gak bisa bohong. Gue jatuh cinta sama Manda."
PLAK! Tamparan mendarat di pipi Angga.
"PERGI!" seru Caca, air mata jatuh bebas di pipinya.
---
Kamar Manda – Tengah Malam
Manda berbaring. Menatap langit-langit. Lalu membuka galeri ponsel.
"Hmm... yang ini bagus. Yang itu juga."
Dering ponsel berbunyi. Nama yang tertera: CACA.
"Halo, Ca?"
Suara di seberang terdengar pecah. Marah. Retak.
"ANGGA MUTUSIN GUE GARA-GARA LO, DASAR PENGKHIANAT!"
Manda terdiam.
Kemenangan malam ini ternyata tak semanis yang ia bayangkan.
...To be continued....
Please Like, Comment & Vote, Guys!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments