Penjual Kopi yang bernama Indah itu memberi penjelasan bahwa, konon menurut cerita masyarakat setempat, meski di bakar berkali klai Waringin Kembar di Gunung tersebut tidak terbakar. Melihat hal tersebut, kawanan pembakar beringin makin beringas. Ia mengambil kembali minyak tanah di Dusun itu dan menyiramnya berkali kali. Tapi tetap saja tidak bisa membakar lokasi sakral itu.
"Namun, semak belukar di sekitar pohon tersebut habis terbakar.
"Kata orang orang tua, yang terbakar hanya semaunya, meski api menyala dengan kobaran yang cukup besar, " terang Indah.
"Kok bisa demikian, ya, " tanyaku.
"Itu adalah keganjilan peristiwa, Kak, " kata Pras, mendukung ketidak percayaanku.
"La, ini adalah peristiwa yang langka, " sahut Ima.
"Kelangkaannya sejauh mana?" tanya Hengki menggoda Ima.
"Sejauh umrah, kali," jawab Ima sewot.
"Kata orang, sih, lokasi tumbuhnya Waringin Kembar adalah lokasi Sumur Wisnu. Sehingga saat api menyala yang mbaurekso Sumur menyiramnya dengan air Sumur Wisnu tersebut, "terang Indah.
"Oh, demikian ya, " kata Anika. Anika juga menambahkan bahwa setiap Situs di Ponorogo tak lepas dari kisah kisah ganjil yang menyertainya.
"Keajaiban keajaiban dan kisah yang penuh dengan keghaiban selalu menyertai keberadaan Situs situs di Ponorogo, " ujar Anika.
"Dengan demikian maka lokasi di mana keberadaan Situs di Ponorogo akan berisi konten konten yang misteri, ' tambah Ima.
"Kalau soal itu saya kira kok tidak hanya di Ponorogo. Bahkan seluruh tanah Nusantara. Paling tidak di Tanah Jawa," terangku.
"Dengan demikian situs dan kekerabatan yang menyertainya akan terjaga kebudayaannya, " kata Anika.
"Itu adalah efek positif yang ditimbulkan, " ujar Hengki.
"Kisah kisah yang menyertai pada situs situs kadang berdampak ketidak beranian warga untuk berada di lokasi tersebut. Sehingga situs yang ada menjadi tak terurus, " kataku.
"Itu efek negatifnya," Kata Hengki, sambil tertawa ngakak.
"Sejak tadi kok efek saja yang kamu ucapkan," kata Pras.
"Kan kalau Efak di kira Eva, " ucap Hengki di sambut tawa kami.
"Oh, ya, apa kabarnya Eva. Ngapain gak bersama kalian? " tanya Ima.
"Anak Fakultas. Paling nanti kalau di ajak jawabnya banyak acara di HMF atau kadang HMJ, " ujar Pras.
"Tapi setidaknya di tawari dan di kabari. Siapa tahu Anika atau kakak pertama rindu, " kata Ima sambil tertawa.
*****
Matahari berjalan menuju peraduan di sebelah ufuk barat. Sebentar lagi tentu akan menuju peraduan. Siang, sore dan senja mengintai malam. Tak terasa waktu berjalan sudah lewat jam 16.00 Wib. Kami beranjak meninggalkan Warung di Suko sewu tersebut.
Anika membayar harga minuman dan jalanan yang kami makan dan minum. Adat yang ada di Ponorogo pada tiap tiap warung adalah makan dan minum dahulu, setelah itu di hitung berapa habisnya, baru membayar.
Namun kini ada beberapa Warung baru yang menerapkan membayar dahulu sebelum minum dan makan. Bahkan di kasihnya juga di tegaskan, "bayar dahulu! " Tapi meski demikian mereka juga menerapkan bayar setelah makan minum untuk pelanggan tetapnya.
"Kita pulang dulu, ya. Aku mau beres beres Liat, " kataku.
"Siap Kakak Pertama. Tapi jangan banyak melamun di Liat, " ujar Ima.
"Aku juga mau pulang. Besok balik Surabaya. tiga hari lho aku bolos kuliah," kata Anika.
"La penelusurannya kapan di lanjut?" tanya Ima menatapku.
"Besok kalian lanjut, aku nunggu hasilnya saja, " Sahut Anika.
"Siap, Bu Bos, " jawabku di sambut tawa dari kami.
Akhirnya dari Sini Sewu kami berpisah menuju tempat kami masing masing, untuk istirahat.
*****
Malam terang, meski bulan tak nak pada langit dan barunya. Tapi bintang gemintang berkedip dalam area yang penuh keindahan. Barang kali kalau dia bisa bicara, mengucapkan salam "selamat malam padaku."
Malam itu aku duduk di halaman rumah Kost. Rumah kost yang aku tempati kini tidak banyak penghuni. Sebab di rumah yang terkesan kuno tersebut tidak memiliki banyak kamar. Meski rumahnya besar.
Menurut penuturan orang orang rumah itu dulu rumah milik orang kaya dan orang terhormat. Bahkan di ceritakan Bung Karno sebelum menikahi Ibu Har sempat mampir di rumah tanggaku tempati.
Ibu Kost ku meski sudah tua terlihat bahwa dulu ia cantik. tubuhnya tinggi dengan kulit kuning langsat dan masih kencang. Kutaksir pada usia yang lebih 60 tahun seharusnya banyak yang mengalami keriput. Konon Ibu Kost sebelum suaminya meninggal berada di luar pulau. Almarhum suaminya di ceritakan memiliki usaha pertambangan di sana.
Anaknya sebenarnya menyarankan, rumah depan (kampung) lebih baik di buat kamar kost, ibu Kost tidak mau. karena takut kalau anak Kost tidak bisa jaga kebersihan. Selain itu dia beralasan bila nanti cucunya berkumpul di hari lebaran atau Suro, tidak ada tempat.
Memang kebiasaannya, selain bulan syawal cucu cucu ibu berkumpul di Bulan Suro. Mereka selalu menyaksikan Grebek Suro. Kedatangan mereka satu keluarga, antara 5 hari sebelum dilaksanakannya Kirab Pusaka.
Ketika aku asyik memandangi bintang gemintang, tiba tiba dari arah depan rumah ada suara gemuruh. Suara tersebut sangat aneh. Aku terus memandangi arah suara tersebut sambil berdiri mematung.
Lebih 15 menit aku berdiri menatap arah suara, namun tak ada benda yang mencurigakan. Suara tersebut kadang berhenti beberapa saat, akan tetapi belum ada 5 menit muncul kembali.
"Suara apa, itu? " salah seorang teman kost, datang mendekatiku.
"Entah, tapi sejak tadi kadang melemah, kadang berhenti tapi balik kembali, " ucapku sambil duduk di kursi.
"Di depan gerbang pagar, ya. Jangan jangan orang memperbaiki jalan, " ucapnya.
"Mesin apa suara kayak gluduk," kataku.
"Entah, saya yakin kok bukan mesin, " tambahku.
"Apa kita lihat saja, "ajaknya.
Aku beranjak dari tempat duduk. Kemudian berjalan menuju arah pagar. Suara gemuruh bagai guntur itu terus bersuara tanpa henti.
"Aneh..."ucapku pelan.
"Ia, semakin dekat semakin tak terdengar, " ucap teman kost.
Temanku adalah seorang Mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi di Kabupaten Ponorogo. Dia asalnya dari Wonogiri, sebuah kabupaten yang menjadi pembatas Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Temanku tersebut mengambil Fakultas Ekonomi. Harapannya kalau sudah wisuda kelak bisa menjadi saudagar melanjutkan usaha Ayahnya di Ibu Kota.
Semakin lama kami berjalan menuju pagar, di mana arah suara seperti guntur, suara tersebut hilang. Aku dan temanku menjadi penasaran. Maka kami percepat jalan agar segera sampai pada lokasi asal suara.
Hendrik, nama teman kost ku mengambil keputusan cepat. Ia membuka pintu pagar dan menengok ke samping kanan dan kiri.
"Apa, Hen? " tanyaku penasaran.
Dengan tetap mengamati ke jalan samping pintu gerbang Hendrik menggelengkan kepalanya. Dengan tetap sigap, Hendrik keluar menuju arah jalan raya. Aku mengikutinya dari belakang.
Sampai di pinggir jalan raya juga tidak ada masalah apa pun. Suara itu hilang tanpa bekas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments