Pada siang hari Hisa akhirnya pulang dengan cepat saat dia tidak sengaja bertemu dengan kuda liar.
Subuh waktu itu dia habiskan di luar pelindungnya sambil mengendong Lan dan Lin.
Sedangkan Vyin, sudah dia tinggalkan bersama dengan tenda dan pelindung sihir yang akan menghilang dua jam setelah dia tinggalkan setelah dia menjarah beberapa benda yang tampak berharga di cincin penyimpanannya.
Dia begitu bodoh karena tidak memberikan mantra kunci pada cincinnya membuat Hisa gampang melihat isi didalamnya.
Dia mengambil barang didalamnya tapi tetap cincinnya dia berikan pada Vyin yang masih tidur.
Dia tidak menyukai cincin jelek itu.
Apakah manusia tua itu akan mengutuk Hisa, dia tidak peduli.
Gerbang kota sutra merah segera terlihat, dinding tebal setinggi 5 meter itu begitu megah yang disandingkan dengan kain sutra merah dengan pola rumit keemasan yang di tenun dengan hati-hati oleh para pengrajin dikota ini.
Nama sutra merah tidak di ambil secara acak oleh pemimpin kota ini, nama sutra merah pertama kali diajukan untuk manusia abadi yang pandai bertenun dan pernah membantu kota ini terhindar dari serangan pasukan iblis dan anomali akar anggur beracun.
Dia menenun benang sutra dari kepompong ngengat api dan benang emas untuk dijadikan sebagai selendang sepanjang tiga meter.
Setelah itu dia pergi tanpa membawa kainnya, mengatakan sebagai tanda terimakasih karena telah memberinya tempat tinggal selama beberapa tahun saat dia terluka.
Kain tersebut juga mampu melindungi kota dari energi gelap anomali.
Pemimpin pertama kota sutra merah begitu terharu dan menjadikan warna sutra tersebut sebagai nama kotanya sendiri dan kain tersebut telah di wariskan dari generasi kegenerasi.
Hisa pernah melihat kain sutra itu dikediaman pemimpin generasi ke-tujuh, warnanya merah menyala dengan kilauan benang emas yang cantik. Kainnya tipis dan nampak rapuh tapi saat dipegang sangat kuat dan energi spiritualnya setara dengan senjata tingkat menengah.
Hisa tidak berani mengambilnya saat dia menggunakan sihir tembus pandang untuk memasuki kediaman pemimpin kota larut malam. Bagaimanapun kain tersebut adalah lambang kota jadi sangat mudah dikenali.
Jangan tanya mengapa Hisa bertindak sebagai pencuri malam itu.
Dia hanya ingin melihat beberapa buku kuno yang tidak ada diperpustakaan kota.
Tokonya agak jauh dari gerbang dan tidak berada di jalur utama yang sibuk. Berada di persimpangan yang hanya bisa dilalui satu kereta kuda.
Saat dia tengah menyeret kuda liar yang ia jinakkan menuju tokonya, beberapa warga kota sutra merah menyapanya dengan baik.
Bagaimanapun selain menjadi penjual dan pengoleksi barang antik dia juga sering menerima tugas sepele, seperti menangkap kucing yang hilang, membantu mengangkut barang dan hal lainnya.
"Wah...tuan Hisa, kau baru pulang dari kota Gazbie? Caine bilang kau sakit...kami sangat khawatir dengan mu." ucap bibi penjual sayur yang segera memberi sekeranjang sayuran hijau pada Hisa.
"ya ya...kucingmu selalu mengeong tiap malam membuat berisik, hahaha sepertinya dia merindukanmu."
"Tuan Hisa, bisakah kau membantu ku nanti, beberapa barang datang dari pedagang yang datang. Aku kesulitan mencari anak muda yang mau membantu...aku akan membayarmu dengan buah segar dan manis dari beberapa kota di selatan nanti."
"hah! Pak tua Yun kau membuat alasan aneh, bukankah kau tidak ingin keluar uang saja?"
Siang itu sangat berisik, Hisa tersenyum saat melihat pemandangan damai yang telah dipertahankan oleh para pahlawan kota.
Menolak beberapa hadiah Hisa segera berlari menuju gang tokonya.
Seolah angin telah berbisik dan memberitahu penghuni toko, suara berantakan barang jatuh terdengar disana sebelum Caramel yang berlari hingga menabrak tembok terlihat.
Dia begitu bersemangat hingga rem di kakinya lepas.
"miaw...miaw...miaw! Hisa! Hisa! akhirnya kau pulang... Ooh aku sangat merindukanmu, aku rindu aroma mu, aku rindu masakan mu...Caine sama sekali tidak pandai memasak. Dalam dua hari aku hanya bisa makan makanan gelap yang tidak beraturan bentuknya." ucap Caramel dengan menggebu-gebu sambil berputar mengelilingi kaki Hisa.
Hisa juga merindukan Caramel, dia mengusap punggung kucing itu dan menyuruhnya untuk minggir dulu agar dia bisa mengikat kuda liar yang dia bawa paksa dan menaruh barang bawaannya yang tidak banyak.
Caramel menuruti, dia segera duduk di depan pintu yang terbuka. Namun, hanya dalam beberapa detik kucing putih bertelinga hitam itu kembali berputar dan mengeong.
"haha, sabar... sabar..."
Hisa segera masuk sambil membawa sebuah bungkusan kain lembut. Caramel mengendus udara lalu mengeryit seolah ingin mengatakan sesuatu.
Hisa tersenyum licik, dia membuka bungkusan itu dan memperlihatkan sepasang kelinci abu-abu bermata merah, yaitu Lan dan Lin.
"kelinci? Apa kau ingin membuat kelinci pedas? Mereka cukup gemuk." Caramel meneguk ludahnya, kakinya menjinjit dan memiliki langkah kecil seperti lompatan kebahagian.
Kedua kelinci itu seolah mengerti, mereka mencicit ngeri saling berpelukan hingga tubuh mereka nampak seperti bola berbulu yang sangat bulat.
Hisa mendecakkan lidah, dia menjauhkan kedua kelinci yang ketakutan itu dari pandangan tajam Caramel. Lalu dia berkata dengan nada tegas: "Tidak...mereka akan menjadi saudara mu, yang besar bernama Lan dan yang kecil bernama Lin."
Bunyi 'klik' seperti ada sesuatu yang jatuh menghantam pendengaran Hisa, dia mendongak dan melihat Caine bersama seorang pria berjubah hitam berdiri di depan pintu sambil membawa keranjang kecil berisi kacang kenari.
Beberapa kacang kenari jatuh dari keranjang dan menggelinding ketanah sampai mengenai ekor panjang Caramel.
Hisa menatap lama sekali kearah pria disamping Caine, dia sedikit familiar namun otaknya tidak bisa mengingat wajah dan nama pria ini.
"ada apa? Tidak ingat dengan pelanggan mu sendiri Hisa?"
Suara bariton yang berat hingga bisa membuat wanita tersipu mendengarnya keluar dari mulut pria itu.
Senyumnya tersungging, bibir tipisnya merah seperti ceri segar, wajahnya begitu tampan hingga bisa mengalahkan para pria lajang yang mengejar gadis tercantik di kota.
Sepasang telinga runcing yang dihiasi anting rumbai merah dengan sedikit warna emas sangat pas disana, ketika digerakkan akan mengeluarkan suara gemerisik rendah. Warnanya yang mencolok sangat cocok dengan warna putih sehat kulit pria itu.
Hisa menyipitkan matanya, kepalanya miring sedikit demi sedikit hingga Caine yang melihatnya merasa muak.
Dia memukul kepala elf bodoh itu dengan kacang kenari agar otaknya kembali berfungsi.
"dia Lilac..yang selalu membeli ramuan serta senjata buatan mu, masa kau sama sekali tidak ingat?" bahkan Caine yang jarang datang ke toko Hisa untuk menghindari barangnya di curi, selalu dapat mengingat pria di sampingnya.
Wajah Hisa seketika berseri.
Ini adalah pelanggan nomor satunya!
Bahkan jika dia hanya membeli barang aneh dari tokonya yang nampak tidak berguna tapi pria ini selalu memberi uang atau barang yang melebihi harga barang itu. Membuatnya sering curiga apakah dia menginginkan aturan tidak terucapkan.
Tapi itu sama sekali tidak benar, dia hanya memperlakukan Hisa seperti adik sendiri dan memakai barang di toko Hisa karena bagus, apalagi Lilac sudah punya tunangan.
"waah, selamat datang...apa kau mau membeli barang lagi? Bagaimana ramuan yang ku berikan pada mu tiga malam sebelumnya? Apakah berguna?"
Bahkan Hisa masih menyempatkan untuk mengambil keuntungan pada keadaan seperti ini.
"Ahem!" Caine berdeham sambil menatap dingin Hisa yang membuat pemuda pengecut itu segera berdiri diam seperti patung.
Setelah mengatur Hisa agar sedikit patuh, Caine yang bertindak seperti ibu tua pemarah menyuruh dua orang elf dan satu kucing itu masuk toko.
Kelinci di pelukan Hisa juga nampaknya cukup patih hingga tubuh mereka sama sekali tidak seperti bernapas.
Caine ketika marah lebih menyeramkan daripada Dabael yang merasuki tubuh manusia untuk mengamuk.
Pikir Hisa dengan langkah kecil dan kepala tertunduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments