Gue baru aja sampe di depan jalan masuk menuju kostan gue, malah belum juga turun dari ojek tapi kerumunan orang yang sepertinya ada di depan rumah Bu Sri mengalihkan perhatian gue dan abang ojek yang nganterin gue.
"Ada apa tuh, mba? Rame banget malem-malem gini!" bapak ojek langsung berhenti dan menjulurkan kepalanya, mencari tau ada kejadian apa di depan sana.
"Waduh, ada apa ya pak? Itu sih kostan saya pak!" gue langsung lompat turun dari ojek dan melepas helm lalu menyerahkannya pada si bapak ojek.
Sambil terburu-buru, setengah berlari gue melangkahkan kaki ke gerbang kostan gue.
"Mbak.. mbak!! Bayar dulu!!" Bapak ojek berteriak dan teriakannya sempat mengalihkan perhatian beberapa orang yang sedang ikut berkerumun disitu.
"Astaga dragon! Lupa saya pak!" seru gue sambil menepuk jidat dan cengengesan sendiri menyadari kebodohan gue.
"Maaf ya pak.. Saya panik, takutnya ada apa-apa di kostan saya!" ujar gue sambil menyerahkan uang lembaran 20-ribuan. "Kembaliannya ambil aja.." tukas gue lagi basa basi.
"Yeee... Pas ini mah kaga ada lebihannya!" timpal si bapak dengan tampang sedikit kesal.
Aku nyengir lalu buru-buru membalikkan badan menuju ke gerbang kostan.
Sampai di depan gerbang kostan, rupanya kerumunan orang lebih banyak lagi sampe-sampe badan gue yang mungil gini aja ga bisa menyerobot masuk ke dalam.
"Permisiii.. Permiiisssiiii..."
Gue memaksa masuk di tengah-tengah kerumunan orang sekampung yang rata-rata bapak-bapak itu.
"Permisiii pak, saya ngekost di sini.." teriak gue ketika diantara mereka berdiri ketat berdekatan dan enggan memberi jalan.
Dengan susah payah akhirnya gue bisa nyampe juga di depan parkiran motor yang agak lengang tidak seramai di depan gerbang tadi.
Gue melongo ketika melihat ternyata di dalam juga ada polisi diantara kerumunan orang itu.
Gue melihat Bu Sri dan Bu Ayu sedang terduduk lesu di depan teras kamar Mbak Murni, salah satu penghuni kost juga yang sepertinya kebagian kerja shift malam. Lampu kamarnya gelap dan pintunya tertutup rapat.
Kondisi Bu Sri dan Bu Ayu tampak berantakan. Kerudung yang mereka pakai nyengsol tidak terletak rapi di posisinya. Bahkan kaos yang digunakan Bu Ayu sobek di bagian lengannya.
"Ada apaan?" Gue menghampiri Maya yang juga ada di situ. Sepertinya Maya juga baru sampe dan belum sempat masuk ke kamarnya.
"Gue ga tau pasti.. Tapi katanya ada orang ngamuk terus Bu Sri dianiaya!" bisik Maya ke telinga gue.
"What?? Yang bener lo?"
Maya cuma mengangguk dan memberi isyarat dengan mengangkat telunjuknya ke hidung, menyuruh gue untuk ga berisik karena khawatir didengar Bu Sri.
"Itu cowok kemaren sempet jemput si... Siii... Dia tuhhh! Diaaa!!!"
Bu Sri tiba-tiba menangis histeris dan menunjuk ke arah gue.
"Haaa?" Gue celingukan, ga paham dengan maksud Bu Sri tiba-tiba nunjuk ke arah gue.
Maya menatap gue dengan heran sekaligus penasaran. Gue balas menatapnya dan menggeleng, "sumpah! Gue ga ngerti!"
Kedua polisi yang tadinya menghadap ke arah Bu Sri dan Bu Ayu kini berbalik arah menghadap ke muka gue. Begitu juga dengan orang-orang yang masih ramai berkerumun di situ, mata mereka semua menatap ke arah gue. SEMUA! Tanpa terkecuali.
Gue langsung gugup dan panik. Gue mundur beberapa langkah sambil meremas tangan Maya yang ada di samping gue dengan gelisah.
"Maaf mbak.. Bisa kita minta keterangan sebentar?" tanya salah satu polisi sambil mendekat ke arah gue, bikin bulu kuduk gue merinding.
"Saya.. Saya ga paham pak.. Ini aja saya baru pulang kerja, pak.. Bingung kenapa.. Umm.. Kenapa kostan saya rame bener.." gue gelagapan saking takutnya. Seumur-umur gue baru berurusan sama yang namanya polisi, apalagi sepertinya gue jadi bintang utamanya nih karena Bu Sri jelas-jelas tadi nunjuk ke muka gue.
"Kami hanya ingin minta keterangan saja.. Tolong mbak.. Mbak siapa?"
"Lini.."
"Ok, Mbak Lini.. Tolong kerjasamanya agar kasus ini bisa terselesaikan dengan baik.."
"Kenapa saya terlibat ya pak?"
"Eh Lini.. Cowok kamu yang kemaren itu bawa geng-nya tadi kemari! Ngeroyok ibu!!! Brutal banget sampe ibu babak belur begini!!!"
Bu Sri berteriak-teriak histeris seperti orang kesurupan. Pak Mahmud, suaminya, mengelus pundak Bu Sri berkali-kali untuk menenangkan istrinya itu. Mata Pak Mahmud menatap ke arah gue dengan bengis, gue sampe menunduk saking takutnya ditatap seperti itu.
"Saya ga punya cowok bu.. Ibu salah orang kali!" gue ikut berteriak terbawa emosi dan justru orang-orang yang berkerumun malah menyoraki gue. Gue langsung terdiam menahan air mata gue yang rebutan pengen keluar. Sakit bener hati gue disorakin warga sekampung seolah-olah ga ada yang percaya sama omongan gue. Mereka lebih percaya sama omongan Bu Sri yang jelas-jelas udah terkenal sebagai biang gosip.
Maya merangkul pundak gue dan sepertinya ia berusaha menenangkan gue, walaupun usaha Maya itu ga ada efeknya buat hati gue yang udah terlanjur sakit dituduh macem-macem di depan banyak orang.
"Cowok kamu yang pake motor gede itu loh, mbak! Yang kemaren jemput kamu!!" Bu Ayu ikut-ikutan berteriak ke arah gue, disusul sorakan dari orang-orang yang ada di situ. Mereka seolah mendukung agar gue jadi pemeran utama yang disudutkan dalam episode ini tanpa tau kebenerannya.
Gue mengernyitkan dahi. "Restu?"
"Nah iya itu dia namanya, saya inget dia manggil cowok itu 'Restu, Restu' gitu loh pak!" Bu Sri menimpali dengan sengit.
"Ok.. Ok.. Tenang semuanya! Biar kami bawa mbak Lini ini untuk kami mintai keterangan dulu.. Harap bubar semuanya ya, supaya kondusif dan masalahnya cepat terselesaikan!"
Polisi itu berpamitan pada Bu Sri, Bu Ayu, Pak Mahmud dan Pak Gotu (suami Bu Ayu) dan meminta gue untuk ikut mereka ke kantor polisi.
Gue menggeleng dan menggenggam tangan Maya erat. "Gue ga kenal Restu, May.. Dia temennya Siska! Bukan cowok gue.."
Kali ini gue ga bisa menahan air mata gue untuk jatuh. Gue takut pergi ke kantor polisi, gimana kalo gue harus ditahan dan ga boleh pulang ke kostan?
Maya menggenggam tangan gue dengan erat. "Ga papa, Lin.. Lo bilang semuanya dengan jujur, apa adanya aja... Gue percaya lo ga salah.. Nanti gue hubungi Siska, biar dia nyusul lo ke kantor polisi.."
Gue mengangguk dan memeluk Maya untuk mencari sedikit ketenangan. Maya mengelus pundak gue dan berkali-kali meyakinkan kalo semua akan baik-baik aja.
Akhirnya dengan berat hati gue mengikuti kedua polisi itu ke mobil patroli mereka. Sorakan demi sorakan dari mulut warga yang sotoy bikin perasaan gue semakin sakit dan sedih. Gue merasa direndahkan. Gue merasa disudutkan.
Mereka ga tau cerita yang sebenarnya tapi mereka menghakimi mental gue dengan cara menyudutkan gue. Gue menangis sepanjang perjalanan menuju kantor polisi dan dengan sekuat hati mencoba mengumpulkan niat kalau gue harus pindah kostan dari lingkungan menyebalkan ini. Harus!! Dan gue ga akan pernah memaafkan Bu Sri seumur hidup gue! Mulutnya terlalu keji untuk ukuran seorang emak-emak yang juga punya anak di perantauan.
Kalo gue udah ga punya iman, rasanya gue pengen ngirimin santet ke tuh orang saking sakitnya hati gue dituduh macem-macem. Mumpung ini malem Jumat ya kan?! Tapi gue inget ambu sama abah di rumah, mereka pasti sedih kalo gue terjerumus ke hal-hal musyrik kayak gitu.. Jadi gue tahan-tahan perasaan sakit ini. Sampe-sampe gue lupa dan harus melewatkan moment spesial yang udah gue tunggu-tunggu sedari siang tadi. Lo pada inget kan, kalau malam ini katanya Mas Abdan mau nelfon gue??
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Khabib Firman Syah Roni
Saya merasa seperti telah menjalani petualangan sendiri.
2024-08-01
0