Keramahan Suku Kaday

Sebelum mereka beranjak dari setapak di tengah hutan itu untuk menuju rumah Nenek Kaayat, Putri Tihu bertanya padanya.

" Maaf Nek, siapa nama Nenek? "

"Dan, apakah rumah Nenek masih jauh dari sini ?" sambungnya lagi.

"Ah, maaf Nenek lupa memperkenalkan diri Nenek, namaku Kaayat, ini dua cucuku yang besar bernama Mawinei Aray yang kecil di belakang Nenek ini adiknya, Qeva Aray."

"Rumah Nenek masih agak jauh dari sini," Nenek Kaayat menjelaskan.

"Baiklah, Nek. Lebih baik kita menggunakan kekuatan batu bintang unguku saja agar lebih cepat sampai ke rumah Nenek," Putri Tihu pun memberi perintah pada batu ungunya.

"Buka gerbang menuju rumah Nenek Kaayat!" serunya.

Zerrtttt!!!

Seperti biasa Gerbang yang berupa sinar dan cahaya berwarna ungu pun terpampang di depan mereka.

Qeva dan Mawinei terpana melihat Gerbang yang berupa sinar itu.

"Mari Nek, silahkan melalui pintu pintasan ini," pinta Tihu pada Nenek Kaayat.

"Ya baiklah kau sangat pandai menggunakan batu bintang itu sedari kecil," Nenek Kaayat berjalan memasuki Gerbang Sinar itu diikuti yang lainnya.

Akhirnya mereka sampai tepat di depan rumah Nenek Kaayat, Nenek Kaayat tidak hidup bersama penduduk lainnya dia tinggal agak jauh dari kampungnya di tepian hutan karena tugasnya untuk menjaga dan menumbuhkan kembali pohon yang telah ditebang atau pohon muda yang telah ditanam para penebang.

Rumah Nenek Kaayat berada di rongga pohon yang sangat besar. Ada anak tangga yang melingkar ke atas menuju balkon bahkan nampak jendela di beberapa bagian baik bawah maupun atas.

Di sekitar pohon itu banyak tanaman yang diatur rapi, baik bunga maupun tanaman obat.

"Wah indah sekali rumah Nenek!" Andiek takjub melihat rumah pohon itu.

"Bagaimana Nenek membuatnya?" tanyanya lagi.

Hampir bersamaan Mawinei dan Tihu menjawab Andiek, " Batu bintang."

Kedua gadis itu saling bertatapan dan kemudian tertawa kecil, melupakan kejadian sebelumnya.

Mendahului Nenek Kaayat yang hendak menjelaskan.

" Hihihi... kalian benar," Nenek Kaayat membenarkan jawaban Mawinei dan Tihu. "Nah, mari silahkan masuk."

Di dalam terlihat tak berbeda dengan isi rumah pada umumnya. Terdapat ruang tamu yang sederhana dengan meja bangku kayu yang semuanya tampak alami terbentuk seakan menyembul keluar dari tanah.

Bahkan lemari juga seperti menyembul keluar dari dinding rumah pohon. Dapur kecil dengan perapian sederhana, juga ada penyekat dinding membentuk kamar yang adalah ruangan Nenek Kaayat beristirahat.

Sederhana namun bersih dan rapi. Ada semacam bilik yang merupakan kamar mandi dan terdengar air yang terus terdengar bergemericik meskipun begitu tak membuat genangan di lantainya yang juga berbahan kayu yang bersekat-sekat sehingga air yang meluap di bak air langsung terserap di bawah lantai di antara sekat-sekat itu.

Terdapat anak tangga melingkar menuju ruangan di atas yang adalah kamar Qeva, kamar Mawinei berada paling atas karena Mawinei bisa dengan mudah terbang dengan kekuatan batu bintangnya yang berwarna hijau bening. Meskipun ada anak tangga di luar yang melingkari pohon besar itu dia sangat jarang menggunakannya.

" Ayo duduk dulu, Mawinei, buatkan minuman herbal Kaday buat tamu kita." Perintah Nenek Kaayat pada Mawinei.

" Baik, Nek,"Mawinei menuju dapur dan mulai meracik rempah-rempah asli Lamakintan sebagai bahan minuman herbal Kaday. Minuman herbal Kaday yang juga disebut Wedang Kaday adalah minuman kesehatan khas Lamakintan, terbuat dari Bawang Kaday dan rempah rempah Lamakintan disertai dengan madu hutan asli.

Bawang Kaday sangat bermanfaat menjaga ketahanan tubuh dan kesehatan. Sebagai seorang shaman Nenek Kaayat memiliki berbagai macam jenis minuman herbal.

"Sebentar ya anak-anak Nenek ambil kue lepet buat kalian, kebetulan tadi pagi Nenek dan Qeva membuatnya." Nenek Kaayat pun menuju dapur menyusul Mawinei dan sesekali memastikan minuman bawang Kaday yang dibuatnya lalu menghampiri lemari dapurnya.

Dia mengambil wadah yang berisi banyak sekali kue lepet, sedang Qeva duduk merasa canggung berhadapan dengan Tihu dan Andiek, anak pemalu itu melihat pakaian Tihu yang begitu indah juga memandang mahkota bulan sabit yang dikenakan Tihu dengan berbinar-binar.

Kemudian Nenek Kaayat kembali ke ruang tamu sambil membawa sewadah kue lepet dan menaruhnya di meja di hadapan Tihu dan Andiek.

"Mari dicicipi kue lepet bikinan Qeva," kata Nenek Kaayat tersenyum sambil melirik Qeva.

"Ah, Nenek aku kan hanya membantu nenek saja," Qeva dengan malu-malu meralat neneknya.

"Ayo dimakan Tuan Putri dan Anak Muda ini makanan khas Lamakintan menyambut tamu istimewa," Nenek Kaayat mempersilahkan kembali.

"Terima kasih, Nek," demi menghormati dan menghargai jerih payah tuan rumahnya Tihu pun mengambil kue lepet itu dan mengupas lipatan yang membungkusnya begitu juga Andiek yang terlihat penasaran dengan rasanya.

Dalam bahasa Kaday, lepet berarti lipat, dan kue ini disajikan dengan dilipat oleh daun pisang yang sebelumnya sudah dikukus.

Bahan dasar kue lepet ini adalah tepung beras, yang dicampurkan dengan kelapa parut, gula merah, dan sedikit minyak kelapa. Daun pisang yang akan digunakan sebagai pembungkus sebelumnya dilumuri dengan minyak.

Hal ini bertujuan agar adonan tidak lengket menempel. Setelah itu diisi dengan adonan yang disesuaikan dengan ukuran, lalu dikukus hingga matang.

Bisa terlihat dari daun pisang yang berubah warna. Kue ini biasanya akan mudah ditemui pada acara perayaan khas suku Kaday, misal pesta pernikahan atau acara adat yang lain.

Rasa gurih yang dimiliki kue lepet inilah yang membuat makanan khas Kaday ini digemari, tidak hanya oleh penduduk asli, melainkan para perantau yang juga sedang mengadakan kunjungan.

"Wah enak sekali kue ini Nek," kata Andiek dengan mulut yang masih penuh kue yang dilahapnya.

"Eh kunyah baik-baik dulu di mulutmu jangan bicara sambil makan,"Putri Tihu juga setuju dengan apa yang diucapkan Andiek, kue yang baru pertama kali dia rasakan itu sungguh enak dan cocok di lidahnya.

Tak lama kemudian Mawinei membawa nampan berisi  teko dan lima cangkir yg terbuat dari kayu berisi minuman bawang Kaday yang hangat.

"Silahkan, minumlah selagi hangat" Mawinei memberi saran karena dia paham tamu-tamunya berasal dari luar Lamakintan.

"Terima kasih," jawab Tihu dan Andiek berbarengan.

Ketika meminum minuman bawang Kaday itu terasa asing di lidah keduanya untuk pertama kalinya, namun samar-samar perpaduan rempah-rempah bawang Kaday, Jahe merah, cengkeh, kayu manis dan madu hutan semakin terasa nikmat di lidah.

Tihu tak menyangka paduan rempah itu terasa lembut dilapisi manisnya madu hutan terbesit di benaknya untuk minta resep minuman itu yang akan dia berikan pada orang tuanya untuk mencicipi.

Nenek Kaayat membuka pembicaraan, "Maaf Tuan Putri bagaimana keadaan ayah dan ibumu? "

"Mereka baik-baik saja, Nek," jawab Tihu.

"Kenapa Tuan Putri ke tempat kami? " tanya Nenek Kaayat lagi.

Putri Tihu pun menjelaskan secara rinci awal mula perjalananya dengan maksud mencari pengguna batu bintang mengikuti petunjuk batu bintang ungunya.

Sang nenek mengangguk-anggukan kepalanya mendengar semua penjelasan Putri Tihu.

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***