Bab. Delapan Belas

Bab. 18

Tok.. Tok.. Tok..

"Bangun.. Bangun.. Bangun.. Kalian ada kerja gak sih, jam segini masih tidur." teriak bibi yang mencoba membangunkan keponakannya sari luar rumah.

Bik Nur memang orang yang cerewet, tapi hatinya sungguh baik. Bagi Arumi tidak mempermasalahkan itu, dirinya senang setelah sekian lama sosok ibunya yang tertanam pada bibinya akhirnya di temukan kembali. Arumi sudah sangat merindukan sosok ibunya.

"Ar, bibimu sudah berteriak tuh pagi pagi sekali." ujar Mika yang masih malas membuka mata.

"tau ahh.. Aku masih malas untuk bangun. Udah biarin aja nanti juga diam sendiri dia." jawab Arumi yang sama malasnya walaupun sekedar membuka mata saja.

Namun, bik Nur bukannya berhenti. Melihat belum ada yang keluar buka pintu membuat bik Nur jengkel. Bik Nur terus saja mengetuk pintu rumah itu dengan kasar.

Tampak di sana para tetangga penghuni rumah kontrakan yang lainnya sudah mengerumuni ingin tau ada apa.

"Kenapa bik Nur?" tanya buk Salma, ia penghuni rumah itu yang paling pojok.

"Itu, keponakan susah kali di bangunin. Udah di bilangin malamnya jangan begadang, masih saja begadang. Dasar anak!" celetuk bik Nur yang tambah kesel dan jengkel.

"Ada apa sih bik, kok pada cerewet sih pagi pagi." ujar Arumi yang baru saja keluar.

"Ini nih, dasar anak! Udah gak ingin kerja lagi? Malas malasan terus. Kerja gak kerja tetap harus bangun awal. Jangan malas!" bentak bik Nur dengan nada tinggi.

Masih terlihat jengkel di wajahnya. Namun, Arumi bukannya takut. Arumi mendekat dengan bibinya dan memeluknya erat.

"Iya bibi, aku tau. Bibi tau, bibi terlihat lebih awet dan manis ketika bawel dan cerewet seperti ini," ujar Arumi membujuk dan memuji bik Nur.

Tangan Arumi masih memeluk erat tubuh gembul bibinya. Terlihat bibi pun membalas pelukan itu dengan senyuman sumringah.

"Dasar ni anak, bisa bisanya merayu bibi seperti ini. Dasar nakal." celetuk bibi dengan mencubit pelan hidung Arumi.

"Bibi, aku lapar. Bibi masak apa pagi ini?"

Perut yang sudah keroncongan pun berbunyi membuat Arumi tersenyum monyong kepada sang bibi.

"Mika di mana? Panggil dia dan kita sarapan bareng."

Lantas Arumi pun hendak memanggil Mika, ehh orangnya keluar sendiri sebelum di panggil.

Ternyata tadi Mika sempat melihat adegan yang mengharukan itu. Namun, Mika tetap tenang. Mungkin karena bik Nur bersikap baik padanya. Bik Nur juga sudah menganggap Mika seperti anak sendiri. Itu sudah cukup bagi Mika.

Akhirnya, pagi ini mereka sarapan bersama di rumah bik Nur. Melihat dua wanita muda duduk berdampingan dan saling bercengkrama membuat bik Nur terharu dan sedih menjadi satu.

Teringat akan putrinya dulu yang selalu bersama Arumi. Bik Nur selalu menyuapi mereka makan dulu sewaktu masih kecil.

Tapi, sayangnya.. Mungkin Allah lebih sayang kepadanya. Monarch lebih dulu di panggil menghadap nya.

Rela tidak rela, bik Nur harus mengikhlaskan kepergian putrinya.

\*\*\*

Mereka berdua tiba di kantor, Arumi memang sudah beli keretanya sendiri. Masih masih enggan bawa motornya untuk berangkat ke kantor. Dia lebih memilih nebeng bersama Mika.

Terlihat, Arumi fokus dengan pekerjaannya. Pak Alex terus saja menatap Arumi dengan penuh kesan. Ingin ia menyapa tapi dia enggan mengganggunya karena tengah fokus bekerja.

Itu sudah prinsipnya, Arumi tidak bisa di ganggu jika sedang sibuk atau fokus pada sesuatu.

Pak Alex memilih diam dan terus menatapnya dari jauh.

Tidak terasa, kini hari sudah sore saja. Seperti biasa, setelah pulang kerja Arumi terus bekerja lagi. Kini dia berangkat menuju butiknya.

"Arumi.."

Arumi berhenti dan menoleh ketika ada yang memanggilnya.

"Ohh kau. Ada apa?" tanya Arumi ketus.

"Kamu mau kemana? Seperti nya terburu-buru."

"Bukan urusanmu aku mau kemana. Kamu sendiri mau kemana?"

"Bukan urusanmu juga." masih sama dengan wajah gengsinya.

"Chh. Udah sana urus saja urusanmu sendiri, jangan ikuti aku." pungkas nya yang merasa kesel.

"Siapa juga yang mengikut mu."

"Terus ngapain selalu ada kamu di manapun aku berada."

"Itu namanya kita memang jodoh, tau."

"Cihh.. Jodoh! Kamu aja kali yang sengaja ikutin aku kan. Kenapa? Tidak ada wanita lain kah yang mau dengan mu? Kenapa juga dulu kau sok jagoan."

Perkataan Arumi benar-benar menyindir Gibran. Nyata. Namun, Gibran tidak bisa menerima kenyataan itu. Dirinya masih saja mengharapkan Arumi mau kembali lagi padanya.

"Kenapa bengong? Udah kan? Sana minggir, aku sibuk. Aku ada urusan."

Arumi melaju meninggalkan Gibran yang bengong di sana. Tidak tau kenapa, di saat Arumi bicara seperti ini Gibran tidak bisa bicara lagi. Apalagi membantah. Mulutnya seolah terkunci seribu bahasa.

Barulah ia sadar ketika Arumi sudah menjauh darinya. Gibran menggerutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa dirinya sebodoh ini.

Dan kenapa ia baru bisa menyadari kebaikan Arumi saat sekarang ini.

Nasi sudah menjadi bubur, menyesal selalu datang terlambat. Kini Gibran berada di antara dilema. Menyesal pun sudah tak berguna lagi.

Tak butuh waktu lama, Arumi tiba di butiknya. Terlihat di sana para karyawan bekerja dengan telaten. Tanpa di sengaja, mata menangkap sosok mantan mertuanya di sana. Dia terlihat seperti sedang memohon mengemis di sana.

Arumi datang mendekat, "ada apa ini?" tanya Arumi pelan.

"Heh kamu mantu. Coba kamu bujuk orang keras kepala ini, mungkin perkataanmu mereka mau dengar. Ini mama mau lamar kerja di sini. Tapi mereka menolak. Dasar kurang ajar!" celetuk mama Nita dengan kesal dan jengkel.

"Ma, di sini orang kerjanya muda muda semua. Mama udah tua, memang sanggup bekerja lagi?" tanya Arumi dengan sopan.

"Heleh kamu ini. Ngejek mama kamu? Walaupun mama terlihat sudah tua, tapi mama masih kuat kok." ketusnya sinis dan sombong.

Hmmm...

Arumi mengangguk.

"Mbak, coba di pertimbangkan lagi permohonan ibu ini. Mungkin masih ada lowongan." ucap Arumi dengan memicing matanya terhadap manager butik itu.

"Tidak ada lagi bu, kecuali bagian kebersihan. Masih butuh orang." jawab Munira dengan sedikit menunduk.

"Emm ma, bagaimana?" tanya Arumi pada mama Nita.

"Masa iya sih di bagian kebersihan. Tidak ada lagi bagian lain kah?" jawab nya dengan lesu.

"Tidak ada tugas bagian yang lain bu," jawab Munira.

"Jika mama memang niat untuk kerja, mending terima aja. Daripada nanti masuk orang lain lagi."

"Enak saja! Wanita cantik seperti mama kerja bagian kebersihan, ish amit amit deh. Ogah!" jawabnya dengan sombong dan segera keluar dari butik tersebut.

Sepeninggalan mama Nita, Arumi tampak tersenyum sumrngah. Sekaligus sinis.

"Maaf bu, ibu itu tadi membuat keributan. Mari bu, saya antar ke ruangan ibu." ujar Munira dengan ramah.

"Tidak apa-apa. Bagaimana perkembangan selama ini?" jawab Arumi santai.

"Alhamdulillah, cukup baik, bu."

Bersambung...

Yuk lanjut baca bab 19...

Yuk tinggalkan jejak kalian yang sudah baca...

yuk mampir di cerita temanku..

Terpopuler

Comments

Radya Arynda

Radya Arynda

cepet nikah sama pak alex aja

2024-09-07

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!