Sudah tiga hari sejak kepergian Hanz, sejak itu pula Uswa belum mendengar kabar Hanz. Pesan terakhir yang Uswa balas sudah terkirim, namun belum menampakkan tanda baca. Saat itu, usai melaksanakan salat asar, ia kembali duduk di kursinya. Meletakkan ponsel yang menampakkan room chat dengan Hanz.
'Padahal pesan terakhir sudah terkirim, tapi kok nggak langsung dibalas, sih? Ini dah tiga hari, belum ada balasan juga,' gerutu Uswa, dalam batinnya.
Uswa terus menatap ponsel yang ada di hadapannya. Lamunannya berhasil membawa angannya memutar hari di mana air matanya menetes di hadapan Hanz. Uswa tersenyum getir, hal yang tak ingin dilihat siapapun, malah dilihat oleh sosok pria yang baru ia kenal.
Uswa menghela napas berat, ia menghempaskan tubuhnya, bersandar pada sandaran kursi, hingga membuat rekan kerja di sampingnya penasaran.
"Nampaknya, berapa hari ini Bu Uswa gelisah terus, atau hanya perasaan saya, Bu?" cicit Rahman, membuat Uswa menoleh ke kanan.
Uswa pun tersenyum, ia berusaha menutupi kegelisahannya dari pria yang sudah berusia 35 tahun, yang ia anggap kakak sendiri. Namun, tetap menjaga batasan antara rekan kerja.
"Tidak kok, Pak. Saya hanya sedikit kecapekan saja," jawab Uswa. Ia terus mengulas senyum sopan, tanda menghormati rekan di sampingnya.
"Yang bener, Bu?" timpal Yadi, yang tiba-tiba muncul dan duduk di samping kiri Uswa.
Uswa dan Rahman terpaksa mengalihkan pandangan menatap Yadi. "Ada yang ngomong ke saya, Spt di Departemen kita bertemu sama nahkoda di Dermaga," imbuh Yadi, menelisik jawaban dari Uswa dari tempat duduknya, hingga Rahman juga beralih menatap Uswa.
"Betul itu, Bu?" selidik Rahman, memancarkan sorot mata penasaran.
"Tiga Spt reguler, tiga Spt shift, dan Pak Yadi ... kenapa bisa berpikir itu saya?" tanya Uswa, yang masih dalam posisi bersandar. Ia pun sedikit menggerakkan kursi, agar ia bisa meraih ponselnya.
"Spt wanita di Departemen kita hanya Bu Uswa, tidak mungkin pak Rahman ketemu sama perwira kapal. Kalau perwira kapal itu perempuan, bisa jadi. Lah ini, perwiranya laki-laki. Sudah pasti bu Uswa, kan?" desak Yadi, yang semakin membuat rasa penasaran Rahman semakin menggebu.
"Bisa jadi, kan? Siapa tau pak Rahman ada urusan dengan itu nahkoda. Ya kan, Pak Rahman?" ujar Uswa, menatap sekilas Rahman yang menggeleng kuat.
"Alasan teros Bu Uswa ini, dia bilang Spt perempuan, kok. Ya jelas Ibulah, siapa lagi coba?" kilah Yadi, yang berusaha mengorek kebenaran.
"Pantesan, akhir-akhir ini bu Uswa sering ngecek hp, Pak Yadi. Dan hari ini, bu Uswa gelisah. Ternyata nunggu kabar Sang Pelaut, toh. Hahaha ..." ledek Rahman, tawanya pun terdengar nyaring, membuat semua mata tertuju pada Uswa.
Uswa tidak merespon kedua rekan kerjanya itu. Ia juga tidak peduli dengan tatapan menelisik, dari rekan-rekan di ruangan itu. Ia merentangkan tangan ke depan, melepaskan semua lelah dalam tubuhnya. Uswa membenarkan posisi tubuhnya, matanya pun tertuju pada jam beker hitam di rak kecil, di atas mejanya.
"Closing, Guys ..." ucap Uswa, tidak teriak, namun masih bisa terdengar oleh seisi ruangan. Ia mengalihkan perhatian Yadi dan Rahman, serta tatapan berpasang mata yang tertuju padanya, dengan mengingatkan rapat evaluasi kerja harian.
"Alaaah, susah betol ngorek informasi pribadi bu Uswa ini," gerutu Rahman, yang dibenarkan oleh Yadi.
Uswa menaikkan pundaknya, menjawab rasa penasaran Rahman dan Yadi. Ia pun tertawa kecil, menampakkan barisan giginya yang rapi. Rahman dan Yadi yang sudah paham dengan Uswa, mereka memilih diam, meski penasaran semakin menyelimuti jiwa mereka.
"Sebaiknya kita segera ke meeting room, sebelum pak Manajer masuk." ujar Uswa.
Tanpa mengulur waktu, Uswa bangkit dari duduknya. Ia melangkah ke meeting room, yang langsung diikuti oleh Rahman dan Yadi, serta diikuti oleh Spt shift satu dan dua.
...****************...
'Cukup melelahkan,' batin Uswa.
Kini, Uswa telah berdiri di ujung tepi trestel, ia menatap lautan luas yang mulai pasang. Embusan angin yang cukup kencang, membuat pucuk hijabnya meleyot tak tentu arah. Untuk sesaat, Uswa menengadah, menatap langit yang masih sangat cerah.
Uswa menghirup oksigen dalam-dalam. Ia seakan menghisap seluruh oksigen, untuk disalurkan ke seluruh tubuhnya, terutama kepalanya. Sesaat, Uswa menahan napasnya, merasakan oksigen mengalir, menyusuri pembuluh darah, masuk ke seluruh organ tubuhnya.
Hufftt ....
Satu helaan napas berat, berhasil Uswa lepaskan. Seolah melepas beban pikirannya, menenangkan sejenak perasaan yang semakin tak menentu. Uswa menurunkan pandangan, kembali menatap luasnya lautan.
"Apa kabar dia di sana?" gumam Uswa, seakan bertanya kabar Hanz pada angin yang menyapa.
Uswa semakin diam membisu. Seakan menyatu dengan alam, ia merasakan deruh angin yang semakin kencang, menghasilkan gemuruh ombak yang menghantam tiang-tiang trestel. Uswa tersenyum getir, merasakan pilunya rindu, yang entah sampai kapan akan berakhir.
"Sesakit ini jatuh hati ..." lirih Uswa.
"Tidak akan sakit jika dia juga merasakan hal yang sama denganmu, Uswa."
Tiba-tiba suara berat, namun penuh kelembutan terdengar dari samping kanan Uswa. Spontan, Uswa langsung menoleh ke kanan, menatap seseorang yang telah berdiri di sampingnya. Ardian. Sosok yang baru Uswa kenal beberapa hari lalu, entah tanpa sengaja, atau memang disengaja, kini sosok itu berdiri bersamanya, menatap lautan luas.
Uswa memilih diam, ia tidak memiliki niat merespon kalimat Ardian. Uswa kembali menatap sagara luas, dengan harapan sosok pria yang ia rindukan melambai dari tengah lautan. Uswa menutup mata, merasakan belaian angin yang menyapa wajahnya.
"Bolehkah saya berdiri di sini?" Suara Ardian membuat Uswa perlahan membuka matanya.
"Dermaga ini bukan milik saya. Jadi, siapapun berhak berdiri di sini!" tegas Uswa, tanpa menatap Ardian yang tersenyum hangat.
Di bawah nabastala yang memancarkan semburat jingga, keduanya saling terdiam. Mereka terhanyut dalam irama angin dan ombak yang mengalun merdu, hingga tercipta melodi indah di tengah keheningan. Tanpa disadari, tatapan keduanya saling bertemu, memancarkan kecanggungan yang menyelimuti kalbu.
"Jangan terluka karena rindu, Wa."
Getar suara Ardian menyadarkan Uswa dari lamunannya. Wanita itu langsung mengalihkan pandangan, menatap lautan yang terbentang di bawah cakrawala senja. Uswa tersenyum getir, ujung bibirnya terangkat naik, membentuk lesung pipit di pipi kanannya.
"Jika itu yang bisa membawanya kembali, meski beribu sembilu menusuk, rindu itu akan tetap saya sampaikan!" tutur Uswa, suaranya terdengar penuh peringatan yang tegas.
Ardian langsung menatap binar indah yang penuh luka. Ia merasakan getir pilu dari getar suara Uswa. Ardian terdiam, hatinya juga merasakan luka yang terpancar dari sorot mata Uswa.
"Uswa ..." lirih Ardian, memanggil Uswa yang langsung menatapnya.
Uswa terdiam menatap Ardian. Pria itu tak berkedip pandang, menatap dirinya dengan sorot yang sulit diartikan. Uswa mengerutkan kening, seakan menyatukan kedua alisnya. Ia menatap heran Ardian, penasaran apa yang akan pria itu sampaikan.
"Ada apa?" tanya Uswa.
'Rindumu begitu besar untuknya, sehingga sulit untuk kutembus.'
Alih-alih menjawab, batin Ardian malah semakin berseteru. Ia hanya mampu mengungkapkan dalam hatinya. Ia tidak ingin Uswa ilfeel, karena ia sepertinya menyukai wanita di hadapannya itu. Masih dengan sorot mata penuh harap, Ardian tersenyum, menggeleng pelan, membuat Uswa semakin dilanda penasaran.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Tiada siapapun yang ingin terluka. Namun, jika aku harus terluka karena rindu ini, aku akan tetap merindukannya, meski aku harus menjadi orang paling bodoh....
...~Titik Kedua~...
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
mama Al
3 iklan untuk author
2024-09-15
1
mama Al
bahasanya keren
2024-09-15
1
mama Al
Yadi ternyata suka gosip juga
2024-09-15
1