Jam menunjukkan pukul 22.45, setelah menelepon Uswa, Hanz langsung ke kamarnya. Ia ingin segera istirahat. Namun, pikirannya terus tertuju pada tambatan hatinya. Hanz terus menatap layar ponsel, yang menampilkan ruang chat dengan Uswa. Untuk pertama kali, hati Hanz gusar, berharap sinyal masuk ke ponselnya, mengirimkan pesan yang tertunda pada Uswa.
Cukup lama Hanz memandangi layar ponsel, ia pun berdiri, melangkah keluar kamar. Hanz dengan cepat melangkah menuju anjungan. Ia ingin mencari sinyal di sana. Sesampainya Hanz di anjungan, semua mata tertuju padanya.
"Selamat malam, Chief. Ada yang bisa dibantu?" ucap Third Officer menghampiri Hanz, yang memang jaga pada pukul 20.00 sampai 24.00.
"Ada sinyal kalian?" tanpa basa-basi, Hanz langsung bertanya perihal sinyal.
Semua mata yang ada di dalam anjungan tertuju padanya. Bukan tanpa sebab mereka seperti itu. Pasalnya, tidak biasanya Hanz bertanya sinyal. Hanz termasuk orang paling santai, jika tidak ada sinyal. Ia juga tidak terlalu main hp, jika waktu istirahat dia akan istirahat, jika waktu olahraga dia akan olahraga. Selalu begitu.
"Dari pukul 21.00 sudah hilang sinyal, Chief." Third Officer itu memberitahu Hanz, bahwa sinyal dua jam yang lalu sudah hilang.
Hanz mengusap kasar wajahnya. Rasa frustasi tercetak jelas di wajahnya. Sorot matanya memancarkan kerinduan yang dalam. Masih pada posisinya, Hanz menatap luar jendela yang diterangi cahaya temaram sang rembulan.
"Terima kasih, Mas Ferdi," ucap Hanz, tersenyum pada Third Officer, yang bernama Ferdi. Pria itu masih heran dengan Hanz. Tanpa menunggu kata yang keluar dari Ferdi, Hanz langsung menuju keluar ruang anjungan. Ia berdiri menatap lautan luas yang gelap.
'Malam yang tenang, tapi tidak dengan perasaanku.'
Itulah yang ada di benak Hanz. Malam itu adalah malam yang tenang. Cuaca sangat bersahabat, bahkan bintang pun menampakkan diri, bergemerlap indah di langit gelap. Cahaya rembulan yang temaram, membuat hati Hanz semakin resah.
Was-was menyelimuti kalbu, mampu melebihi rasa kegundahannya saat diterjang badai. Hanz mengangkat ponselnya, menggoyang-goyangkan benda pipih itu. Ia berusaha mendapatkan sinyal, agar pesannya bisa terkirim pada Uswa.
"Sial ..." gerutu Hanz, ia menurunkan tangan, dan mengusap kasar rambutnya.
Untuk pertama kali, Hanz putus asa saat kehilangan sinyal. Hanz menengadah, menatap langit yang cerah, namun tidak dengan suasana hatinya. Hanz menarik napas berat, dan mengembuskan secara perlahan.
Di tengah kegundahan Hanz, seseorang datang menepuk pundaknya. Merasa pundaknya disentuh seseorang, Hanz langsung menoleh ke kanan, menatap Kapten Andi yang berdiri di sampingnya.
"Selamat malam, Capt." Hanz membenarkan posisinya, ia pun menyapa Kapten Andi dengan senyum hangat.
"Malam ini sangat bersahabat, dan ... semoga berlayar kali ini cuacanya seperti ini terus," tutur Kapten Andi, sembari menatap langit yang bertabur gemintang.
"Aamiin, Capt. Semoga saja ...," jawab Hanz, dengan suara lirih menahan pilu.
"Sudah berapa lama dari kabar terakhir?" tanya Kapten Andi, yang tidak dipahami oleh Hanz.
"Maksudnya, Capt?" Hanz menatap Kapten Andi tidak mengerti. Tatapannya seakan mencari jawaban si wajah Kapten Andi.
Kapten Andi tersenyum. Ia mengulurkan tangan kanan, menyodorkan sebotol minuman dingin rasa jeruk. Pria di hadapan Kapten itu memindahkan ponselnya ke tangan kiri. Hanz pun menerima sebotol minuman favoritnya.
"Terima kasih, Capt," ucap Hanz, terdengar sangat sopan.
Kapten Andi kembali tersenyum. Di saat Hanz meneguk minumannya, Kapten Andi menarik tangan kiri Hanz, mengangkatnya hingga ponsel yang tergenggam tepat di hadapan Hanz.
Kapten Andi pun bertanya, "Sudah berapa lama pesanmu tidak terkirim?"
"Uhuk ... Uhuk ...." Hanz tersedak karena pertanyaan Kapten Andi yang tiba-tiba. Hanz langsung merasa malu dan segan pada atasannya. Eh ... itu, Capt, anu ...."
Hanz tergagap menjawab pertanyaan Kapten Andi. Ia terlihat seperti anak kecil, yang sedang tertangkap basah mencuri mangga tetangga. Hanz tersenyum malu. Ia mau beralasan apalagi, tentunya pria paruh baya di hadapannya itu memiliki pengalaman memahami bawahannya. Terlebih lagi, ini yang kedua kali Hanz tertangkap basah saat memikirkan Uswa.
"Mas Mikail, saya itu ... bukan tanpa alasan promosikan kamu, dan menarik kamu ke kapal saya. Saya memilih kamu, karena kinerjamu yang luar biasa. Selama kerja denganmu, tidak sekalipun kamu putus asa karena sinyal hilang, bahkan saat badai pun, kamu tetap tegar," tutur Kapten Andi, menasihati dan menegur Hanz dengan cara yang baik.
"Maaf, Capt. Saya pastikan ini tidak akan terulang."
Hanz merasa malu pada Kapten Andi yang menjadi panutannya. Kapten Andi memang seorang atasan yang bijaksana. Ia layak dijadikan panutan untuk bawahannya. Menjaga diri, menjaga ibadah, bahkan sangat menjaga kesetiaan pada istri dan anak di rumah.
"Saya bukan melarangmu memiliki kekasih. Saya juga pernah ada di posisimu. Hanya saja, jika baru dua jam kamu sudah seperti ini, bagaimana jam-jam selanjutnya? Bagaimana hari-hari selanjutnya? Rasa putus asamu ini bisa menyebar, dan akan menghilangkan fokusmu selama di lautan," lanjut Kapten Andi.
"Maaf, Capt ..." lirih Hanz, menundukkan pandangan. Ia tidak berani menatap ketegasan atasannya.
"Saya masuk duluan. Kamu segeralah istirahat, jam 04.00 waktumu jaga." Kapten Andi menepuk bahu Hanz. Ia pun langsung melangkah, meninggalkan Hanz yang masih setia pada tempatnya.
Sepeninggalan Kapten Andi, Hanz kembali menengadah, menatap rembulan yang tersenyum indah. Tidak. Ia seakan menatap pancaran indah Uswa yang penuh luka. Hanz terus terbayang akan pesona sorot mata Uswa.
'Aku yang tidak ingin menjalin hubungan, kenapa aku yang uring-uringan seperti ini?' batin Hanz.
Hanz memejamkan mata. Ia semakin memutar bayangan Uswa dalam pikirannya. Senyumnya yang hangat. Lesung pipitnya yang dalam. Keceriaan, dan bahkan tangisannya. Semua jelas muncul dalam pikiran Hanz.
'Aku merindukanmu ...' lirih Hanz, batin dan pikirannya semakin berkecamuk.
Hanz menghela napas kasar. Ia kembali menatap layar ponsel yang menampilkan ruang chat dengan Uswa. Masih dengan pesan yang tertunda. Akhirnya Hanz keluar dari ruang chat. Ia membuka galeri, melihat foto Uswa di sana.
"Cantik sekali kamu, Wa ..." gumam Hanz.
Desir hati Hanz membuat suaranya bergetar, mengungkapkan kerinduan pada lautan luas. Dalam benaknya, Hanz berharap angin dapat menyampaikan rindu pada Uswa. Hanz benar-benar kalut akan cintanya, hingga ia tersadar, bahwa kekalutannya mampu membinasakan dirinya dan pujaan hati.
Perlahan, Hanz menurunkan tangan, mengalihkan pandangan menatap langit yang semakin kelam, namun gemintang semakin gemerlap indah. Tanpa permisi, air matanya berlinang, membasahi wajah yang selalu penuh wibawa.
"Astaghfirullah ... astaghfirullah ... jauhkan aku dari kegundahan hati yang mampu membinasakanku, Ya Allah. Jika dia memang untukku, maka jagalah kami dari hati yang semakin merindu. Jika aku memang untuknya, lindungi kami dari rasa yang bisa menjerumuskan kami. Kumohon pada-Mu, Ya Allah ..." lirih Hanz melangitkan doa dan harapan pada Illahi Rabbi.
Hanz menyeka air matanya. Ia menatap rembulan yang tersenyum indah. Sekali lagi, sorot indah penuh luka itu muncul di benaknya. Hanz menundukkan pandangan, berusaha mengusir jauh bayangan Uswa dalam pikirannya. Hanz pun melangkah pergi, meninggalkan anjungan, turun melalui tangga menuju lantai di mana kamarnya berada.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Kulangitkan rasa melalui doa pada-Nya, agar aku tak binasa karena rindu yang menjelma....
...~Titik Kedua~...
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
mama Al
kapten kek nya tahu Hanz lagi dekat sama seorang gadis
2024-09-02
0
mama Al
gelisah merindu
2024-09-02
0
mama Al
namanya juga jatuh cinta
2024-09-02
0