Puas dengan menatap hadiah kecil dari Hanz, Uswa kembali melihat isi totebag. Sesuai apa yang dikatakan Hanz, amplop berwarna biru muda, dengan hiasan lumba-lumba di sudut kanan bawah. Uswa segera membuka amplop dengan perlahan. Ia tidak ingin amplop itu robek.
"Manis sekali dia, Wa ...!" seru Dila, membuat mata Fajar ikut tertuju pada kertas yang dipegang Uswa. Ardian yang awalnya juga menatap amplop itu, ia langsung mengalihkan pandangan, menatap Uswa yang berbinar, yang fokus pada amplop biru itu.
"Buka, Wa. Aku mau baca juga!" heboh Dila, bersemangat ingin mengetahui isi surat dari Hanz.
Uswa tersenyum, merasakan kekepoan sahabatnya. Untung saja saat itu sedang ada Ardian. Kalau tidak, Fajar akan lebih heboh dari Dila. Terlebih lagi, Fajar dan Uswa lebih lama bershabat, baru mereka di bangku SLTA bertemu Dila.
Uswa segera membuka lipatan kertas berwarna cokelat itu. Dila yang melihat ada selembar foto di sana, ia langsung mengambil foto itu. Dila menatap, menelisik foto Hanz. Kemudian ia beralih menatap Uswa.
"Manis, wa!" seru Dila, membuat Fajar segera merebut foto yang di tangan Dila, dan langsung fokus pada foto Hanz.
"Manis dari mana? Biasa aja, sih," gerutu Fajar, yang cemburu saat Dila mengatakan Hanz manis.
"Kamu tu kalau cemburu bilang!" dengus Uswa, yang berdiri dan langsung merebut foto Hanz dari tangan Fajar.
Dila hanya tersenyum, terbiasa dengan sikap Uswa dan Fajar. Dila pun memberi isyarat pada Ardian, bahwa Uswa dan Fajar memang seperti Tom and Jerry. Uswa dan Dila kembali fokus pada tulisan Hanz, yang terangkai indah di kertas cokelat, kertas yang sangat estetik. Begitulah pikir Uswa.
Assalaamu'alaikum, Uswa.
Saat kamu membaca surat ini, Mas telah berada di tengah lautan, akan berlayar mengarungi samudera. Mungkin, Mas terlihat seperti pemberi harapan, atau mungkin kamu menganggap Mas buaya darat, akibat rasa yang Mas ungkapkan di pertemuan singkat. Namun, sudah beberapa hari mengenalmu, sudah selama itu pula Mas memantapkan pikiran, bahwa memang saat ini Mas jatuh hati padamu.
Akan tetapi, Mas benar-benar minta maaf. Mas tidak bisa memintamu untuk menunggu. Mas ingin ditunggu, tapi lebih baik janji menunggu darimu jangan pernah terucap. Jika itu terucap, baik kamu dan Mas akan sama-sama tersakiti.
Kamu akan terus memikirkan Mas, dan Mas berharap segera kembali ke Dumai, kamu tau itu karena apa? Itu karena rindu, Wa. Rindu yang belum seharusnya ... akan semakin menyakiti kita.
Uswa ....
Mas benar-benar berterima kasih padamu. Mas mau kamu jaga diri baik-baik. Bermainlah bersama temanmu. Jangan selalu sendiri ke dermaga atau ke hutan bakau. Jika Allah masih mentakdirkan kita bertemu, maka Mas akan kembali ke Dumai.
Mas harap kamu suka kado kecil itu. Mas mendapatkan itu susah payah, dengan membujuk Kapten untuk memberikannya pada Mas, karena sebenarnya itu hadiah Kapten untuk putri kecilnya. Dijaga baik-baik, ya.
Salam hangat dari hati yang akan merindukanmu.
Wassalaamu'alaikum ....
Cukup lama Uswa dan Dila membaca, menghayati rangkaian kata demi kata yang Hanz tulis. Tanpa aba-aba, air mata Uswa yang berusaha ia bendung, akhirnya lolos, menetes di wajah sendu itu. Dila yang juga tersentuh dengan surat dari Hanz, melingkarkan tangannya, merangkul Uswa. Ia mengusap lembut lengan sahabatnya.
'Bagaimana rindu tidak menyakiti, jika kepastian saja tidak kamu berikan, Mas?' batin Uswa, yang terus meneteskan air mata.
Fajar dan Ardian yang menyaksikan dua wanita di hadapan mereka, hanya bisa menghela napas. Dua pria itu tidak berani membuka suara, meski sesungguhnya Fajar sangat penasaran pada isi surat dari Hanz. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya, karena ia sadar, mereka tidak sedang bertiga.
Berbeda dengan Fajar, Ardian memilih diam karena itu bukan ranahnya, meski sesungguhnya ada rasa cemburu di hati Ardian. Pria itu mengalihkan pandangan, ia tidak ingin terlalu lama menatap mata Uswa, yang menyorot pancaran luka dan rindu. Ardian dapat merasakan, bahwa hati Uswa benar untuk pria yang ia lihat bersama Uswa di dermaga.
"Sudah, sudah." Dila mengusap lembut lengan Uswa. "Kita doakan yang terbaik untuknya. Semoga Allah selalu melindungi dia ..." lirih Dila, yang disetujui oleh Fajar.
Uswa mengusap air matanya. Hati dan pikirannya benar-benar tertuju pada Hanz. Gelisah, rindu, melebur menjadi satu, bertahta di relung hati Uswa. Dalam hatinya, ia melangitkan doa untuk dipertemukan kembali dengan Hanz, dalam keadaan yang lebih baik.
Uswa tersenyum menatap Dila. Ia pun langsung merapikan surat dan hadiah dari Hanz. Dengan cekatan, Uswa sudah memasukkan hadiah itu ke totebag dan meletakkan di sampingnya. Uswa menatap ponsel di hadapannya. Ia meraih benda pipih berwarna hitam. Uswa langsung mengirim pesan pada Hanz.
Saya suka hadiahnya, Mas. Saya juga sudah membaca suratnya. Kamu hati-hati, dan kembali ke Dumai.
Pesan singkat yang Uswa kirim melalui whatsapp, hanya bertanda ceklis satu, yang menandakan Hanz sedang tidak aktif. Uswa menghela napas, seolah mengeluarkan segala gundah dalam dada. Uswa meletakkan kembali ponselnya. Ia pun mengedarkan pandangan, menatap Fajar, Dila, dan Ardian secara bergantian.
"Kenapa jadi canggung?" celetuk Uswa, tanpa rasa bersalah.
"Pakek nanya lagi. Kau yang buat jadi canggung, ya!" sungut Fajar, kesal dengan ekspresi Uswa yang seakan tidak terjadi apa-apa.
Uswa tidak menggubris kalimat Fajar. Ia memilih diam, meraih gelas yang isinya sudah setengah. Dengan perlahan, Uswa menyeruput habis lemon teh yang sudah dingin.
"Mau pulang, Wa?" tanya Fajar, yang hanya dijawab anggukkan pelan oleh Uswa.
"Cepet banget, Wa," gerutu Dila, memasang wajah merajuk. "Padahal masih mau ngobrol," lanjut Dila.
"Bilang aja masih kangen sama Fajar, segala bilang mau ngobrol," ucap Uswa, membuat Dila merekahkan senyum rayuan. "Ini sudah jam 22.20. Mau jam berapa pulang? Kamu juga pulang!" lanjut Uswa, memperlihatkan layar ponselnya, yang menunjukkan pukul 22.20.
"Iya, Wa. Bentar lagi kuantar Dila, kok," ucap Fajar, yang tidak ingin mendengarkan ceramah Uswa lebih lanjut.
"Gitu, dong." Uswa pun berdiri, ia mengeluarkan uang lima puluh dua lembar, menyodorkan ke hadapan Fajar. "Jangan ditolak!" celetuk Uswa.
"Eh, Wa ... dah dibayar sama ni bocah." Fajar menunjuk Ardian dengan jempolnya.
Uswa menatap Ardian yang terus diam menatap jalanan. Ia pun tersenyum dan berkata, "Ya, sudah. Kasih ke Ardian aja."
Mendengar ucapan Uswa, Ardian langsung menatap Uswa yang tengah menatapnya. "Anggap aja ini salam perkenalan. Lagian, saya juga mentraktir Fajar dan Dila," ucap Ardian. Ia meraih uang di hadapan Fajar, dan menyodorkan ke hadapan Uswa.
"Eh, ja ...."
Ucapan Uswa terhenti, karena Dila menarik ujung zipperhoodie-nya. Uswa mengalihkan pandangan, menatap Dila yang menggeleng pelan, memberi isyarat untuk Uswa menerima niat baik Ardian. Uswa tidak bisa menolak, jika Dila sudah bersikap seperti itu. Ia pun kembali mengambil uangnya, memasukkan ke dalam saku.
"Next time saya yang traktir," ucap Uswa, tersenyum.
"Baiklah ...."
Ardian menjawab dengan cepat. Ia membalas senyuman Uswa. Pria itu tidak ingin kehilangan kesempatan bertemu kembali dengan Uswa. Ia ingin ada next time dengan Uswa. Hanya dengan Uswa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Jika kepastian kau berikan, rinduku akan tetap menantimu, meski ratusan purnama harus kulalui....
...~Titik Kedua~...
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Dewi Payang
Lah baru saja menyatakan cinta, langsung bikin Uswa mewek ini....
2024-08-29
1
Dewi Payang
😍😍😍😍😍
2024-08-29
1
Titik Kedua
Memang Hanz kamvret itu, Kak🥲
2024-08-26
1