Tak ada satu kata yang terucap di antara keduanya. Hanya isak tangis Uswa yang sesekali terdengar, namun sudah mereda dari sebelumnya. Sudah cukup lama Uswa menangis di dalam mobil, di temani Hanz yang sabar menunggu. Hanz membiarkan Uswa menenangkan pikiran.
"Sudah tenang?" tanya Hanz, terdengar hangat di telinga Uswa.
Uswa yang memang tenaganya terkuras karena air matanya, ia hanya mengangguk tanpa menatap Hanz. Uswa menatap gedung Citimall. Masih terbayang di kepalanya, bagaimana ayahnya mengayunkan tangan ingin menamparnya.
Pilu dalam tatapan Uswa terpancar jelas. Sorot matanya tajam, namun penuh luka. Saat itu, dalam angannya hanya ingin berada dalam pelukan kakaknya. Ia yakin, di balik kebijaksanaan Wildan, tersimpan luka yang dalam. Ia yakin, kakaknya itu merasakan luka yang sama dengannya.
"Akhirnya kamu tau, Mas, kenapa saya selalu bilang setiap pria sama ..." lirih Uswa, masih dengan pandangan menatap gedung Citimall.
"Dek ... kamu yakin kalau setiap pria itu sama?" tanya Hanz. Uswa yang mendengar pertanyaan Hanz langsung memalingkan pandangan, menatap tajam wajah pria yang mengisi relung hatinya.
"Ada satu pria yang bisa saya percaya, Mas." jawab Uswa, dengan ekspresi datar.
"Siapa dia?" selidik Hanz, ia penasaran dengan pria yang dimaksud Uswa.
"Mas saya, Wildan. Hanya dia satu-satunya pria yang selama ini saya percaya." Tatapan tajam Uswa berubah senduh. Manik indahnya kembali menyiratkan luka yang amat dalam.
"Kalau begitu, kamu jangan menyamakan setiap pria. Sedangkan kamu masih memiliki pria yang kamu percaya."
Hanz tersenyum hangat, mata sipitnya lekat menatap Uswa. "Kamu bisa percaya dengan, Mas. Tapi, Mas tidak bisa menjanjikan apapun. Mas tidak bisa selalu ada di sisimu. Namun, jika Mas di sini, Mas akan berusaha selalu ada untukmu." imbuh Hanz.
Uswa menatap pesona manik penuh kerinduan. Ia mencoba menyelam lebih dalam, berusaha mencari kedustaan. Namun, ia tidak menemukan setitik dusta di sana. Ia malah semakin merasakan kekuatan rasa yang seakan terikat.
"Bagaimana saya bisa percaya denganmu, Mas? Jika janji saya tak mampu terucap ..." lirih Uswa.
"Bukan begitu, Dek. Tapi, kalau Mas pergi, Mas berlayar, bagaimana Mas bisa berjanji selalu ada untukmu?" tanya Hanz, membuat Uswa mengalihkan pandangan, kembali menatap gedung Citimall.
"Berjanjilah untuk kembali!" tegas Uswa, terdengar penuh harap yang besar.
Mendengar kalimat Uswa, Hanz menyandarkan tubuhnya, siku kanannya ia topangkan pada pintu mobil, ia pun memijat keningnya, sedangkan tangan kirinya memegang setir. Hanz menghela napas gusar. Ia tidak memiliki jawaban apapun untuk dikatakan.
Sekitar tiga menit Hanz mempertahankan posisinya. Ia pun kembali menatap Uswa, yang tengah menatapnya lekat.
"Kita makan dulu, ya? Mas sudah lapar, kamu juga pasti lapar." ujar Hanz, mengalihkan pembicaraan.
"Gimana baiknya saja, Mas ..." ringis Uswa, kecewa akan Hanz yang tidak memberikan jawaban apapun.
Merasa Uswa kecewa dengan dirinya, Hanz hanya menghela napas. Ia kembali menatap Uswa yang menatap lurus ke depan.
"Jangan seperti ini, Dek. Setelah makan, kita akan bicarakan ini lagi. Mas benar-benar lapar sekarang, Dek," ungkap Hanz, yang memang benar adanya.
Uswa yang memang juga merasa lapar, akhirnya setuju dengan Hanz. Ia menunjukkan cafe yang enak, cafe favoritnya dan Dila, teman Uswa.
Tidak membuang waktu, Hanz pun langsung mengarahkan mobil keluar dari parkiran. Ia mengikuti arahan Uswa, sebagai petunjuk jalan. Dengan sabar dan penuh kehati-hatian, Hanz menyetir dengan khidmat, yang sesekali menjawab pertanyaan Uswa.
...****************...
Selesai makan dan menyelesaikan salat asar, Uswa dan Hanz berakhir di Dermaga. Hanz duduk di pinggiran trestel, sedangkan Uswa duduk di bolder. Uswa menatap lautan luas yang mulai pasang, karena saat itu waktu telah menunjukkan pukul 17.20.
"Mas di kapal sebagai apa?" tanya Uswa, ia penasaran dengan Hanz.
"Sopir, Dek." celetuk Hanz, langsung membuat Uswa berdecak kesal.
"Kalau nggak mau jawab ya sudah. Apaan, sih?" gerutu Uswa, membuang muka, menatap kembali lautan yang bergelombang, membuat Hanz tersenyum menatap Uswa yang cemberut.
"Jangan cemberut gitu. Posisi Mas Chief Officer, Dek." ungkap Hanz. Ia pun ikut menatap lautan luas. Lautan yang telah menjadi rumah baginya. "Maka dari itu, Mas tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Mas tidak bisa selalu ada di sisimu," timpal Hanz, sangat lirih.
Uswa beralih menatap Hanz. Ia pun bertanya, "Tidak bisakah berjanji untuk kembali?"
Hanz menatap Uswa yang duduk di bolder dengan tatapan yang sulit diartikan. Dalam keheningan yang ditemani desiran angin dan gemercik ombak, Hanz menjawab dengan getir senyum diwajahnya.
"Janji untuk kembali tidak akan cukup, Uswa. Karena kami akan berada jauh, mengarungi lautan ini. Bahkan pada keluarga, kami pun tidak pernah berjanji. Meski dalam hati kami penuh harap yang besar."
Getar suara Hanz membuat Uswa terenyuh. Pandangan keduanya saling bertemu. Tidak ada kata yang terdengar di telinga mereka. Uswa pun mengalihkan pandangan, lagi-lagi ia kecewa dengan jawaban Hanz.
"Berarti ... apa yang Mas katakan tadi, saat menahan tangan pria itu, hanya alasan untuk menolong saja?"
Lirih suara Uswa masuk menusuk relung hati Hanz. Namun, Hanz hanya mampu berseteru dalam batinnya. Ia tidak ingin mengatakan jika ia telah jatuh hati.
"Jika itu membuatmu bisa percaya dengan Mas, anggap saja itu yang sebenarnya," tutur Hanz, jelas membuat Uswa tersenyum getir.
"Iya, Mas. Memang tak seharusnya saya berharap lebih, ya? Hahaha ...." Tawa renyah Uswa tidak terdengar kebahagiaan. Tawanya terselip kekecewaan yang mendalam.
"Mas tidak bisa berjanji. Tapi, jika Mas di sini, Mas berusaha akan ada untukmu," ungkap Hanz.
Uswa tersenyum mendengar kalimat Hanz. Ia merasa bahwa dirinya sedang dikasihani. "Untuk apa selalu ada, Mas? Namun kenyataannya, tidak ada rasamu untuk saya ..." terang Uswa.
"Bukan begitu, Uswa." kilah Hanz.
"Lantas, apa?"
Sorot mata Uswa menatap tajam Hanz. Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa Hanz selalu berkilah dan tidak ingin jujur tentang perasaannya, sedangkan sikap dan perlakuannya, mengatakan ia jatuh hati pada Uswa.
"Tidak ada yang bisa Mas jawab, Uswa ..." lirih Hanz, ia menundukkan pandangan, tidak berani menatap lama pesona mata Uswa.
"Kalau begitu ... jika Mas berlayar, izinkan saya untuk menunggumu kembali." pungkas Uswa, menatap Hanz yang balas menatapnya.
Hanz menghela napas lelah. Ia pun menggeleng pelan. "Jangan tunggu Mas, Dek. Mas nggak tau kapan pulang, bahkan bisa jadi Mas pulang tinggal nama ..." rintih Hanz, ia pun memberanikan diri menggenggam tangan Uswa. Namun, Uswa dengan cepat menarik tangannya.
"Kalau memang begitu, bersikaplah layaknya Mas tidak ingin saya tunggu!" tegas Uswa.
"Dek ..." lirih Hanz, sembari menatap senduh Uswa.
"Apa lagi, Mas?" kesal Uswa.
"besok malam ... Mas berlayar."
Ungkapan Hanz membuat Uswa diam mematung. Ia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ada desir kecewa, namun penuh kekhawatiran dalam hatinya.
"Mas harap, besok sore kamu bisa menemui Mas di sini." imbuh Hanz, menatap Uswa penuh harap.
"Untuk apa, Mas?" ketus Uswa.
"Agar Mas bisa melihatmu sebelum berlayar."
"Untuk apa jika dirimu tak bisa berjanji untuk kembali? Tidak perlu itu, tapi untuk apa jika dirimu tak mau ditunggu?" sanggah Uswa.
Di antara keduanya, keheningan kembali menyapa. Semburat merah telah menghiasi ufuk barat. Diam seribu kata, hanya tatapan mata yang saling berkata.
"Maaf ..." lirih Hanz, menahan getir yang menyelinap dalam dada.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Mudah saja bagiku berjanji padamu. Namun, jika itu tidak ditepati, maka hanya luka yang akan kuberikan....
...~Titik Kedua~...
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
sakit memang uswa, aku sudah mengalami yg lebih parah dari itu. Aku malah nyaris gelap mata uswa. Untung Allah masih menolong ku /Sob/
2024-11-15
1
💫0m@~ga0eL🔱
dua iklan + dua mawar 🌹🌹 utk uswa 🤗
2024-11-15
0
💫0m@~ga0eL🔱
Dan, ku pikir, semua pria memang sama.😥
2024-11-15
1