Scalton Medical Center, 2 Januari 2019
Nuansa putih dengan dekorasi yang minimalis merupakan deskripsi yang tepat untuk ruang kerja seorang dokter. Hawa dingin yang tak biasa bersamaan ribuan pertanyaan yang selalu sama terucap, Oliver sangatlah benci melakukan itu semua. Tepatnya, hari ini Pria itu tengah melakukan control checkup seperti biasanya dan menerima obat peringan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya.
Huft.. 2 tahun bahkan telah berlalu, tapi aku tidak tahu kenapa rasa sakit ini tak juga kunjung menghilang, gumamnya malas.
“Apakah anda bisa fokus, Tuan Scalton?” tanya pria paruh baya itu kepadanya. Ia mendapati Oliver yang sibuk melamun dengan pikirannya yang kosong di depannya.
Tampaknya ia selalu merasa jenuh setiap kali melakukan konsultasi yang sama di setiap bulan. Ia merasa malas karena pengobatan ini tidak pernah memberikan efek kemajuan apapun, rasa sakitnya bahkan tak pernah menghilang maupun dengan ingatannya yang tak pernah kembali.
“Dok. Bisakah anda hanya mengirimkan obatnya ke rumah saja? Saya benar-benar benci dengan tempat ini. Apa anda mengerti, rumah sakit adalah tempat yang mengerikan untuk saya,” keluh pemuda itu kepadanya. Sang Dokter hanya bisa menghela nafasnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
“Saya tidak bisa hidup dengan memakan gaji buta, Tuan Scalton. Nyonya Scalton telah membayar gaji saya tuntas dari tahun ke tahun. Saya harap anda mau bekerja sama untuk penyembuhan anda sendiri-” tutur Dokter Riegar dengan serius. Tapi pemuda pembangkang itu hanya bisa mengoceh dan mengkritiknya dengan datar.
“Anda adalah dokter pribadi keluarga saya, seharusnya anda yang datang ke rumah saya. Saya juga tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna seperti ini,” ucapnya sebal hingga membangkitkan diri dari kursinya.
Naasnya, sang Dokter tampak berhasil mematahkan langkahnya bersamaan mulut pedasnya yang kini terbungkam dengan rapat. Itu terjadi karena pria paruh baya itu mengucapkan sesuatu yang sangat kramat untuknya.
“Apakah anda sudah tua? Anda tak memiliki rasa malu hingga menyuruh kakek tua seperti saya mendatangi rumah anda? Baiklah, saya akan konfirmasi ulang keinginan anda kepada Nyonya Scalton jika dengan itu anda mau rutin melakukan pengobatan dengan benar, saya merasa tidak masalah.”
Jdarrr!
Oliver gemetar setengah mati, hatinya merutuk kesal. Sebenarnya dia ini dokter bukan sih? Pikirnya kesal. Tapi mau bagaimanapun dia adalah antek-antek dari keluarga ibunya.
Apapun itu tidak masalah bagi Oliver, asal jangan membawa nama ibunya yang mengerikan. Karena itu berbahaya, bisa-bisa ia hidup dengan penuh penyiksaan seperti sebelumnya.
Sebenarnya ia membenci rumah sakit bukan tanpa alsan, karena suatu hari. Yang pertama kali ia lihat setelah terbangun dari komanya adalah langit-langit berwarna putih yang begitu asing untuknya. Kepalanya tampak nyeri dan berdengung dengan kencang, sekujur tubuhnya yang terasa sakit bahkan terkadang membuat dirinya berpikir bahwa mati lebih baik dari pada hidup dengan perasaan tersiksa tanpa mengetahui siapa jati dirinya sendiri.
Oliver Blaise Scalton, adalah seorang pria yang hidup tanpa mengingat kenangan maupun ingatan yang berharga untuknya. Saat pertama kalinya ia membuka mata dengan nuansa atap-atap rumah sakit yang polos, ia bahkan tak tahu siapa mereka yang menangis karena mengasihani kondisinya yang begitu mengenaskan.
Mereka yang menangis dan mengaku sebagai orangtuanya, nyatanya begitu kejam hingga menyuruhnya kembali bersekolah setelah dirinya menjalani perawatan intensif selama satu minggu penuh. Ia yang tak sanggup beradaptasi dengan lingkungan yang asing tentunya merasa tersiksa fisik maupun batin.
Walaupun begitu bersamaan tekanan orangtuanya yang terlalu ambisius. Oliver meraih ujian dan lulus menjadi siswa terbaik di Arcadia. Apa yang di katakan orangtuanya setelah pria itu lulus sekolah dengan membanggakan hanyalah kalimat sampah yang hambar dan juga menjijikan.
Mereka bilang, “Ternyata kepintaranmu tidak menipis. Mama sempat khawatir karena kepala mu bermasalah sejak kecelakaan.”
Oliver sempat berpikir akan satu hal, apakah dia tidak mengkhawatirkan kondisi putranya yang terluka karena kecelakaan? Tidak, tampaknya orangtua Oliver hanya khawatir bahwa putra sulungnya yang sakit-sakitan akan menjadi aib bagi keluarga dan nama baik perusahaan karena tidak dapat mencapai apa yang menjadi harapan besar mereka.
Tentunya, walaupun kita hilang ingatan. Konon katanya kepintaran dan kemampuan mereka tidak akan pernah menghilang dari sang penderitanya, begitu pula kebiasaan sikap dan kepribadiannya, itu masih saja sama.
Tapi sekalipun ingatan menghilang, tentunya itu dapat merubah kepribadian seseorang di seiring berjalannya waktu, bukan?
“Aku...”
“Aku hanya benci karena tak bisa mengenali diriku sendiri.”
Usai kelulusan Oliver langsung di daftarkan pada Universitas ternama dan menimba ilmu disana, sungguh tak di rasa ia telah menjalani kuliah semester 3 dengan giat.
Oliver terlalu bekerja keras dan sering kali merasa lelah berlebihan, tak jarang bila pria itu berteriak keras untuk menahan gejolak nyeri dikepalanya, ia juga seringkali pingsan karena tak kuasa menahan rasa sakitnya.
“Aku memang menerima kemewahan yang luar biasa setelah hidup sebagai seseorang yang kehilangan ingatannya. Mereka yang bersimpati kepadaku seolah menganggap diriku menyedihkan. Tiap kali memperhatikan sikap mereka yang memperlakukan aku sebagai putranya membuatku berfikir akan satu hal, apakah mereka benar-benar orangtua ku?” Pria itu hanya bisa tertawa renyah ketika memikirkan semua ungkapan itu dibenaknya.
Melihat kondisinya yang buruk, tak jarang bila dokter Riegar memberikan saran yang sama untuk berhenti dari kegiatan-kegiatannya sejenak, ia menyarankan untuk beristirahat dan mengambil cuti kuliah agar Pria itu dapat melewati pemulihan dan melalui hari-harinya dengan melakukan berbagai hal yang baru.
Dokter Riegar bilang, obat-obatan ini akan lebih efektif bila diminum bersamaan istirahatnya yang cukup. Melakukan banyak hal baru atau melakukan beberapa kegiatan lain juga dapat membangkitkan ingatan lama yang ia cari. Sayangnya Oliver cukup keras kepala ketika diberi saran.
Padahal, terkadang hiburan dan liburan juga dibutuhkan untuk kesembuhan seseorang. Berbeda dengannya, ia hanya menjalani kesehariannya dengan belajar dan belajar karena desakan orang yang mereka sebut sebagai orangtua.
Aku juga tidak tahu kenapa kondisiku bisa sampai seperti ini, hampir dua tahun yang lalu aku terlibat suatu peristiwa kecelakaan.
Tapi demi keamanan mentalku, mereka sepakat untuk tidak pernah mengungkit kejadian itu lagi. Nyonya Scalton berkata, sebaiknya saat ini Oliver mengukir berbagai kenangan yang lebih baik dari pada membawa ingatan buruk dimasa lalu yang akan mempengaruhi kualitas Oliver.
Pria itu berfikir, ini benar-benar menjijikan.
Oliver Blaise Scalton tampak muak dengan makna hidupnya. Maka, dari pada hidup di bawah tekanan itu selamanya. Ia memilih berjuang memaksakan dirinya hingga mencapai batas terburuknya, dengan berharap kondisinya semakin parah dan mati sebagai anak yang di tuntut keras oleh orangtua nya.
Mungkin ini adalah balas dendam terbaik untuk mereka. Jadi ia sekalipun tak pernah memikirkan kata istirahat seperti yang selalu dokter itu sarankan untuknya.
Tapi sayangnya itu tidak akan terjadi, dokter sialan itu. Kenapa saat sampai ke apartemen pribadinya, dia yang kusebut 'Ibu' sedang duduk manis dan menungguku dengan senyuman menjijikannya di meja makan?
“Oliv, kenapa raut wajahmu begitu buruk? Kamu tidak senang dengan kedatangan mama? Ah papa hari ini sayang sekali tidak bisa mampir karena urusan bisnis,” ucap wanita itu bernada ramah. Ia adalah Nyonya Francessya Blaise Scalton. Istri dari Marquess Lancaster Blaise Scalton sekaligus ibu kandung Oliver.
Kenapa mengatakan itu kepadaku? Apa aku terlihat peduli dengan kehadiran kalian berdua? Oliver bergumam lelah di hatinya.
Tak ada yang bisa menebak kehadirannya yang muncul tiba-tiba. Melihat tumpukkan makanan yang terhidang dengan rapih di atas meja, pemuda itu sudah bisa menebaknya bahwa sang ibu yang tidak pernah menyentuh alat dapur itu tak mungkin dengan sukarela memasak makanan yang hangat untuknya.
Seperti biasa, wanita itu pasti melakukan drive makanan lagi. Entah kenapa ini membuatnya mual.
Biar kutebak alasan wanita itu muncul tiba-tiba di hari setelah menemui dokter itu. Ini pasti karena... Baru saja ia memikirkan hal yang terlintas dibenaknya, tapi sesuai dugaannya. Wanita itu bersuara persis dengan apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Sayup-sayup dengan wajahnya yang khawatir, Francessya berbicara. “Kudengar kamu terlalu memaksakan diri akhir-akhir ini. Mama tahu kamu sangat ambisius Oliver, tapi untuk kali ini tidak masalah.”
“Istirahatlah, ambil cuti kuliah selama satu tahun oke? Mama hanya takut pewaris satu-satunya dikeluarga kita kenapa-kenapa. Mama juga tidak keberatan walaupun Oliver lulus lebih terlambat satu tahun,” ucapnya sembari mengusap pundak sang pemuda dengan hangat.
Ia juga mendorong Putranya untuk segera duduk di kursinya dan menikmati hidangan yang telah ia sajikan bersama-sama. Tapi Pria itu masih saja tak berkutik. Alih-alih menjawab permintaannya, respon dinginnya terasa menyebalkan bagi Francessya. Mau lupa ingatan atau tidak, sifat mengabaikannya masih saja sama seperti dulu.
“Jika Oliver benci beristirahat di perkotaan yang bising seperti ini, Oliver boleh pulang kerumah kita. Atau jika ingin menyendiri, Oliver bisa pergi ke Villa keluarga saja. Bagaimana?” pintanya dengan nada memaksa.
Lihatlah, senyuman wanita itu bahkan benar-benar lembut selembut kapas. Tapi di saat yang bersamaan, ibuku hanyalah seorang iblis berwajah malaikat.
Oliver tidak tahu dengan apa yang akan terjadi setelahnya jika ia menolak permintaan lembutnya. Mungkinkah seisi apartemen ini akan berubah menjadi kapal pecah?
Terakhir kali yang ia lakukan setelah melarikan diri karena tak ingin mengunjungi pesta perusahaan sebagai pasangan Ana, adalah berakhir di ruang hukuman dengan luka cambukan yang mengenaskan di punggungnya.
Apakah itu merupakan hal yang wajar terjadi dalam pendidikan sebuah keluarga yang sempurna?
Aku tidak tahu sistem pendidikan yang dilakukan di keluarga ini seperti apa, tapi jika diharuskan memilih antara berlibur di rumah utama keluarga Scalton yang penuh dengan orang asing, maupun apartemen bising di tengah kota.
“…”
“Baiklah, aku akan beristirahat di vila. Dengan satu syarat, jangan ada siapapun yang menggangguku disana,” jawabnya bersamaan senyuman formalitas di wajahnya.
Setidaknya keputusan ini lebih baik. Tentunya dengan hati yang terbuka, sang Ibu menerima keinginannya dengan lapang dada. Ini merupakan drama yang menjengkelkan, alasan dia menginginkan kematian yang cepat karena hidup di antara kekangan mereka tak pernah sekalipun membuatnya merasa benar-benar hidup.
Itulah alasan ku menolak saran dokter itu berulang kali, tapi keparat. Apa dia tak mengerti maksudku? Kenapa dia malah memberitahu ibuku?! Batinnya berteriak dengan keras.
Baginya, Oliver bukanlah Putra yang mereka khawatirkan dengan perasaan cinta. Melainkan hanya sebuah aset berharga yang mereka takuti akan rusak di seiring berjalannya waktu.
Mengartikan apa yang ia lihat dari sudut pandangnya sendiri, dulu Oliver memiliki seorang kakak laki-laki. Tapi, karena merasa tak kuat akan tuntutan orangtuanya yang terlalu keras, dia memilih mati bunuh diri.
Semenjak kepergian kakaknya, kedua orangtuaku menjadi terobsesi kepadaku.
Satu hal yang sebenarnya tidak pernah salah diingatan Oliver, adalah betapa tidak harmonisnya keluarga Scalton. Mungkin, itu adalah satu-satunya fakta yang Oliver ketahui tentang dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
WISNUですよ!
baruu beres 1 cp seruu nihh ceritanya
2024-11-07
2
WISNUですよ!
kadang iya juga sih kalau lupa ingatan akibat kecelakaan semisal dan bangun tiba tiba dengan ingatan yang banyak hilang itu rasanya aneh
2024-11-07
1
Zoelanda
Ohh. Ceritanya, Time skip ke mc yang lupa ingatan.
2024-11-07
1