"Tapi bagaimana kalau dia sudah menikah sekarang, Sel? Bagaimana kalau setelah kamu tinggalkan, dia malah dinikahi orang lain?"
Deg. Hati Marsel mendadak terguncang. Wajahnya gelisah, tapi hanya untuk sesaat saja. Karena detik berikutnya, wajah itu dia ubah dengan cepat.
"Jika dia sudah menikah, maka aku akan pastikan dia bahagia atau tidak. Jika dia tidak bahagia dengan pernikahannya, aku akan merebut dia dari suami bajingan nya yang sudah tega menyakiti hati pujaan hatiku yang cantik itu."
Mantap bibir Marsel berucap. Ucapan yang langsung membuat hati Saga jadi semakin tak tenang. Ada rasa kesal, marah, juga takut bercampur jadi satu. Namun, sebisa mungkin Saga menahan rasa itu agar adik sepupunya tidak menyadari perasaan tersebut.
"Jangan gila, Marsel."
"Keluar sekarang! Aku sedang banyak kerjaan."
"Kak."
"Aku bilang keluar! Jangan ganggu aku."
"Tunggu! Kenapa kamu masih kesal? Apa jangan-jangan .... "
Saga langsung mengangkat wajahnya. Hatinya semakin gugup saat ini. Dia tidak ingin Marsel tahu kalau Lusi memang sudah menikah, setidaknya dalam waktu dekat. Karena dia tidak ingin, adik sepupunya yang gila itu melakukan apa yang baru saja dia katakan.
"Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan kamu tidak ingin aku bertemu dengan pujaan hatiku, kak. Kamu masih sama seperti dulu, selalu saja tidak menyukai dia. Padahal, dia adalah gadis yang baik."
Sontak, perasaan Saga langsung lega karena ucapan Marsel barusan. Sebab, apa yang sebelumnya Saga pikirkan tidak sama dengan apa yang ada dalam pikiran Marsel. Hal itu membuat Saga merasa lega.
"Sudah, Sel! Jangan banyak bicara. Aku benar-benar sedang sibuk."
Belum sempat Marsel menjawab, ketukan dipintu langsung membuat Saga semakin merasa lega. Karena ketukan itu adalah ketukan penyelamat dirinya dari Marsel yang sedang mendesak ingin tahu di mana Lusi saat ini tinggal.
"Masuk!" Lantang suara Saga memenuhi ruangan.
"Kamu lihat, aku sedang sibuk. Kamu pergi sekarang! Jangan ganggu aku," kata Saga pada Marsel.
Tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaan tidak mengizinkan, akhirnya Marsel menyerah. Dengan wajah agak kecewa, dia tinggalkan ruangan Saga.
Napas lega Saga lepaskan sesaat setelah Marsel meninggalkan ruangannya. Karya yang melihat hal tersebut langsung menatap temannya penuh dengan tanda tanya.
"Ada apa? Apa lagi masalah yang dia timbulkan untukmu?"
"Karya."
"Tidak ada. Anak nakal itu ingin tahu di mana pujaan hatinya tinggal."
Wajah Karya semakin bingung karena rasa penasaran yang ada dalam hatinya.
"Pujaan hati? Siapa?"
"Ah, bukan hal penting. Tau sendiri anak itu seperti apa, kan? Jika tidak, om pasti tidak akan mengirimnya keluar negeri saat dia masih belum selesai sekolah."
"Benar juga."
"Aish, punya sepupu itu kadang ribet ya, Ga. Banyak masalahnya."
"Hm."
"Oh iya, Ga. Hana pulang hari ini, bukan? Apa kamu akan jemput dia di bandara?"
"Gak ah. Ngapain aku jemput dia. Emangnya dia gak punya saudara apa?"
"Lho, kalian berdua sangat dekat. Aku pikir .... "
"Apa yang kamu pikir?"
"Anu, kamu suka dia. Aku pikirnya kalian punya hubungan pribadi," kata Karya takut-takut.
Wajah tidak suka Saga langsung terlihat.
"Apa! Pikiran mu kok bisa rusak tiba-tiba, Karya? Aku dan Hana hanya sebatas teman dari sekolah saja. Dan sekarang, kami hanya hanya sebatas rekan. Tak lebih."
"Jangan mikir yang tidak-tidak, Karya. Aku merasa tidak nyaman dengan pikiran itu."
Belum pula sempat Karya menjawab, pintu ruangan Saga sudah terdengar diketuk oleh seseorang lagi. Sontak, perhatian keduanya langsung teralihkan gara-gara ketukan tersebut.
"Ya. Silahkan masuk!"
Pintu terbuka, Resti muncul dengan senyum manis di bibirnya.
"Permisi, kak dokter. Apa saya menganggu waktunya?"
"Resti."
"Nggak, kok. Masuk aja. Kami juga sedang ngobrol ringan." Saga berucap dengan wajah manis seperti biasa.
"Maaf, kak dokter. Ini, Resti cuma mau anterin masakan dari bunda aja. Bunda bilang, ini sebagai tanda terima kasih."
"Bunda di mana, Res? Gak ikut ke sini?"
"Gak kok, kak. Bunda lagi di rumah. Sibuk berberes. Mau pulang ke kampung besok."
"Pulang kampung? Kok mendadak?"
"Khawatir sama sawah di kampung, kak dokter. Jadinya, harus pulang duluan deh sebelum urusan Resti selesai."
"Jadi ceritanya, kamu gak ikutan pulang sama ayah bunda, Res?"
Resti menggeleng pelan.
"Nggak, kak."
Saga yang terdiam membuat Resti memilih untuk pamit sekarang. Gegas Saga meminta sopir untuk mengantarkan Resti kembali. Gadis itu awalnya menolak, tapi Saga tetap memaksa. Akhirnya, Resti pergi meninggalkan ruangan tersebut dengan sopir yang mengekor di belakangnya.
"Ga."
"Hm."
"Kalau dia bagaimana?"
Sontak, Saga langsung menoleh.
"Apa maksudnya?"
"Ya, dia adalah adik wanita yang kamu cintai, bukan? Wajahnya juga agak mirip dengan kakak nya. Kamu-- "
"Jangan berpikiran sempit, Karya. Sudah aku katakan kalau-- "
Panggilan masuk memotong perkataan Saga. Seketika, Saga langsung mengalihkan pikirannya dari apa yang ingin dia bicarakan pada Karya.
Tertera nama sopir pribadi Saga di layar ponsel. Sontak, tangan Saga langsung menjawab panggilan itu dengan cepat.
"Iya, pak. Ada apa?"
"Den Saga. Neng Resti mendadak tidak enak badan. Dia bilang, dia pusing. Haruskah saya bawa masuk kembali?"
"Ha? Ya sudah pasti, Pak. Bawa Resti kembali ke dalam. Saya akan urus dia."
"Tapi, den. Neng nya gak mau. Dia bilang, dia mau pulang saja."
"Aku gak papa kok. Jangan cemas." Terdengar suara Resti dari jauh.
"Den."
"Aku akan turun ke bawah buat lihat kondisi Resti langsung, Pak. Tunggu di mobil sebentar."
"Baik, Den."
Saga pun langsung memutuskan untuk melihat kondisi Resti. Dia peduli pada Resti hanya karena rasa tanggung jawab. Sayangnya, sebagian orang malah salah menafsirkan kebaikan Saga tersebut.
Saga tiba ke mobil, dengan penuh perhatian, dia papah Resti untuk keluar dari mobil. Di saat yang bersamaan, Lusi datang ke rumah sakit menani Dinda yang sedang tidak enak badan untuk berobat.
Mata Dinda langsung menangkap sosok Saga yang ada di depan mereka. Ingin dia mencoba untuk membuat temannya tidak melihat. Sayang, niat itu tidak bisa dia kabulkan karena Lusi yang ada di sampingnya tentu saja sudah melihat apa yang saat ini sedang matanya lihat.
"Si."
"Aku gak papa. Orang kamu juga tahu kalau aku sudah tidak punya harapan lagi untuk mengejarnya, bukan?"
"Huh ... syukurlah." Lega hati Dinda terlihat dengan sangat jelas.
Lusi pun hanya memperlihatkan senyum kecil di bibir. Keputusan yang dia ambil memang sudah dia bulatkan. Namun, untuk benar-benar membuang rasa tentulah butuh waktu yang cukup lama. Semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bisa langsung dengan mudah dia lakukan. Semua butuh proses.
Jujur, meskipun sedikit, Lusi masih merasa tidak enak hati ketika melihat Saga memapah wanita lain. Sebab, dirinya sangat sulit untuk berdampingan dengan Saga. Apalagi untuk diperhatikan sedemikian rupa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Dewi S Ayunda
ribed banget si saga
2024-07-30
1
Yuli a
saga bakal ngeliat lusi enggak ya...
trus kalau ngeluat lusi disitu, gmna reaksi saga y...
penasaran bngt ... ninggalin resti buat nanyain lusi atau enggak....
2024-07-29
1
sella surya amanda
lanjut kak
2024-07-29
1