*Part 7

Kesal Saga sebenarnya. Hanya saja, dia tidak mungkin memperlihatkan pada kedua orang tua Lusi akan seperti apa perlakuannya pada Lusi kini. Sebaliknya, orang tua Lusi malah memikirkan hal lain. Mereka malah ingin memberikan waktu berdua saja untuk anak dengan menantunya itu supaya bisa menjalin hubungan yang lebih baik lagi.

"Ah! Karena nak Saga sudah ada di sini. Kami keluar sebentar yah. Titip Lusi, Saga." Mama Lusi berucap cepat sambil tersenyum.

"Iya. Jaga Lusi dengan baik ya, Ga."

"Ah! Tapi-- "

"Gak papa, kan? Kami gak akan lama kok," kata mama Lusi kini malah sambil beranjak.

"Nah, ingat ya. Jangan di tinggalkan Lusi nya sebelum kami datang lagi. Bisakan, Saga?" Mama Lusi berucap lagi.

Saga menatap lekat wajah orang tua tersebut. Tidak bisa menolak, hanya bisa menerima dengan pasrah.

"Iy-- iya baiklah." Saga berucap pelan.

Wajah putus asa plus pasrah yang Saga perlihatkan membuat hati Lusi terasa geli. Dia pun tersenyum bahkan tertawa kecil tidak bisa dia tahan. Sontak, Saga langsung mengalihkan pandangan dari pintu kamar yang kini sudah terlihat kosong.

"Ngapain kamu tertawa? Senang banget kamu kek nya karena sudah bisa memanfaatkan kedua orang tuamu buat menahan aku di sini."

"Heran. Orang tua sendiri kamu manfaatkan hanya untuk mencapai tujuanmu agar bisa bersama denganku. Sungguh picik."

"Ternyata, aku salah tentang kamu, Lusiana."

Wajah serius kini Lusi pasang.

"Kapan kamu benar tentang aku, Ga?"

"Apa maksud kamu?"

"Maksudku sudah sangat jelas, bukan? Kapan kamu pernah merasa diriku ini benar, Sagara Sanjaya, hm? Karena yang ada dalam pikiranmu itu selalu keburukan tentang aku saja. Gak ada tuh kebaikan sama sekali."

"Lusiana. Jangan uji kesabaranku. Karena kesabaranku itu ada batasnya."

"Oo ... benarkah? Perasaan aku sudah menguji kesabaranmu sejak lama deh, mas Dokter."

"Lusiana!"

"Astaga. Bikin kaget aja, Ga. Bisa gak sih jangan berteriak. Aku ini pasien tahu tidak?"

Berdebat dengan Lusi Saga yakin tidak akan pernah menang. Karena wanita ini seakan tidak pernah kenal dengan kata menyerah. Bahkan, mungkin wanita ini di pikiran Saga tidak punya rasa marah atau emosi apapun. Karena setiap kali melakukan perdebatan, Lusi tidak pernah menunjukkan wajah kesal atau marah, apalagi sedih. Datar aja seolah tidak punya tiga rasa itu.

Saga pun hanya bisa menyalurkan rasa kesal lewat genggaman tangan. Sungguh, hatinya sangat kesal sekarang. Tapi tidak bisa terus-terusan mengajak Lusi berdebat. Karena mungkin, jika terus berdebat yang semakin naik emosi adalah dia. Bukan Lusi.

"Lupakan saja. Aku masih belum mengambil perhitungan dengan kamu yang sudah memakan kue istimewa ku yang dibuat oleh bi Rina."

"Kenapa kamu makan kue istimewa milikku, Lusi?"

Lusi pun langsung membenarkan posisi bersandarnya. Dia tatap lekat wajah Saga yanh saat ini sedang sibuk menatapnya dengan tatapan nyalang.

"Itu kue kamu?"

"Tentu saja. Milik siapa lagi kalau bukan punya ku? Kamu lupa kalau itu rumahku, Lusiana?"

"Hei! Aku tidak lupa mas dokter kalau itu adalah rumah kamu. Ya kali aku tahu itu kue kamu. Soalnya, kamu udah gak pulang beberapa hari setelah kamu pergi di hari kamu bawa aku pulang, bukan?"

"Jadi, bukan salah aku juga dong kalo kue kamu aku makan."

"Lagian, aku cuma makan dikit doang kok," kata Lusi lagi sambil mengalihkan pandangan dari Saga.

Saga yang masih terus melihat Lusi dengan tatapan nyalang kini berubah bersahabat. Hati memang sulit untuk di kawal. Meski pikiran terkadang berontak. Tapi hati malah berpikir sebaliknya.

"Sedikit, tapi bikin kamu masuk rumah sakit. Kebanyakan gak mikir sih kalo berbuat sesuatu. Hasilnya, diri sendiri yang dirugikan."

Sontak, Lusi langsung memberikan tatapan tajam pada Saga. "Ngomong apa kamu barusan?"

"Ah! Tunggu! Kamu sedang mencemaskan aku, Ga?"

"Apaan sih kamu, perempuan? Kegeeran jadi manusia. Aku hanya kesal karena kamu makan kue istimewa yang aku minta bi Rina buatkan. Tidak ada sedikitpun aku mencemaskan dirimu."

"Kamu yakin, Ga?" Lusi malah semakin gencar menggoda Saga.

Wajah Saga yang biasanya datar kini sedikit bersemu. Seolah, Saga memang sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya saja, sekuat tenaga dia berusaha melawan apa yang sedang hatinya rasakan sekarang.

"Gila ya? Kamu tahu kue itu adalah kue kesukaan Lestari, Lusiana? Dan kemarin, adalah hari ulang tahunnya. Aku minta dibuatkan kue coklat bercampur kacang karena Tari sangat suka makan kue itu. Setiap tahun, dia akan makan kue yang sama di hari ulang tahunnya."

"Tapi, semuanya jadi kacau karena ulahmu. Kau malah memakan apa yang bukan milikmu tanpa permisi. Yang pada akhirnya langsung menimbulkan kekacauan dan merugikan banyak orang."

Sakit sebenarnya hati Lusi sekarang. Tapi dia masih bisa bertahan. Tidak pula ia tunjukkan seperti apa perasaan hatinya saat ini. Dia pun hanya menundukkan wajah sesaat tanda sedikit bersalah.

"Mana aku tahu kalau itu adalah kue istimewa bagi kamu. Lagian, aku makan sedikit karena aku lapar."

"Dan lagi, kue nya juga tidak di simpan di tempat aman. Ada di kulkas. Ya langsung saja aku makan."

"Ah, tapi tenang saja, Ga. Aku akan ganti kue kamu itu nanti setelah aku keluar dari rumah sakit. Kamu tenang saja ya."

"Tidak perlu! Hari ulang tahunnya juga sudah lewat. Jadi, tidak ada guna nya lagi kue coklat itu."

Selesai berucap, Saga langsung beranjak dari tempat di mana ia berada sebelumnya. Lusi yang melihat hal itu segera mengesampingkan perasaan sakitnya dengan cepat.

Dia tahan tangan Saga dengan satu tangan.

"Mau ke mana?"

"Keluar."

"Lho, gak jagain aku?"

"Gak. Kamu bukan anak kecil yang harus aku jaga."

"Hei, tapi .... "

"Jangan halangi aku, Lusi. Ada banyak tugas di rumah sakit ini yang perlu aku selesaikan. Waktuku berharga. Tidak bisa aku buang sia-sia begitu saja."

Kata-kata itu langsung membuat tangan Lusi melepaskan genggaman pada tangan Saga. Rasanya, hati itu sudah terdapat banyak luka yang sudah Lusi coba obati. Tapi sepertinya, tidak kunjung berkurang rasa sakit dari setiap luka tersebut. Yang ada, luka itu malah terus berdarah setiap saat.

Takdir mencintai tak berbalas memang terlalu sakit rasanya. Tapi Lusi masih berusaha untuk tetap memegang satu kepercayaan. Kalau nanti, dia pasti bisa menaklukkan hati Saga setelah berjuang dengan sangat keras.

Saga pergi tanpa rasa bersalah setelah tangannya Lusi lepaskan. Sementara Lusi terus menatap punggung kekar yang beranjak semakin menjauh meninggalkan dirinya.

"Aku kalah. Masih saja kalah dari perempuan yang sudah lama pergi. Ya Tuhan .... "

"Aku salut pada kegigihanmu ketika mencintai seseorang, Ga. Kau terus saja menyimpan rasa cinta itu walau sudah lama di tinggalkan olehnya. Sungguh luar biasa," kata Lusi lagi bergumam pelan.

Terpopuler

Comments

Ari Randz

Ari Randz

nyesek thorrrr.... /Sob//Sob//Sob/
.bawangnya banyak banget....
.

2024-11-12

0

Zainab Ddi

Zainab Ddi

😭😭😭sedih banget jd lusi

2024-07-25

1

Yuli a

Yuli a

mencintai sendiri itu emang menyakitkan... apa lagi berjuang sendiri dalam rumah tannga itu sangat berat.
yg sabar lusi... itu kn mau kamu. keinginan kamu.
dr awal kamu tahu kalau mas dokter gk suka sama kamu.
hati dan pikirannya masih diisi sang mantan. dia gk mau berusaha untuk move on...
mundur sja lh lusi... entar mas dokter jg yg nyesel. pasti itu mah... he hee

2024-07-24

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!