*Part 6

Napas Lusi tiba-tiba sesak. Sangat sulit untuk dia naik turunkan. Suaranya hilang secara tiba-tiba. Tubuhnya bahkan terasa agak kaku sampai sulit untuk dia gerakkan.

Lusi benar-benar sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dia berusaha untuk mendapatkan bantuan, tapi sayangnya, bi Rina entah sedang ada di mana.

Di saat yang paling genting itulah langkah kaki terdengar mendekat. Namun saat itu, Lusi sudah hampir kehilangan kesadarannya akibat kue yang baru saja dia makan.

"Lusiana!"

Suara itu masih terdengar. Tapi orangnya tidak lagi bisa Lusi lihat. Ketika tubuhnya yang sedang duduk di atas kursi meja makan itu ingin terjatuh, tangan kekar seseorang langsung menahannya. Hanya itu yang Lusi ingat. Selanjutnya, dunia Lusi benar-benar hitam, gelap tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya sendiri.

Entah seberapa lama Lusi tertidur. Saat dia membuka mata, suasana khas rumah sakit langsung terlihat. Bahkan, ketika dia menoleh, sang mama sudah ada di sampingnya kini.

"Mama."

"Papa."

"Lusi."

Gegas papanya meraih tangan Lusi. Dia genggam tangan putrinya dengan lembut dan penuh kasih.

"Syukurlah, Si. Akhirnya kamu bangun juga," ucap papanya dengan wajah penuh rasa bahagia.

"Aku kenapa, Pa?"

Sang mama yang memang sedikit tegas itu langsung menjawab. "Kamu alergi kacang, Lusi."

"Aku? Alergi?"

"Tentu saja. Jika tidak, mengapa kamu bisa ada di rumah sakit sekarang?"

"Sudah tahu kamu itu alergi terhadap kacang-kacangan. Tapi kenapa kamu makan juga. Kamu mau bikin mama papa jantungan, Lusi?"

Ucapan dengan nada kesal yang sang mama keluarkan malah membuat Lusi tersenyum. Dia tidak akan kesal karena dia tahu, mama dan papanya sangat mencemaskan dirinya.

Ya. Dia alergi terhadap kacang-kacangan. Alergi parah. Sangat parah sampai hampir merenggut nyawanya. Gen yang diturunkan oleh pihak keluarga sebelah papa. Karenanya, sang papa sangat amat merasa bersalah pada anak satu-satunya itu.

Dia merasa bersalah karena telah mewariskan hal yang tidak seharusnya ia wariskan. Anaknya sangat suka terhadap kacang, tapi sayang tidak bisa memakannya. Bahkan, sedikit saja mencoba, akan berakibat.

Lusi masih tersenyum ketika tangan mamanya mencubit pinggang nya pelan.

"Malah tertawa. Gak tahu apa kamu secemas apa papa kamu saat tahu kamu ada di rumah sakit, Si?"

"Ya ... aku minta maaf, Ma, Pa. Tapi ... apa hanya papa yang mengkhawatirkan aku? Mama nggak?"

"Jangan bercanda. Kamu gak tahu apa, sedikit saja Saga telat membawa kamu ke rumah sakit, akibatnya bisa fatal, Lusi."

"Ma, sudahlah. Jangan salahkan kita. Aku yakin kalau Lusi juga sayang akan nyawanya. Dia mungkin tidak tahu kalau di dalam kue yang dia makan itu ada bubuk kacang tanah nya. Jika dia tahu, aku yakin dia tidak akan memakannya."

"Si. Maafkan papa. Karena gen pala yang tidak baik ini, kamu bisa menderita seperti sekarang. Andai saja papa bisa memilih, atau papa bisa mencegahnya. Papa tidak akan menularkan alergi itu padamu, Nak."

Lusi merasa sedih akan kata-kata papanya barusan. Benar, papanya memang tidak bisa memilih. Jika bisa, sudah pasti tidak akan dia buat anaknya menderita. Dan lagi, papanya juga pernah kehilangan adik satu-satunya hanya karena masalah alergi ini. Terlambat memberikan pertolongan, sang adik tidak bisa diselamatkan saat usia masih anak-anak.

Karenanya, papa Lusi sangat takut akan alergi yang anaknya derita. Rasa bersalah itu sangat nyata. Apalagi saat bukti sudah pernah ia lihat dengan kedua matanya. Salah satu keluarganya hilang gara-gara masalah alergi tersebut.

"Lusi."

"Papa. Jangan sedih. Aku tidak pernah menyalahkan papa atas takdir yang aku terima. Percayalah. Papa adalah papa terbaik bagi aku."

"Lusi, sayangku."

"Oh iya. Mama bilang, Saga yang bawa aku ke rumah sakit, Ma?"

"Iya. Saga yang bawa. Untuk dia menemukan kamu tepat waktu, Si. Jika tidak .... Ah! Ya Tuhan, tidak bisa aku bayangkan hal itu."

Lusi langsung meraih tangan kedua orang tuanya. Sejak kecil, kedua orang tuanya memang selalu mencemaskan dirinya. Sampai dewasa juga, saat Lusi pikir kalau dirinya tidak akan pernah jadi beban lagi, tapi malah tetap saja dia jadi beban kedua orang tuanya.

"Mama."

"Papa."

"Maafkan aku. Selanjutnya, aku akan lebih berhati-hati lagi. Akan aku usahakan agar aku tidak lagi membuat kalian cemas."

"Hm, awas saja kalau kamu bohong, Si."

"Nggak kok, Ma. Nggak!"

Kedua orang tua yang sangat memanjakan anaknya itu langsung tersenyum. Mereka memang berusaha memberikan yang terbaik untuk Lusi. Hal tersebutlah yang membuat dunia luar melihat kalau Lusi sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Tapi pada dasarnya, dia tidak manja. Bahkan, dia adalah wanita yang sangat mandiri yang gigih.

Di luar kamar, Saga sedang menyaksikan apa yang sedang terjadi di kamar tersebut. Dia terdiam sejak tadi. Sejak sesaat setelah Lusi tersadar dari pingsannya.

"Oh iya, Si. Papa dan mama mertua kamu langsung pulang lho saat tahu kamu pingsan. Dan sekarang, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Bentar lagi mungkin akan sampai jika tidak terjebak macet."

"Hah? Kok ... mereka pulang sih, Pa?"

"Ya karena cemas lah, Lusiana." Mama Lusi angkat bicara.

"Ya ... ya aku gak papa kok. Ya ampun. Aku jadi gak enak, Ma, Pa. Kok kalian malah mengabari mereka soal aku masuk rumah sakit?"

"Ya ... mama juga gak sengaja sih. Kebetulan, saat papa tahu kamu masuk rumah sakit, mama sedang vidio call sama mama mertua kamu. Jadinya ... ya mereka tahu deh soal kamu yang sedang tidak baik-baik saja."

"Huh ... tapi mereka baru melakukan perjalanan dua hari yang lalu 'kan, Ma?"

"Aduh ... aku jadi gak enak. Mereka kok malah pulang padahal aku gak papa."

Obrolan itu membuat hati Saga yang kesal langsung mereda. Awalnya, dia pikir kalau Lusi adalah wanita manja yang akan melaporkan semua keburukannya pada orang tuanya. Lalu, Lusi akan bergantung dengan manjanya pada para orang tua mereka. Tapi apa yang dia dengar barusan malah sebaliknya. Lusi ternyata sedikit berbeda dari apa yang ia pikirkan selama ini.

Saga yang membatu sambil memikirkan apa yang sedang terjadi tanpa sengaja papa Lusi lihat. Si papa pun langsung memanggil nama menantunya dengan lantang.

"Ga!"

"Iy-- iya ... om."

"Om apanya? Aku ini papa mertua kamu. Panggil papa."

"Ah, maaf." Saga melirik sekeliling.

Hatinya langsung lega karena tidak ada orang di sana. Jika tidak, dia masih tidak siap dengan rahasia pernikahannya yang terbongkar. Dia masih tidak ingin ada orang asing yang tahu kalau dirinya telah menikah.

Saga beranjak masuk. Dia lihat sekilas wajah Lusi yang saat ini sedang terbaring.

"Dia sudah sadar?"

"Hei! Haruskah di tanya lagi? Kamu kan bisa melihatnya, Mas Sagara." Lusi berucap dengan nada genit.

Terpopuler

Comments

Zainab Ddi

Zainab Ddi

biar ngak kelihatan Lusi berkata begitu

2024-07-25

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!