Perlahan, buliran bening itu jatuh dari pelupuk mata Saga. Hatinya terlalu merindukan sang istri. Bahkan sekarang, dalam hatinya juga terdapat rasa bersalah pada istrinya itu. Rasa bersalah karena telah mengingkari janji.
Tangan Saga meraih bingkai foto yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya. Foto siapa lagi kalau bukan foto istrinya tercinta yang sudah pergi buat selama-lamanya.
Saga belai foto itu sambil menahan isak tangis agar tidak terdengar keras. "Maaf, Tari. Maaf. Aku tidak bisa menepati janjiku padamu untuk tidak menikah lagi."
"Papa kejam padaku, Tari. Hari ini, dia paksa aku buat jadi pria bajingan yang mengingkari janji."
"Tari ... maafkan aku," ucap Saga akhirnya sambil membawa bingkai foto tersebut kearah dada untuk ia peluk.
"Aku merindukan dirimu, Tari ku."
Saga terus terhanyut dalam rasa bersalah yang sangat menyiksa diri. Sementara Lusi yang di ruang tamu kini sudah beranjak bangun dari duduknya. Pikirannya sedang bekerja sambil matanya melihat seisi rumah tersebut.
"Kamar yang mana yang harus aku pilih ya?"
"Cek, baru nikah juga sudah diabaikan. Sungguh kasihan dirimu, Si." Lusi bicara pada dirinya sendiri.
Namun, baru juga Lusi berniat untuk naik ke atas dengan menginjakkan kaki ke anak tangga pertama, sebuah suara terdengar di kupingnya. Suara itu membuat Lusi langsung membatalkan niatnya untuk naik seketika.
Lusi menoleh untuk melihat asal suara tersebut. Di belakangnya kini sedang berdiri seorang wanita paruh baya dengan daster melekat di tubuh. Dari dandanannya, Lusi bisa menyimpulkan kalau dialah bibi yang bekerja di rumah ini sejak pertama rumah ini Saga belikan untuk istrinya tercinta.
"Anda .... "
"Saya bi Rina, Non. Bibi yang bekerja di rumah ini."
"Oh, bi Rina. Saya Lusi, Bik."
Senyum manis Lusi perlihatkan. Senyum yang langsung membuat si bibi berpikiran ulang tentang Lusi. Si bibi pun menatap Lusi dengan tatapan lekat, yang langsung membuat Lusi langsung mengangkat satu alisnya karena kebingungan.
"Bibi."
Sayang, panggilan itu masih belum menyadarka si bibi dari apa yang sedang bibi itu pikirkan. Alhasil, Lusi harus memanggil ulang agar wanita paruh baya itu bisa sadar dengan cepat.
"Bik Rina!"
"Eh! Non, iya."
"Ya ampun, kok malah ngelamun si bi? Apa sih yang bi Rina pikirkan?"
"Eh, ng-- nggak kok, Non. Ngga ngelamun kok. Eh, iya. Non Lusi ... istri baru Den dokter kan?"
"Hm, iya."
"Oh iya, bik. Bisa bantu aku pilih kamar gak yah? Kamar yang mana yang enak buat aku tempati sekarang nurut bibi?"
Si bibi langsung melirik Lusi sesaat. Setelahnya, dia pun langsung memikirkan kamar yang cocok untuk majikan barunya itu.
"Gimana kalo kamar yang itu, Non?" Si bibi berucap sambil mengarahkan telunjuknya kearah kamar yang ada di samping kamar Saga, letaknya di lantai dua.
Lusi menoleh. Hatinya berkata, 'ternyata, bibi ini sudah cukup tahu seperti apa pernikahanku dengan Saga. Buktinya saja, tidak ada sedikitpun rasa terkejut di wajahnya saat aku meminta dia membantu aku memilihkan kamar untukku. Ya Tuhan, aku pikir, bibi ini akan terkejut tadi. Aish, Lusi-Lusi. Nasibmu terlalu malang.'
"Non."
"Iya, Bik."
"Gimana dengan kamar yang bibi pilihkan? Apa non ... gak suka?"
"Gak kok. Aku suka. Aku lagi mikir kalau kamar itu memang cukup bagus buat aku."
"Ya udah, bibi bisa bantu aku beres-beres tidak?"
"Mm ... maaf, non. Bibi punya banyak kerjaan di dapur. Sekali lagi maaf yah. Bibi gak bisa bantu non beres-beres."
"Heh ... ya sudah. Gak papa, Bi. Kalau bibi sibuk, lanjutkan saja kerjaan bibi. Biar aku beres-beres sendiri."
"Iy-- iya."
Lusi pun langsung menaiki anak tangga berbarengan dengan si bibi yang pergi ke dapur. Sejujurnya, Lusi sudah menebak semua yang akan terjadi di rumah ini. Dirinya memang tak akan dianggap sebagai majikan di sini. Karena pernikahan ini memang tidak sedikitpun disetujui oleh Sagara.
"Heh .... Sudahlah, Lusi. Ini adalah pilihan yang kamu ambil dengan senang hati, bukan? Sok, terima noh nasib mu," ucapnya seolah kesal pada diri sendiri.
Kamar yang bi Rina pilih akhirnya dia buka. Luas, cantik juga. Tapi yah, kamar itu terlihat masih sedikit polos karena warna dari catnya adalah kuning cair. Tak hanya itu saja, satu lemari plus satu nakas di samping ranjang dengan ukuran king size.
Lusi memperhatikan selama beberapa saat kamar yang baginya agak kosong. Karena kamar di rumahnya penuh dengan aksesoris yang menenangkan pikiran buat Lusi.
Senyum di bibir Lusi terkembang.
"Aish, kamar ini terasa hambar. Sama seperti hatimu, Si."
"Aaah ... tapi tidak apa-apa. Aku bisa memperbaiki kamar kosong ini sehingga jadi lebih indah."
"Tapi ... harus minta izin dulu kali ya. Tar itu manusia kutub malah marah-marah lagi padaku. Gimana caranya aku bisa berbaikan dengan dia kalo dia malah marah-marah terus menerus?"
Lusi kembali melepas napas berat. Dia abaikan barang bawaannya yang memang hanya sedikit. Dia hempaskan bokongnya di atas ranjang dengan seprai putih bak suasana hotel atau ranjang rumah sakit.
"Huh ... pelan-pelan, Lusi. Semua akan baik-baik saja. Ini adalah langkah awal untuk menuju kemenangan. Karena cinta akan hadir karena terbiasa, oke? Percaya deh akan hal itu."
Lusi tersenyum kembali. Keyakinan yang tumbuh dalam hatinya memang sangat besar. Sangking besarnya, keyakinan itu malah bisa mengalahkan rasa sakit akan sikap Saga padanya.
Dia yakin kalau dirinya mampu meruntuhkan kerasnya hati Saga. Dia percaya, cinta hadir karena terbiasa. Meskipun hatinya terluka akan semua penolakan dari Sagara, tapi tetap saja, dia akan terus mengejar pria itu sampai hatinya benar-benar menyerah nanti.
Usai berganti pakaian, Lusi langsung keluar dari kamar. Tujuannya kini adalah untuk bertemu Saga di kamarnya. Namun, berulang kali Lusi ketuk pintu kamar tersebut, si pemiliknya sama sekali tidak merespon.
"Ke mana sih itu orang? Gak mungkin tidur, kan?"
Lusi mencoba sekali lagi, tapi tetap saja, tidak ada tanggapan. Dari lantai bawah, bi Rina ternyata sedang memperhatikannya sekarang.
"Non Lusi ngapain?"
Suara si bibi langsung mengalihkan perhatian Lusi. Dia menoleh dengan cepat.
"Nyari Saga, Bi. Tapi kok aku panggil berulang kali, dianya gak muncul ya?"
"Ah, itu karena den Saga gak ada di kamarnya, Non. Den Saga sudah pergi beberapa menit yang lalu."
"Hah? Pergi? Ke mana? Kok tiba-tiba pergi sih, Bi?"
"Rumah sakit katanya. Ada hal mendadak yang harus dia urus."
"Hah?" Bingung Lusi saat ini. Sampai-sampai, dirinya tidak tahu harus berkata apa.
"Mm ... non Lusi ada perlu apa sampai manggil den Saga berulang kali?"
Lusi terdiam sesaat. Pikirannya malah bekerja dengan lincah membuat perasaan kesaknya bangkit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Zainab Ddi
😭😭😭ya ampun jahat banget ya saga bener2 pembantu aja ngak boleh bantu lusi
2024-07-25
1
Tara
waduch
2024-07-22
1
sella surya amanda
lanjut kak
2024-07-21
1