Markas Penjaga Realitas dipenuhi atmosfer tegang yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Tim sedang mempersiapkan diri untuk misi paling berbahaya yang pernah mereka hadapi - perjalanan ke Void untuk mencari pecahan terakhir Prisma Inflasi.
Pengawas mengumpulkan tim untuk briefing final. Wajahnya lebih serius dari biasanya.
"Void bukanlah tempat yang bisa dianggap enteng," dia memulai. "Ini bukan hanya tentang ketiadaan materi, tapi juga ketiadaan hukum fisika yang kita kenal. Realitas di sana... fleksibel, untuk mengatakan yang paling ringan."
Riana mengangguk. "Bagaimana kita bisa bertahan di lingkungan seperti itu?"
Pengawas mengeluarkan serangkaian peralatan canggih. "Ini adalah Suit Realitas. Dirancang khusus untuk mempertahankan 'gelembung realitas' di sekitar kalian saat berada di Void. Tanpa ini, kalian akan langsung lenyap begitu melangkah ke sana."
Tim mengenakan Suit Realitas dengan hati-hati. Suit itu terasa aneh - seolah-olah mereka diselimuti lapisan tipis energi yang konstan berfluktuasi.
"Ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui," Pengawas melanjutkan, nada suaranya menjadi lebih berat. "Void... memiliki kesadaran sendiri. Atau setidaknya, sesuatu yang mirip kesadaran. Ia akan mencoba mempengaruhi pikiran kalian. Apapun yang kalian dengar atau lihat di sana, jangan pernah lepaskan fokus dari misi kalian."
Adrian mengerutkan dahi. "Bagaimana kita bisa membedakan antara realitas dan ilusi di tempat seperti itu?"
"Kalian tidak bisa," jawab Pengawas singkat. "Itulah tantangan terbesarnya."
Kayla menelan ludah. "Lalu... bagaimana kita menemukan pecahan Prisma di tengah kekosongan absolut?"
Pengawas menunjukkan sebuah kompas aneh dengan jarum yang terus berputar. "Kompas Void. Ini akan menunjukkan arah menuju anomali terbesar di Void - yang kemungkinan besar adalah lokasi pecahan Prisma."
Setelah persiapan final, tim berkumpul di depan portal. Kali ini, tidak ada pemandangan yang terlihat di seberangnya - hanya kegelapan absolut.
Riana memandang teman-temannya. "Kita sudah melalui banyak hal bersama. Apapun yang terjadi di dalam sana, kita hadapi bersama. Setuju?"
Reyhan, Kayla, dan Adrian mengangguk mantap.
Dengan tarikan napas dalam, mereka melangkah memasuki portal.
Sensasi pertama yang mereka rasakan adalah... ketiadaan. Tidak ada atas atau bawah, tidak ada arah, tidak ada apapun. Hanya kekosongan absolut yang mencekam.
"Semua orang baik-baik saja?" suara Riana terdengar melalui komunikator suit mereka.
"Ya," jawab yang lain, meski ada getaran dalam suara mereka.
Mereka mulai bergerak, dipandu oleh Kompas Void. Namun, 'bergerak' di Void ternyata jauh lebih sulit dari yang mereka bayangkan. Tanpa referensi apapun, mereka tidak yakin apakah mereka benar-benar berpindah atau hanya berpikir mereka berpindah.
Setelah entah berapa lama - waktu terasa tidak relevan di sini - mereka mulai mendengar... bisikan.
"Kalian tidak seharusnya berada di sini," bisikan itu terdengar dari segala arah.
"Abaikan," perintah Riana. "Fokus pada misi."
Namun, bisikan itu semakin keras dan lebih personal.
"Reyhan," bisikan itu memanggil. "Kau selalu merasa tidak cukup baik, bukan? Di sini, kau bisa menjadi apapun yang kau inginkan."
Reyhan menggelengkan kepala kuat-kuat. "Tidak. Itu bukan nyata."
"Kayla," bisikan lain terdengar. "Keluargamu yang telah lama hilang... mereka di sini. Kami telah menunggu."
Kayla memejamkan mata, berusaha mengabaikan godaan untuk percaya.
Adrian tampak akan mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba dia menghilang dari pandangan.
"Adrian!" teriak Riana panik. "Di mana kau?"
"A-aku di sini," suara Adrian terdengar lemah melalui komunikator. "Tapi aku... aku tidak bisa melihat kalian."
"Bertahanlah pada suara kami," instruksi Riana. "Jangan biarkan Void memisahkan kita."
Mereka terus bergerak, berjuang melawan disorientasi dan bisikan-bisikan yang semakin intens. Kompas Void bergetar semakin kuat, menandakan mereka semakin dekat dengan tujuan.
Tiba-tiba, di tengah kekosongan, muncul sebuah struktur aneh - seperti istana yang terbuat dari ketiadaan itu sendiri.
"Itu dia," ujar Riana. "Pecahan Prisma pasti ada di dalam."
Mereka memasuki struktur itu, dan seketika dihadapkan pada pemandangan yang membingungkan. Ruangan-ruangan yang tidak mematuhi hukum geometri, tangga yang menuju ke segala arah, dan cermin yang memantulkan versi-versi alternatif dari diri mereka.
"Tetap bersama," Riana mengingatkan. "Apapun yang terjadi, jangan terpisah."
Mereka menjelajahi istana itu, mengikuti panduan Kompas Void. Setiap ruangan menghadirkan tantangan baru - ilusi yang tampak nyata, kenangan yang seharusnya terlupakan, dan godaan-godaan yang sulit ditolak.
Akhirnya, mereka tiba di ruangan pusat. Di tengahnya, melayang pecahan terakhir Prisma Inflasi. Namun, ada sosok yang berdiri di depannya - sosok yang sangat familiar.
"Selamat datang, Penjaga Realitas," Adrian menyambut mereka dengan senyum dingin.
Tim terkesiap. Adrian yang 'asli' masih berdiri di samping mereka, sama terkejutnya.
"Apa maksud semua ini?" tuntut Riana.
Adrian palsu tertawa. "Kalian masih belum mengerti juga? Akulah Void. Dan Adrian di sini," dia menunjuk Adrian asli, "adalah bagian dari diriku yang 'terlepas' saat dia pertama kali menjelajahi batas-batas realitas."
Adrian asli terhuyung, memori-memori yang terlupakan membanjiri pikirannya. "Aku... aku ingat sekarang. Eksperimen itu... aku tersesat di Void..."
"Dan aku memberimu kesempatan kedua," lanjut Void. "Tapi sekarang, sudah waktunya kau kembali padaku. Kembali pada ketiadaan."
Void mengulurkan tangannya ke arah Adrian, yang mulai terlihat transparan.
"Tidak!" teriak Kayla, menarik Adrian menjauh.
Riana bertindak cepat. Dia mengeluarkan dua pecahan Prisma yang mereka miliki, memfokuskan energinya untuk menciptakan perisai.
"Reyhan! Ambil pecahan terakhir!" perintah Riana.
Reyhan bergegas ke arah Prisma, namun Void dengan mudah menahannya.
"Kalian pikir bisa mengalahkanku di wilayahku sendiri?" Void mendesis. Seluruh struktur istana mulai runtuh, realitas di sekitar mereka semakin tidak stabil.
"Ini bukan tentang mengalahkanmu," ujar Riana tegas. "Ini tentang keseimbangan."
Dengan gerakan cepat, dia melemparkan dua pecahan Prisma ke arah pecahan ketiga. Tepat saat ketiganya bersentuhan, ledakan energi yang luar biasa terjadi.
Prisma Inflasi yang utuh memancarkan cahaya yang membutakan, memaksa bahkan Void untuk mundur.
"Tidak mungkin!" teriak Void.
Riana bergegas mengambil Prisma yang kini telah utuh. Dia bisa merasakan kekuatan tak terbatas mengalir melaluinya.
"Void," ujar Riana, suaranya bergema dengan otoritas, "kau adalah bagian penting dari struktur realitas. Tapi kau telah kehilangan keseimbangan. Dengan kekuatan Prisma Inflasi, aku memulihkan keseimbanganmu."
Cahaya dari Prisma membungkus seluruh Void, memaksa kekosongan untuk mengambil bentuk yang lebih terstruktur. Void menjerit - antara kesakitan dan kelegaan.
Perlahan, istana ketiadaan lenyap, digantikan oleh panorama kosmos yang luar biasa. Void telah bertransformasi menjadi ruang antar-dimensi yang stabil.
Adrian, yang tadinya hampir lenyap, kini kembali solid. Dia menatap sekelilingnya dengan takjub. "Aku... aku bisa merasakan diriku yang utuh kembali."
Riana tersenyum pada timnya. "Kita berhasil. Saatnya pulang dan menghadapi Devourer."
Dengan kekuatan Prisma Inflasi, Riana membuka portal kembali ke markas. Saat mereka melangkah masuk, mereka bisa mendengar suara lembut Void yang kini telah tenang.
"Terima kasih, Penjaga Realitas. Sampai kita bertemu lagi di persimpangan realitas."
Portal menutup di belakang mereka. Tim tiba di markas, disambut oleh Pengawas yang tampak lega sekaligus takjub.
"Kalian berhasil," ujarnya, matanya tertuju pada Prisma Inflasi yang bersinar terang di tangan Riana. "Dan tepat pada waktunya. Devourer sudah di ambang dimensi kita."
Riana mengangguk, menatap teman-temannya dengan tekad yang membara. "Kalau begitu, saatnya mengakhiri ini. Demi seluruh realitas."
Dengan Prisma Inflasi di tangan dan tekad yang tak tergoyahkan, tim Penjaga Realitas bersiap menghadapi pertarungan final melawan Devourer of Realities. Nasib seluruh multiverse kini berada di ujung tanduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments