Daira mencoba bunuh diri

Bayu duduk di teras, sendirian. Matahari sore menyorot wajahnya, tapi raut wajahnya tampak muram dan penuh kekhawatiran. Ia mencengkeram rambutnya dengan erat, seolah ingin menarik semua pikiran yang berputar di kepala.

Daira. Nama itu bergema di benaknya, membuat perutnya berasa dicengkeram sesak. Ia terbayang wajah Daira,

Ibu Dira mendekati Bayu yang duduk terdiam di teras. Ia menatap Bayu dengan wajah yang penuh keprihatinan.

"Bayu," panggil Ibu Dira, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. "Kenapa kamu diam saja di sini? Kamu baik-baik saja?"

Bayu menoleh ke arah ibunya, matanya merah dan bengkak karena menangis. Ia mencoba menarik

Daira mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya, merasakan kehangatannya sebagai satu-satunya penghiburan di tengah badai yang menghantam hatinya. Air mata mengalir deras, membasahi bantal yang ia peluk erat.

"Kenapa harus aku?" gumam Daira, suaranya gemetar karena tangis. "Kenapa harus aku yang mengalami ini?"

Ia merasa terjebak dalam lingkaran kecewa, kecewa pada diri sendiri yang tak berdaya, kecewa pada ayahnya yang telah menghancurkan hidupnya, dan kecewa pada dunia yang terasa sangat kejam.

Kehamilan ini bukan berkah, tapi kutukan. Ia tak bisa bayangkan bagaimana ia akan menghadapi dunia dengan rahim yang mengendong buah dari perbuatan bejat ayahnya.

Ia merasa diri seperti mainan yang tak berharga, diperlakukan semau gue oleh orang yang seharusnya melindunginya. Ia terjebak dalam perasaan kecewa, marah, dan takut yang tak tertahankan.

"Aku ingin menghilang," gumam Dira, suaranya tertelan tangis. "Aku ingin semua ini berakhir."

Daira duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kota di bawah sana yang tampak seperti lautan cahaya. Gelapnya malam seakan mencerminkan kegelapan hatinya. Di tangannya, ia menggenggam seutas tali, sebuah tali yang akan menjadi penghubung antara dirinya dan akhir dari segalanya, setidaknya menurut pikirannya saat ini.

Pikirannya melayang, mengingat semua peristiwa yang telah menimpanya. Kehilangan, pengkhianatan, dan rasa sakit yang tak tertahankan telah membuatnya merasa begitu putus asa. Ia merasa tak ada lagi harapan, tak ada lagi jalan keluar dari kubangan kesedihan yang begitu dalam. Kematian tampak menjadi satu-satunya jalan yang memungkinkan.

Tangannya gemetar saat ia mengikat simpul tali itu. Gerakannya lambat, namun mantap, seperti langkah terakhir seseorang menuju jurang yang tak terlihat ujungnya. Setiap simpul yang ia buat terasa seperti sebuah keputusan, sebuah langkah yang tak mungkin untuk ditarik kembali.

Air mata mengalir di pipinya, membasahi tangannya yang menggenggam tali itu. Namun, air mata itu bukan air mata penyesalan, melainkan air mata keputusasaan. Ia merasa lelah, lelah berjuang, lelah melawan rasa sakit yang terus menerus menggerogoti hatinya.

Daira menatap tali di tangannya, sebuah benda yang begitu sederhana, namun memiliki kekuatan untuk mengakhiri segalanya. Ia menutup matanya, membayangkan kegelapan yang menanti di ujung tali itu. Kegelapan yang terasa menenangkan, kegelapan yang membebaskannya dari semua beban yang telah lama ia pikul.

Namun, di balik gelapnya keputusasaan, ada setitik cahaya kecil yang masih menyala. Sekilas ingatan tentang senyum orang tuanya, tentang kenangan indah masa lalu, menghantui pikirannya. Sebuah bisikan lembut, seakan mengingatkannya bahwa masih ada hal-hal yang layak diperjuangkan, bahwa masih ada cinta dan harapan yang tersisa.

Tangan Daira yang memegang tali itu sedikit mengendur. Simpul yang telah ia buat terasa begitu erat, namun juga terasa begitu rapuh. Ia masih ragu, masih bertanya-tanya apakah ini adalah keputusan yang tepat. Apakah kematian benar-benar jawaban atas semua masalahnya?

Di ambang keputusan yang begitu penting, Daira terdiam, bergulat dengan pikiran dan perasaannya yang bercampur aduk. Nasibnya masih belum terputus, tergantung pada pilihan yang akan ia buat selanjutnya.

Daira duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kota di bawah sana yang tampak seperti lautan cahaya. Gelapnya malam seakan mencerminkan kegelapan hatinya. Di tangannya, ia menggenggam seutas tali, sebuah tali yang akan menjadi penghubung antara dirinya dan akhir dari segalanya, setidaknya menurut pikirannya saat ini.

Pikirannya melayang, mengingat semua peristiwa yang telah menimpanya. Kehilangan, pengkhianatan, dan rasa sakit yang tak tertahankan telah membuatnya merasa begitu putus asa. Ia merasa tak ada lagi harapan, tak ada lagi jalan keluar dari kubangan kesedihan yang begitu dalam. Kematian tampak menjadi satu-satunya jalan yang memungkinkan.

Tangannya gemetar saat ia mengikat simpul tali itu. Gerakannya lambat, namun mantap, seperti langkah terakhir seseorang menuju jurang yang tak terlihat ujungnya. Setiap simpul yang ia buat terasa seperti sebuah keputusan, sebuah langkah yang tak mungkin untuk ditarik kembali.

Air mata mengalir di pipinya, membasahi tangannya yang menggenggam tali itu. Namun, air mata itu bukan air mata penyesalan, melainkan air mata keputusasaan. Ia merasa lelah, lelah berjuang, lelah melawan rasa sakit yang terus menerus menggerogoti hatinya.

Daira menatap tali di tangannya, sebuah benda yang begitu sederhana, namun memiliki kekuatan untuk mengakhiri segalanya. Ia menutup matanya, membayangkan kegelapan yang menanti di ujung tali itu. Kegelapan yang terasa menenangkan, kegelapan yang membebaskannya dari semua beban yang telah lama ia pikul.

Namun, di balik gelapnya keputusasaan, ada setitik cahaya kecil yang masih menyala. Sekilas ingatan tentang senyum orang tuanya, tentang kenangan indah masa lalu, menghantui pikirannya. Sebuah bisikan lembut, seakan mengingatkannya bahwa masih ada hal-hal yang layak diperjuangkan, bahwa masih ada cinta dan harapan yang tersisa.

Tangan Daira yang memegang tali itu sedikit mengendur. Simpul yang telah ia buat terasa begitu erat, namun juga terasa begitu rapuh. Ia masih ragu, masih bertanya-tanya apakah ini adalah keputusan yang tepat. Apakah kematian benar-benar jawaban atas semua masalahnya?

Di ambang keputusan yang begitu penting, Daira terdiam, bergulat dengan pikiran dan perasaannya yang bercampur aduk. Nasibnya masih belum terputus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!