Beberapa minggu berlalu. Daira merasakan keanehan pada tubuhnya; mual dan muntah kerap menyerangnya. Awalnya ia mengabaikannya, menganggapnya hanya gangguan pencernaan biasa. Namun, frekuensi mual dan muntah yang semakin sering membuatnya khawatir. Akhirnya, dengan hati berdebar, Daira membeli alat tes kehamilan dari apotek terdekat. Tangannya gemetar saat ia mengikuti petunjuk penggunaan. Waktu terasa begitu lambat berlalu hingga akhirnya, dua garis merah muncul di alat tes tersebut. Daira tertegun. Hati kecilnya berdebar kencang, dipenuhi campuran rasa terkejut, takut, dan bahagia. Ia hamil. Kabar ini begitu tak terduga, mengubah segalanya dalam sekejap.
Kegembiraan Daira yang semula membuncah perlahan surut, tergantikan oleh ketegangan yang mencekam. Bayangan kehamilannya yang merupakan hasil perkosaan ayah tirinya kembali menghantuinya. Rasa takut dan cemas menggerogoti hatinya. Ia belum memberitahu siapa pun, apalagi ibunya yang sangat ia sayangi. Bayangan reaksi ibunya, kekecewaan dan kesedihannya, semakin memperparah kegelisahan Daira. Rahasia besar ini menjadi beban berat yang harus ia pikul sendirian, menambah lapisan ketegangan pada kehamilannya yang tak terduga ini. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit, di antara harapan akan kehidupan baru dan trauma masa lalu yang terus menghantuinya.
Hawa dingin menusuk tulang terasa lebih nyata daripada biasanya di ruang tamu rumah kecil itu. Daira duduk di antara Ibunya, Dira, dan Bayu, kakak tirinya. Ketiganya menatapnya dengan ekspresi beragam; Dira tampak khawatir, sementara Bayu memasang wajah datar yang sulit diartikan. Udara terasa sesak, dipenuhi ketegangan yang tak terucap.
Daira menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang nyaris tak tersisa. "Bu... aku... aku punya sesuatu yang harus kukatakan," suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Ibunya, yang tengah merajut, berhenti. Ia menatap Daira dengan mata penuh pertanyaan. "Ada apa, Nak? Kamu terlihat sangat pucat."
Daira menggenggam tangannya erat-erat. "Aku... aku hamil, Bu."
Keheningan menyelimuti ruangan. Dira dan Bayu saling bertukar pandang, sementara Ibunya terpaku, jarum rajut terjatuh ke lantai. Beberapa saat kemudian, Ibunya bersuara, suaranya terdengar lemah, "Hamil? Siapa ayahnya?"
Air mata Daira tumpah. Ia menunduk, suaranya terisak, "Bagas, Bu... Ayah... ayah tiriku."
Kali ini, keheningan itu lebih berat, lebih mencekam. Dira mendekap Daira, air mata juga mengalir di pipinya. Bayu, yang semula diam, tiba-tiba berdiri, wajahnya memerah menahan amarah. "Brengsek! Aku akan membunuh Bagas!" geramnya, tangan mengepal.
Ibunya meraih tangan Bayu, mencoba menenangkannya. "Bayu! Tenanglah! Kita harus berpikir jernih." Ia menatap Daira dengan tatapan yang penuh kasih dan simpati. "Nak, peluk Ibumu. Kita akan melewati ini bersama-sama." Ia memeluk Daira erat-erat, memberikan dukungan dan kekuatan di tengah badai emosi yang menerpa mereka. Keheningan kembali turun, namun kali ini, terasa berbeda. Keheningan yang dipenuhi rasa sakit, namun juga dipenuhi harapan akan kekuatan keluarga yang akan mengarungi badai bersama.
Mesin motor Bayu menderu, membelah angin malam yang dingin. Di boncengan, Daira memeluk erat tubuh Bayu, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena beban emosi yang begitu berat. Perjalanan ke dokter kandungan terasa begitu panjang dan melelahkan. Setelah pemeriksaan, semua terasa sedikit lebih jelas, sedikit lebih ringan, meskipun rasa takut dan cemas masih menghantui.
Sesampainya di penjara, Bayu langsung menghampiri sel Bagas, ayahnya. Tatapannya tajam, dipenuhi amarah yang membara. Tak banyak bicara, Bayu langsung melayangkan pukulan keras ke wajah Bagas. Bagas meringis kesakitan, namun Bayu tak berhenti. Pukulan demi pukulan ia layangkan, melampiaskan amarah yang selama ini terpendam.
"Kau tahu, Bajingan!" teriak Bayu di antara pukulannya, "Karena perbuatanmu, Daira, adikku, hamil! Kau menghancurkan hidupnya!" Bayu berhenti memukul, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar karena amarah. Ia menatap Bagas dengan penuh kebencian, "Kau akan membayar semua ini!" Bayu membiarkan amarahnya meledak, melepaskan semua rasa sakit dan kemarahan yang selama ini ia pendam. Ia tahu, pukulannya tak akan cukup untuk membalas perbuatan Bagas, namun setidaknya, itu adalah sedikit kepuasan yang bisa ia raih. Ia meninggalkan Bagas yang terkapar di lantai selnya, dengan hati yang masih dipenuhi amarah dan kepedihan.
Mesin motor Bayu menderu, membelah angin malam yang dingin. Di boncengan, Daira memeluk erat tubuh Bayu, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena beban emosi yang begitu berat. Perjalanan ke dokter kandungan terasa begitu panjang dan melelahkan. Setelah pemeriksaan, semua terasa sedikit lebih jelas, sedikit lebih ringan, meskipun rasa takut dan cemas masih menghantui.
Sesampainya di penjara, Bayu langsung menghampiri sel Bagas, ayahnya. Tatapannya tajam, dipenuhi amarah yang membara. Tak banyak bicara, Bayu langsung melayangkan pukulan keras ke wajah Bagas. Bagas meringis kesakitan, namun Bayu tak berhenti. Pukulan demi pukulan ia layangkan, melampiaskan amarah yang selama ini terpendam.
"Kau tahu, Bajingan!" teriak Bayu di antara pukulannya, "Karena perbuatanmu, Daira, adikku, hamil! Kau menghancurkan hidupnya!" Bayu berhenti memukul, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar karena amarah. Ia menatap Bagas dengan penuh kebencian, "Kau akan membayar semua ini!" Bayu membiarkan amarahnya meledak, melepaskan semua rasa sakit dan kemarahan yang selama ini ia pendam. Ia tahu, pukulannya tak akan cukup untuk membalas perbuatan Bagas, namun setidaknya, itu adalah sedikit kepuasan yang bisa ia raih. Ia meninggalkan Bagas yang terkapar di lantai selnya, dengan hati yang masih dipenuhi amarah dan kepedihan.
Bagas meringkuk di lantai sel yang dingin, rasa sakit akibat pukulan Bayu masih terasa menusuk. Namun, rasa sakit fisik itu jauh lebih ringan daripada guncangan yang baru saja ia terima. Kabar kehamilan Daira, akibat perbuatannya sendiri, menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia tak percaya. Pikirannya kalut, bercampur aduk antara penyesalan, ketidakpercayaan, dan rasa takut yang amat sangat. Bayangan wajah Daira, wajah polos dan lugu itu, terbayang jelas di benaknya. Ia telah menghancurkan masa depannya, menghancurkan kehidupan seorang gadis muda yang tak berdosa. Kejahatan yang telah ia lakukan, yang semula ia coba lupakan, kini kembali menghantuinya dengan kekuatan yang jauh lebih dahsyat. Rasa sesal yang amat dalam menggerogoti hatinya, menghancurkan sisa-sisa ketenangan yang masih tersisa. Ia menyadari, hukuman penjara yang ia jalani tak sebanding dengan kerusakan yang telah ia timbulkan. Penyesalannya terlalu besar, terlalu berat untuk dipikul.
Bagas terduduk di lantai selnya, punggung menempel pada dinding dingin. Napasnya tersengal-sengal, rasa sakit di wajahnya masih terasa menusuk, namun rasa sakit itu tak sebanding dengan guncangan yang baru saja ia terima. "Kau... kau bilang apa?" suaranya serak, hampir tak terdengar.
Bayu berdiri tegak di hadapannya, wajahnya masih dipenuhi amarah. "Daira hamil, Bajingan! Kau menghancurkan hidupnya! Kau bertanggung jawab atas ini!"
Bagas menggelengkan kepala, matanya terbelalak tak percaya. "Tidak mungkin... itu... itu tidak mungkin." Ia mengulang kalimat itu berulang kali, seperti mantra yang ingin mengusir kenyataan pahit yang baru saja ia terima.
"Kau tahu apa yang kau lakukan!" teriak Bayu, suaranya bergetar karena amarah. "Kau telah menghancurkan satu keluarga! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
Bagas terdiam, pikirannya melayang ke masa lalu, ke peristiwa mengerikan yang telah ia lakukan. Wajah Daira, wajah polos dan lugu itu, terbayang jelas di benaknya. Rasa sesal yang amat dalam menggerogoti hatinya. "Aku... aku salah... aku tidak bermaksud..." suaranya terputus-putus, dipenuhi penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak bermaksud?" Bayu mencibir, "Apa artinya itu? Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus membayar semua ini!"
Bagas hanya bisa terdiam, menunduk, menelan ludah yang terasa kering di tenggorokannya. Ia mengerti, penyesalannya tak akan bisa mengembalikan segala sesuatu ke keadaan semula. Ia telah melakukan kesalahan yang fatal, dan ia harus menghadapi konsekuensinya. Bayu lalu pulang dengan membawa amarah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments