Mentari sore menerobos jendela kamar Daira, menari-nari di atas lantai kayu yang mengkilap. Dira, ibu Daira, duduk di tepi ranjang, mengamati putrinya yang sedang asyik menggambar. Senyum tipis terukir di bibirnya, melihat Daira kembali ceria setelah sekian lama terpuruk dalam trauma. Warna-warna cerah menghiasi kertas gambar, sebuah pemandangan yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Dira mengulurkan tangan, menyentuh lembut rambut Daira. "Gambar apa itu, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut.
Daira mengangkat wajahnya, senyum ceria menghiasi bibir mungilnya. "Ini Kak Bayu, Ma! Sama kupu-kupu!" Ia menunjukkan gambar Bayu yang sedang tersenyum, dengan kupu-kupu berwarna-warni beterbangan di sekitarnya.
Dira tersenyum haru. Bayu, kakak Daira, telah berhasil membantunya bangkit dari trauma kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Prosesnya panjang dan melelahkan, tapi akhirnya Daira bisa kembali tertawa lepas seperti dulu.
"Gambarnya bagus sekali, Sayang," puji Dira, menarik Daira ke dalam pelukannya. "Mama senang sekali Daira sudah kembali ceria."
Daira memeluk ibunya erat-erat. "Aku juga senang, Ma," bisiknya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Bayu masuk. Ia membawa sebuah kotak kecil yang dihiasi pita berwarna merah muda.
"Hai, Dek! Ini ada hadiah untukmu," kata Bayu, tersenyum. Ia memberikan kotak itu kepada Daira.
Daira membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat sebuah kalung kecil yang bergantungan sebuah liontin berbentuk kupu-kupu.
"Kupu-kupu!" seru Daira, matanya berbinar. "Terima kasih, Kak!"
Bayu tersenyum, merasa lega melihat adiknya kembali ceria. Ia tahu, perjalanan penyembuhan Daira belum sepenuhnya berakhir, tapi melihat senyum Daira, ia merasa semua usahanya tidak sia-sia.
Dira menatap kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Bayu," katanya, suaranya bergetar. "Kau telah menyelamatkan Daira."
Bayu hanya tersenyum, menatap Daira yang asyik bermain dengan kalung barunya. Ia tahu, peran seorang kakak adalah melindungi dan menyayangi adiknya. Dan hari ini, ia merasa telah berhasil menjalankan perannya. Ia telah berhasil membawa kembali senyum ceria di wajah adik kesayangannya. Matahari sore itu seolah menyinari kebahagiaan keluarga kecil itu.
Daira memeluk Bayu erat-erat, kepala kecilnya bersandar di bahu kakaknya. Bau kemeja Bayu yang masih beraroma deterjen membuat hatinya tenang. Setelah sekian lama terpuruk dalam bayang-bayang trauma, kini ia merasa kekuatan kembali mengalir dalam dirinya.
"Kak," bisik Daira, suaranya sedikit bergetar, "Aku mau sekolah lagi. Terus nanti… aku mau kerja aja."
Bayu mengusap lembut rambut Daira. Ia tahu, keinginan Daira untuk mandiri adalah langkah penting dalam proses penyembuhannya. "Tentu saja, Dek. Kakak selalu mendukungmu."
Daira melepaskan pelukannya, menatap Bayu dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Kak. Kau selalu ada untukku."
Bayu tersenyum, menarik Daira ke dalam pelukannya lagi. "Selalu, Dek. Selalu."
Di ruang tengah, Dira duduk termenung, menatap secangkir teh yang sudah dingin. Senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya masih menyimpan kesedihan yang mendalam. Kepergian Bagas, suaminya yang bejat, telah menjadi babak baru dalam hidupnya. Babak baru yang dipenuhi harapan dan kedamaian.
Suara langkah kaki Bayu dan Daira membuyarkan lamunannya. Dira tersenyum, menatap kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, Nak?"
"Ma," kata Bayu, "Daira mau melanjutkan sekolahnya."
Dira mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Mama sangat senang, Sayang. Mama bangga padamu."
Daira mendekat, memeluk ibunya. "Aku juga mau kerja, Ma. Aku tidak mau bergantung pada siapa pun lagi."
Dira memeluk Daira erat-erat, meneteskan air mata haru. "Mama tahu, Sayang. Mama selalu mendukungmu."
Ketiga orang itu saling berpelukan, menciptakan momen hangat dan penuh kasih sayang. Bayangan Bagas, yang telah lama menghantui kehidupan mereka, kini telah sirna. Mereka telah menemukan kedamaian dan harapan baru. Mereka telah bebas. Mereka telah memulai babak baru dalam hidup mereka, babak baru yang dipenuhi dengan cinta, kehangatan, dan kebahagiaan.
Mentari pagi menyinari halaman SMA Tunas Bangsa. Daira berjalan dengan langkah pasti menuju gerbang sekolah, ranselnya terikat rapi di punggung. Setelah sekian lama absen, hari ini ia kembali ke sekolah. Rasa gugup bercampur dengan rasa senang memenuhi hatinya.
Di ruang guru, Bu Dewi, guru Bahasa Indonesia kesayangan Daira, sedang memeriksa beberapa buku. Ia tersentak kaget saat melihat Daira masuk ke ruangannya. Senyum lebar terkembang di wajahnya.
"Daira!" serunya, bergegas menghampiri Daira. "Sayang sekali, kamu kembali ke sekolah!"
Daira tersenyum malu-malu. "Iya, Bu. Terima kasih."
Bu Dewi memeluk Daira sebentar. "Mamamu sudah cerita semuanya padaku. Aku sangat senang kamu kembali. Jangan sungkan untuk meminta bantuan jika kamu mengalami kesulitan."
Daira mengangguk, perasaannya semakin tenang. Ia merasa dukungan dari Bu Dewi memberinya kekuatan.
Di kelas, teman-teman Daira sudah menunggu kedatangannya. Mereka menyambutnya dengan hangat, serangkaian ucapan selamat dan pelukan.
"Daira! Senang kamu kembali!" seru Rani, teman sebangku Daira.
"Aku juga kangen banget sama kalian," jawab Daira, tersenyum.
"Kita harus rayakan ini!" ucap Budi, sambil mengangkat tangannya.
Teman-teman Daira tertawa riang. Suasana kelas yang tadinya sedikit hening, kini dipenuhi dengan keceriaan. Daira merasa seperti tidak pernah meninggalkan sekolah. Ia merasa diterima dan dicintai oleh teman-temannya. Ia merasa kembali ke rumah. Hari pertamanya kembali ke sekolah berjalan lancar dan menyenangkan. Ia merasa semangat untuk belajar kembali. Ia merasa hidupnya kembali memiliki arah. Ia merasa bahagia.
Daira melangkah masuk kelas, mencari tempat duduknya di bangku pojok. Langkahnya masih sedikit tertatih, dan ia terlihat sedikit lesu. Rani, teman sebangkunya, langsung menoleh, alisnya terangkat sedikit bertanya. Senyum Rani yang tadinya lebar, sedikit memudar saat melihat wajah Daira yang masih pucat.
"Hai, Daira!" sapa Rani, suaranya penuh perhatian. "Kok lama banget nggak masuk sekolah? Beberapa minggu lho! Kamu sakit?" Rani menekankan kata 'sakit' dengan sedikit cemas, menggerakkan tangannya seakan-akan mengukur suhu tubuh Daira dari kejauhan.
Daira tersenyum kecil, meletakkan tasnya di meja dengan gerakan agak lambat. Ia menggaruk kepalanya yang sedikit gatal, tanda gugup. "Maaf, Ran. Aku lagi ada masalah keluarga sedikit… yang cukup rumit." Ia menekankan kata 'rumit' dengan suara pelan, menundukkan kepala sedikit.
Rani mengangguk mengerti, tapi matanya masih menunjukkan rasa penasaran yang besar. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Daira dengan intens. "Masalah keluarga? Serius? Gimana ceritanya? Cerita dong!" Rani menekankan kata 'cerita' dengan penuh semangat, jari-jarinya memainkan pulpen di atas meja.
Daira ragu sejenak, gigit bibirnya. Kemudian ia memutuskan untuk menceritakan sedikit, menatap Rani dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku kecelakaan, Ran. Untungnya nggak parah, tapi… aku butuh waktu untuk pulih, baik fisik maupun mental." Ia menekankan kata 'mental' dengan suara yang hampir tak terdengar, menunduk lagi.
Mata Rani melebar, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. "Kecelakaan?! Serius?! Kok nggak cerita sih?! Kamu kenapa nggak bilang?!" Rani terlihat panik, tangannya terangkat, menunjukkan kekhawatirannya.
Daira menghela napas panjang, mencoba untuk tenang. "Aku nggak mau bikin kalian khawatir. Lagipula, sekarang sudah baik-baik aja kok." Ia mencoba tersenyum meyakinkan, tapi matanya masih menunjukkan sedikit trauma.
Rani menatap Daira dengan penuh perhatian, menempatkan tangannya di atas tangan Daira sebentar, sebelum menariknya kembali. "Syukurlah kalau sudah baik-baik aja. Tapi, kalau ada apa-apa, bilang ya. Kita kan teman. Beneran!" Rani menekankan kata 'beneran' sambil mengangguk-angguk.
Daira tersenyum haru, merasa lega telah menceritakan sedikit tentang keadaannya. Ia merasa lebih tenang dan siap untuk menghadapi hari-hari sekolahnya. "Iya, Ran. Terima kasih."
Keduanya terdiam sejenak, kemudian Rani kembali bertanya, nada suaranya lebih lembut. "Terus, kamu sekarang udah benar-benar sembuh? Beneran-beneran?" Rani menekankan kata 'beneran' lagi, menunjukkan kepeduliannya.
Daira mengangguk mantap, mencoba untuk tersenyum lebih lebar kali ini. "Udah kok. Aku udah siap belajar lagi. Walaupun masih agak pegal-pegal sih…" Ia menambahkan keluhan kecil di akhir kalimatnya, menunjukkan bahwa proses penyembuhannya masih berlanjut.
Rani tersenyum lega. "Bagus deh! Jangan sampai ketinggalan pelajaran ya! Nanti aku bantu kalau ada yang nggak kamu ngerti."
Daira tertawa kecil, suara tawanya masih sedikit lemah, tapi sudah terdengar lebih ceria
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments