Dira menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat meraih kenop pintu kamar Bayu. Hatinya berdesir dengan rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya. Dia tahu, amarahnya tadi berlebihan.
"Bayu," panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Bayu menoleh, matanya masih berkaca-kaca. Dira melangkah masuk, hatinya mencelos melihat wajah putranya yang terluka.
"Maaf, Sayang," bisiknya, mendekat dan duduk di tepi ranjang. Bayu hanya diam, matanya menatap kosong ke arah jendela.
"Mama tahu, Mama tadi marah. Tapi Mama takut, Mama takut kamu terluka. Mama takut kamu terjebak dalam dunia yang gelap itu." Dira menggenggam tangan Bayu, merasakan dinginnya kulit putranya.
"Mama tahu, kamu mencintai Papa. Tapi Mama mohon, jangan sampai kamu terjerumus dalam kesalahan yang sama. Mama mohon, jangan sampai kamu kehilangan masa depanmu."
Air mata Dira menetes, membasahi punggung tangan Bayu. "Mama sayang kamu, Bayu. Mama sayang kamu lebih dari apa pun."
Bayu akhirnya menoleh, matanya menatap Dira dengan penuh tanya. "Mama ngerti, kan? Aku nggak bisa ninggalin Papa."
Dira mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Mama ngerti, Sayang. Tapi kamu harus tetap berjuang, kamu harus tetap kuat. Mama akan selalu ada untuk kamu."
Dira memeluk Bayu erat, merasakan tubuh putranya gemetar di pelukannya. Dia tahu, jalan yang mereka lalui tidak mudah. Tapi dia berjanji, dia akan selalu ada untuk Bayu, untuk membantunya melewati badai kehidupan.
"Ma, aku ketemu Papa bukan karena aku mau ikut dia," kata Bayu, suaranya masih bergetar, tapi kali ini ada tekad yang terpancar di matanya. "Aku ketemu Papa karena Daira."
Dira mengerutkan kening, bingung. "Daira? Apa maksud kamu?"
Bayu menarik napas, "Aku nggak mau Papa dihukum berat, Ma. Aku tahu Papa salah, tapi aku nggak mau dia dipenjara seumur hidup. Aku nggak mau Daira kehilangan Papa selamanya."
Dira tercengang. "Daira? Apa hubungannya dengan Papa? Kamu tahu, Papa yang menyebabkan Daira..." Dira terhenti, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bayu mengangguk, matanya berkaca-kaca.
"Aku tahu, Ma. Tapi aku nggak mau Daira kehilangan Papa selamanya. Aku nggak mau dia tumbuh tanpa kasih sayang Papa. Aku tahu Papa salah, tapi dia juga manusia. Dia punya hati, dia juga sayang Daira."
Dira terdiam, pikirannya kalut. Dia tahu, Bayu mencintai Daira, adik tirinya, dengan sepenuh hati. Dia juga tahu, Bayu selalu berusaha menjadi kakak yang baik bagi Daira. Tapi, bagaimana bisa Bayu membela ayahnya yang telah menghancurkan hidup Daira?
"Bayu, kamu harus mengerti. Papa yang telah menyakiti Daira. Dia yang telah membuat Daira menderita. Kamu harus membenci dia, bukan membelanya!"
Bayu menggeleng, "Aku nggak mau membenci Papa, Ma. Aku nggak mau Daira membenci Papa. Aku tahu, Papa menyesal. Aku tahu, dia sayang Daira. Aku hanya ingin Daira bisa merasakan kasih sayang Papa, meskipun hanya sedikit."
Dira terdiam, terenyuh dengan kejujuran dan ketulusan Bayu. Dia tahu, Bayu adalah anak yang baik, anak yang penuh kasih sayang. Tapi, bagaimana bisa dia begitu memaafkan ayahnya yang telah menyakiti adik tirinya?
"Bayu, kamu harus berhati-hati. Jangan sampai kamu terluka karena membela Papa."
Bayu tersenyum, "Aku nggak takut, Ma. Aku tahu, Papa sayang Daira. Aku hanya ingin Daira bisa merasakan kasih sayang Papa, meskipun hanya sedikit."
Dira memeluk Bayu erat, hatinya dipenuhi rasa haru dan kebingungan. Dia tahu, Bayu adalah anak yang baik, anak yang penuh kasih sayang. Tapi, bagaimana bisa dia begitu memaafkan ayahnya yang telah menyakiti adik tirinya
Dira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang berpacu kencang. Rasa sesak di dadanya masih terasa, tapi dia harus kuat. Dia harus menyelesaikan ini.
Dira keluar dari kamar Bayu, matanya tertuju pada foto keluarga yang tergantung di dinding. Senyum tipis terukir di wajahnya, tapi matanya berkaca-kaca. Dia teringat saat-saat bahagia bersama suaminya, saat Bayu masih kecil dan Daira baru lahir.
"Aku harus kuat," gumamnya lirih, tangannya mengepal erat.
Dia melangkah gontai menuju pintu, tubuhnya terasa lemas. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang menindih dadanya. Dia tahu, apa yang akan dia lakukan hari ini adalah keputusan yang berat, tapi dia harus melakukannya.
"Aku harus bercerai," bisiknya, matanya berkaca-kaca.
Dia meraih tasnya, mengambil beberapa berkas penting di dalamnya. Dia tahu, ini adalah akhir dari perjalanan panjang mereka.
Dira melangkah keluar rumah, menuju mobilnya. Mesin mobil berderu, membawanya menuju kantor pengadilan agama.
Di sepanjang perjalanan, Dira terus teringat pada Bayu, pada Daira, pada semua kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. Tapi dia tahu, masa lalu sudah berlalu. Dia harus menatap masa depan, membangun kehidupan baru yang lebih baik untuk dirinya dan anak-anaknya.
"Aku akan kuat," bisiknya lagi, tangannya menggenggam erat setir mobil.
Dia akan bercerai. Dia akan memulai hidup baru.
Mobil Dira berhenti di depan gedung pengadilan agama. Gedung tua itu terlihat kokoh, namun bagi Dira, bangunan itu terasa dingin dan mengesankan. Udara terasa berat, seakan-akan menekan dadanya. Dia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian yang hampir habis terkuras. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu mobil.
Pandangannya menyapu halaman pengadilan. Ada beberapa orang yang lalu lalang, sebagian terlihat tegang, sebagian lagi tampak tenang. Dira tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Campuran antara ketakutan, kegelisahan, dan juga sedikit lega. Ketakutan akan masa depan yang belum pasti, kegelisahan karena harus menghadapi proses perceraian, dan lega karena akhirnya dia mengambil langkah untuk mengakhiri semuanya.
Dia melangkah keluar dari mobil, membawa tas kecil berisi berkas-berkas penting. Langkahnya terasa berat, seolah-olah kakinya dibebani batu-batu besar. Matahari pagi menyinari wajahnya, namun Dira tidak merasakan kehangatannya. Yang dia rasakan hanyalah dinginnya kenyataan yang harus dia hadapi. Dia menarik napas lagi, mencoba menenangkan diri. Ini sudah keputusan yang bulat. Dia harus kuat. Untuk Bayu, untuk Daira, untuk dirinya sendiri. Dia harus melewati ini.
Ketua Pengadilan Agama Pak Dayat duduk tegak di kursi kerjanya, tatapannya tertuju pada berkas perkara di hadapannya. Berkas itu berisi gugatan cerai dari Daira, seorang perempuan muda yang wajahnya terpancar kesedihan. Pak Dayat telah menangani banyak kasus perceraian, namun kasus Daira terasa berbeda.
Daira adalah perempuan yang lembut, suaranya bergetar saat menceritakan kisah rumah tangganya yang retak. Ia bercerita tentang suaminya yang kasar, suka berjudi, dan sering mabuk. Pak Dayat mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk sebagai tanda empati.
"Pak Dayat, saya mohon tolong perceraian saya ini bisa cepat diproses," ujar Daira dengan suara lirih. "Saya sudah tak sanggup lagi hidup bersama suami saya."
Pak Dayat memahami rasa sakit yang Daira rasakan. Ia tahu bahwa perceraian adalah jalan terakhir, namun terkadang, itu adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan seseorang dari penderitaan.
"Saya mengerti, Bu Daira," jawab Pak Dayat dengan nada lembut. "Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memproses permohonan Anda dengan cepat dan adil."
Pak Dayat kemudian meneliti berkas perkara Daira dengan seksama. Ia ingin memastikan bahwa semua persyaratan hukum terpenuhi sebelum melanjutkan proses perceraian. Ia juga ingin memastikan bahwa Daira memahami konsekuensi dari keputusan yang akan diambilnya.
"Bu Daira, saya akan memanggil suami Anda untuk mediasi terlebih dahulu," kata Pak Dayat. "Semoga melalui mediasi, Anda berdua bisa menemukan jalan keluar terbaik untuk permasalahan rumah tangga Anda."
Daira mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia berharap mediasi bisa menjadi jalan untuk menyelamatkan rumah tangganya, namun ia juga menyadari bahwa kemungkinan terburuk adalah perpisahan.
Pak Dayat memahami harapan dan ketakutan yang Daira rasakan. Ia berjanji akan melakukan yang terbaik untuk membantu Daira menyelesaikan masalahnya, apapun keputusannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments