Bayu berdiri di depan jeruji besi, menatap ayahnya yang duduk lesu di pojokan sel. Kemarahan membara di dadanya, menghanguskan setiap rasa kasihan yang mungkin tersisa.
"Papa," ujarnya, suaranya bergetar karena kemarahan, "Apa yang kau lakukan?"
Ayahnya mengangkat kepala, menatap Bayu dengan tatapan yang tak berdaya. "Bayu..." katanya, suaranya bergetar karena ketakutan. "Aku tidak bermaksud melakukan itu."
"Tidak bermaksud?" Bayu menertawai kata-kata ayahnya itu. "Kau melakukan pelecehan seksual pada Daira! Kau menghancurkan hidupnya! Kau tidak berhak melakukan itu!"
Ayahnya menunduk lesu. "Aku minta maaf, Bayu," katanya, suaranya bergetar karena penyesalan. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan saat itu."
"Kau tidak tahu?" Bayu menertawai kata-kata ayahnya itu lagi. "Kau tahu persis apa yang kau lakukan! Kau sengaja melakukan itu! Kau ingin menghancurkan hidup Daira!"
"Tidak, Bayu," kata ayahnya, suaranya bergetar karena ketakutan. "Aku tidak ingin melakukan itu. Aku minta maaf."
"Maaf?" Bayu menertawai kata-kata ayahnya itu lagi. "Maaf tidak akan mengembalikan hidup Daira! Maaf tidak akan menghilangkan rasa sakit yang dialaminya! Maaf tidak akan menghilangkan rasa malu yang dialaminya!"
"Aku tahu," kata ayahnya, suaranya bergetar karena penyesalan. "Aku minta maaf."
"Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" teriak Bayu. "Kau harus dihukum atas perbuatanmu!"
"Aku tahu," kata ayahnya, suaranya bergetar karena penyesalan. "Aku akan menjalani hukuman ku."
Bayu menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh kebencian. Ia tidak percaya bahwa ayahnya akan menyesali perbuatannya. Ia tidak percaya bahwa ayahnya akan menjalani hukumannya. Ia tahu bahwa ayahnya akan mencoba untuk menghindari hukumannya.
"Semoga kau membusuk di penjara ini," ujar Bayu, suaranya bergetar karena kemarahan. "Semoga kau merasakan rasa sakit yang sama yang kau berikan pada Daira."
Bayu berbalik dan meninggalkan ayahnya yang terduduk lesu di pojokan sel. Ia marah dan kecewa pada ayahnya. Ia tidak percaya bahwa ayahnya bisa melakukan hal itu. Ia tidak percaya bahwa ayahnya bisa menghancurkan hidup Daira.
Bayu bertekad untuk memastikan ayahnya menjalani hukumannya. Ia tidak akan menyerah sampai keadilan ditegakkan.
Bayu menggebrak pintu sel tahanan dengan kasar, suaranya bergetar karena kemarahan. Ia menatap ayahnya yang duduk lesu di pojokan sel dengan tatapan yang penuh kebencian.
"Papa!" teriaknya, suaranya bergetar karena kemarahan. "Apa yang kau lakukan?"
Ayahnya mengangkat kepala dan menatap Bayu dengan tatapan yang tak berdaya. "Bayu..." katanya, suaranya bergetar karena ketakutan. "Aku tidak bermaksud melakukan itu."
"Tidak bermaksud?" Bayu menertawai kata-kata ayahnya itu. "Kau melakukan pelecehan seksual pada Daira! Kau menghancurkan hidupnya! Kau tidak berhak melakukan itu!"
Ayahnya menunduk lesu. "Aku minta maaf, Bayu," katanya, suaranya bergetar karena penyesalan. "Aku tidak tahu apa yang kumikirkan saat itu."
"Kau tidak tahu?" Bayu menertawai kata-kata ayahnya itu lagi. "Kau tahu persis apa yang kau lakukan! Kau sengaja melakukan itu! Kau ingin menghancurkan hidup Daira!"
"Tidak, Bayu," kata ayahnya, suaranya bergetar karena ketakutan. "Aku tidak ingin melakukan itu. Aku minta maaf."
"Maaf?" Bayu menertawai kata-kata ayahnya itu lagi. "Maaf tidak akan mengembalikan hidup Daira! Maaf tidak akan menghilangkan rasa sakit yang dialaminya! Maaf tidak akan menghilangkan rasa malu yang dialaminya!"
"Aku tahu," kata ayahnya, suaranya bergetar karena penyesalan. "Aku minta maaf."
"Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" teriak Bayu. "Kau harus dihukum atas perbuatanmu!"
"Aku tahu," kata ayahnya, suaranya bergetar karena penyesalan. "Aku akan menjalani hukuman ku."
Bayu menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh kebencian. Ia tidak percaya bahwa ayahnya akan menyesali perbuatannya. Ia tidak percaya bahwa ayahnya akan menjalani hukumannya. Ia tahu bahwa ayahnya akan mencoba untuk menghindari hukumannya.
"Aku akan mengawasi mu," kata Bayu. "Aku akan memastikan kau menjalani hukumanmu."
Bayu berbalik dan meninggalkan ayahnya yang terduduk lesu di pojokan sel. Ia marah dan kecewa pada ayahnya. Ia tidak percaya bahwa ayahnya bisa melakukan hal itu. Ia tidak percaya bahwa ayahnya bisa menghancurkan hidup Daira.
Bayu bertekad untuk memastikan ayahnya menjalani hukumannya. Ia tidak akan menyerah sampai keadilan ditegakkan.
Bayu berdiri tegak di depan sel tahanan, matanya masih berbinar dengan kemarahan yang belum padam. Ia menatap ayahnya yang terduduk lesu di pojokan sel, kemudian berbalik menghadap para polisi yang bertugas.
"Terima kasih," ujarnya, suaranya masih bergetar karena emosi, "Terima kasih sudah menangkap dia."
Kombes yang bertugas menatap Bayu dengan tatapan yang penuh simpati. "Kami melakukan tugas kami, Nak," ujarnya, "Kami akan memastikan ia menjalani hukumannya."
"Semoga dia membusuk di penjara ini," ujar Bayu, suaranya masih bergetar karena kemarahan. "Semoga dia merasakan rasa sakit yang sama yang dia berikan pada Daira."
Kombes mengangguk dan menatap Bayu dengan tatapan yang penuh simpati. "Kami mengerti rasa sakitmu, Nak," ujarnya. "Kami akan memastikan keadilan ditegakkan."
"Terima kasih," ujar Bayu lagi, suaranya sedikit melunak. "Saya pergi dulu."
Bayu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan sel tahanan yang menyeramkan itu. Ia merasakan beban yang menghilang dari dadanya. Ia tahu bahwa ayahnya akan menjalani hukumannya. Ia tahu bahwa keadilan akan ditegakkan.
Bayu melangkah pergi dengan langkah yang pasti, meninggalkan Kombes yang menatap perginya dengan tatapan yang penuh simpati. Kombes tahu bahwa Bayu masih akan mengalami rasa sakit yang mendalam karena perbuatan ayahnya. Namun, Kombes juga tahu bahwa Bayu adalah anak yang kuat. Ia akan melewati masa-masa sulit ini dan akan menemukan kekuatan di dalam dirinya untuk memulihkan hidupnya.
Bayu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan sel tahanan yang menyeramkan itu. Ia merasakan beban yang menghilang dari dadanya. Ia tahu bahwa ayahnya akan menjalani hukumannya. Ia tahu bahwa keadilan akan ditegakkan.
Bayu melangkah dengan langkah yang pasti, meninggalkan Kombes yang menatap perginya dengan tatapan yang penuh simpati. Kombes tahu bahwa Bayu masih akan mengalami rasa sakit yang mendalam karena perbuatan ayahnya. Namun, Kombes juga tahu bahwa Bayu adalah anak yang kuat. Ia akan melewati masa-masa sulit ini dan akan menemukan kekuatan di dalam dirinya untuk memulihkan hidupnya.
Bayu mencapai motornya yang terparkir di halaman kantor polisi. Ia memakai helmnya, menyalakan mesin motornya, dan segera meninggalkan kantor polisi itu. Angin malam menerpa wajahnya, membawa serta aroma aspal dan asap kendaraan. Bayu mengaspal dengan cepat, meninggalkan di belakangnya semua kejadian yang menyakitkan itu. Ia bertekad untuk memulai hidup baru, hidup yang bebas dari bayang-bayang perbuatan ayahnya. Ia akan mencari kebahagiaan dan ketenangan yang telah lama hilang.
Bayu melangkah masuk ke rumah, wajahnya masih menunjukkan jejak kemarahan dan kekecewaan. Ia menatap Dira yang sedang duduk di sofa, menunggu kedatangannya.
"Bayu, kamu dari mana saja?" tanya Dira, suaranya bergetar karena kecemasan. "Kenapa lama sekali?"
"Aku baru dari kantor polisi," jawab Bayu, suaranya datar.
Seketika, wajah Dira berubah menjadi marah. "Kantor polisi?" ujarnya, suaranya meninggi. "Kenapa kamu ke sana?"
"Aku menemui Papa," jawab Bayu, suaranya masih datar.
"Papa?" Dira menertawai kata-kata Bayu itu. "Kau berani menemui penjahat itu? Kau berani menemui orang yang telah menghancurkan hidupku dan anakku?"
"Dira..." Bayu mencoba menjelaskan, namun Dira menghentikannya dengan gerakan tangan yang kasar.
"Jangan panggil aku ibu!" bentak Dira. "Aku tidak mau lagi dihubungkan dengan orang itu! Aku tidak mau lagi dihubungkan dengan ayahmu itu!"
"Dira, kumohon..." Bayu mencoba menjelaskan lagi, namun Dira menolak mendengarkan. Ia berdiri dan berjalan menuju kamar tidurnya, meninggalkan Bayu yang terpaku di tempatnya.
"ibu, kumohon, dengar aku..." Bayu mencoba menjelaskannya lagi, namun Dira sudah menutup pintu kamarnya dengan keras. Bayu terdiam sejenak, merasakan rasa sakit yang mendalam di hatinya. Ia tahu bahwa Dira marah padanya, namun ia tidak tahu bagaimana cara menenangkannya. Ia tahu bahwa ibunya masih terluka karena perbuatan ayahnya. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus menjelaskan segalanya pada Dira. Ia harus membuat Dira memahami situasinya.
"ibu kumohon, buka pintunya," ujar Bayu, suaranya bergetar karena kecemasan. "Aku harus menjelaskan segalanya padamu."
Namun, Dira tidak menjawab. Ia hanya diam di dalam kamarnya, menutup diri dari dunia luar. Bayu terdiam sejenak, merasakan rasa sakit yang mendalam di hatinya. Ia tahu bahwa ia harus menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan segalanya pada ibunya itu. Ia tahu bahwa ia harus memberikan waktu pada Dira untuk menenangkan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments