Altheo datang ke kelas tepat setelah jam pelajaran pertama berakhir. Berbeda dari biasanya, tak banyak komentar mendatangi pemuda itu, bahkan dari Tiara sekawan yang biasanya sangat akrab dengannya. Selain itu wajah pemuda itu tampak dalam suasana hati yang buruk, sampai ketika duduk suara decitan kursinya membuat merinding.
"Gilsa." Dia memanggil dengan lembut, tapi ada penekanan dalam nadanya yang membuat itu seperti amarah tertahan. Gilsa mencoba mengabaikannya, seperti kemarin. Dia berpikir jika Altheo terus keras kepala Gilsa hanya perlu mengamuk seperti kemarin.
"Sungguh, aku sangat marah saat ini."
Gilsa mendengarkan tanpa mau melihat. Dia dalam hati bertanya untuk apa Altheo memberitahunya? Memangnya Gilsa bisa apa dan harus apa jika dia marah?
"Orang itu, dia berbuat sejauh apa padamu?"
Gilsa sontak bangun dari tidur palsunya dan menatap Altheo. Matanya bergetar.
"Ada apa?"
Kini dia bisa melihat seberapa marah Altheo, bukan hanya dari nada suaranya.
"Apa kau sudah menahannya selama ini?"
Gadis itu terdiam. Dia mencoba menebak apa yang coba Altheo maksud. Jika benar pemuda ini bertemu Kevin dan komplotannya, kemungkinan besar ada aib Gilsa yang diungkapkan sampai Altheo tahu dia sudah lama menahan sesuatu.
"Tidak, aku tidak menahannya. Aku setuju melakukan itu," katanya. Meski tak tahu itu adalah aib yang mana. Banyak perselisihan antara dia dan Kevin, pemuda itu juga banyak mengambil bukti buruk soal dirinya untuk menyerang balik Gilsa.
Namun satu hal yang pasti, Gilsa selalu terpojok dalam situasi itu, sehingga cara termudah membuat Altheo diam adalah dengan mengatakan dia sukarela melakukan apapun yang Kevin perlihatkan.
Mungkin itu saat dia dipaksa minum atau merokok.
"Kau kenapa melindunginya? Dia jelas memaksamu, apalagi sampai mengatakan dengan percaya diri kau gadis yang tak baik."
Gilsa memiliki lampu di kepalanya begitu mendengar jawaban itu. Ah, sepertinya jauh lebih buruk dari rokok dan minuman.
"Aku memang jahat dan nakal, kau saja yang tidak tahu." Gilsa kembali menidurkan diri, tapi kali ini menghadap pada Altheo.
"Kita buktikan saja nanti." Altheo menyerahkan ponselnya yang menyala dengan sebuah profil kontak dari nomor asing ke meja Gilsa.
"Aku akan ke atap setelah istirahat."
•••
Apa yang akan terjadi jika Altheo dibiarkan menemui Kevin untuk kedua kalinya?
Gilsa tahu akan ada masalah, tapi jika dia menyusul pemuda itu sia-sia saja acara ributnya dengan Altheo kemarin. Gilsa tak akan membantu meski dia memaksa satang ke atap dan membela Altheo.
"Aku akan ke atap setelah istirahat, ingat baik-baik jika kau memang tak punya rasa peduli pada orang lain."
Gilsa menghela napas. Jika pemuda itu seperti ini terus ini juga menyulitkan tak hanya untuk Gilsa, tapi untuk Altheo sendiri. Dia tak bisa berpikir bahwa dengan menunjukan perasaan akan membuat semuanya lebih baik. Mungkin, malah lebih bagus Altheo merasakan sendiri hasil kepeduliannya pada orang lain akan berbuah semengerikan apa. Sehingga dia akan menjauhi Gilsa dengan sendirinya.
Gilsa menyayangkan suatu hal ketika dia berpikir hal itu akan terjadi.
Sungguh disayangkan dia tak bisa mempertahankan sosok seperti Altheo dan Prima di hidupnya.
"Kalian tahu? Di lantai empat ada yang ribut."
Gilsa mengalihkan tatap ke pintu dimana kehebohan itu datang. Anak-anak kelasnya dan kelas lain saling berkumpul lalu mengobrolkan kejadian yang mereka lihat.
Benar, kan?
"Beneran?"
"Iya, dia anak kelas kalian. Sama Kak Kevin, dan teman-temannya."
"Wah, kok bisa? Kita harus bagaimana ini?"
Gilsa menutup telinganya, dia tak mau mengetahui itu dan membuat rasa bersalah semakin meliputi dadanya.
Seberapa parah pun pertengkaran itu pasti tak akan berujung kematian, Gilsa tahu sifat Kevin yang suka cari aman.
Dia ingin merebahkan diri sekarang.
"Sial! Ada yang jatuh di tangga lantai empat!"
Namun teriakan itu mengalihkan atensi Gilsa hingga dia menatap jendela kelas yang semakin ramai.
Tidak, kan?
Tidak mungkin.
"Guru-guru pada ke sana."
Sial, Gilsa tak tahu lagi soal perjanjian atau apapun. Dia segera berdiri dan berlari, menubruk siapa saja yang berdiri di lorong kelas. Diantara keramaian itu hanya dia yang bersikap panik seolah seseorang akan mati dalam situasi ini.
"Tidak, jangan berani-beraninya kalian berbuat hal seperti itu." Gilsa bernapas dengan tersenggal. Ingatannya terus berputar pada tubuh bersimbah darah seseorang, yang dikerumuni hingga membuatnya sulit mendekat.
Tidak boleh.
Dia tidak bisa membuat seseorang hampir mati sampai dua kali.
Saat itu entah bagaimana bisa, matanya berair dan memanas dengan cepat. Gilsa tak tahu lagi, kepalanya dipenuhi berbagai adegan buruk. Padahal, sudah lama semenjak dia menangis dan bersedih.
Dia ketakutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments