Kembalinya sang Iblis

Altheo selalu datang ke sekolah dalam suasana yang sama, dia hanya berjalan langsung ke kelas dan menyapa beberapa orang yang menatapnya dalam perjalanan. Tak ada yang aneh sebetulnya jika dia beramah-tamah atau orang lain yang seperti itu padanya. Namun, entah kenapa ada yang berbeda dengan hari ini.

"Boleh, kan, Bang kalau konsul sama Abang?" Ada anak kelas 10 di depan gerbang sekolah yang menyapanya dan mengajaknya mengobrol di tepi halaman. Mereka berjumlah 4 orang, dan seperti menahannya untuk masuk ke kelas mereka tak henti-henti mengatakan topik pembicaraan.

"Boleh, tapi aku harus masuk ke kelas sekarang. Ada baiknya kalian juga kayak gitu, ya."

"Alah, Bang masih lama kok. Mending kita ngobrol aja di sini?" Salah satu dari mereka menghalangi aksesnya pergi, lagi. Altheo jadi kesal lama-lama. Mungkin terlalu ramah juga tak baik.

"Atau mau ngobrol di rooftop aja? Seru lho, Bang."

"Sudah ya, kalian masuk kelas sana. Aku harus ke kelas, ada tugas." Altheo mendorong bahu itu, agak bertenaga karena dia bersikeras menghalangi. Pada akhirnya pemuda itu tak memedulikan apapun kata mereka dan terus berjalan masuk ke sekolah.

Apa dia terlalu menunjukan dia mudah didekati selama ini? Altheo tak paham kenapa itu berakhir tak mengenakan. Dia menaiki tangga sambil berpikir soal itu, lalu terlambat menyadari ada kumpulan beberapa orang di tangga atas sebelum lantai kelasnya. Baru kali ini tangga ke lantai 2 dipakai berkumpul.

Keanehan kedua itu dikonfirmasi dengan mudah.

"Altheo, ya?"

Rupanya mereka memang menunggu dirinya.

•••

"Wah, besar banget ya."

Gilsa tertegun dan segera menjauh, menatap marah mereka yang berdiri di belakangnya saat suara tawa menggelegar di sepanjang lorong, tepat setelah rok belakangnya diangkat tiba-tiba. Dia mendekatkan diri ke tembok sekarang.

"Apa-apaan kalian? Apa kalian waras?" Gilsa meneriaki siswa-siswa itu. Apalagi sekarang mereka mendekat, mengelilinginya dan menghalangi akses dia pergi ke lantai atas. Hal yang paling mengejutkan dan membuat kesal adalah saat ini Gilsa sedang berada di lantai 1, yang artinya mereka semua yang saat ini mengerjainya adalah murid kelas 10.

"Apa sih, Kak, lebay amat? Orang cuman bercanda."

"Iya."

"Jalan lagi aja sana, kita cuman mau liat."

Gilsa mengigit lidahnya, hal seperti ini hanya bisa terjadi jika ada yang memelopori, dan itu sudah jelas asalnya darimana.

"Kevin yang menyuruh, kan?"

Mereka saling pandang seolah tak mengerti apa yang Gilsa tanyakan. Padahal saat kemarin dia bertengkar dengan Kevin wajah-wajah ini juga ada di sana, di kelas terkutuk itu.

Gilsa melepaskan tasnya, menjadikannya senjata untuk mendorong mereka agar menjauh. Gilsa dengan cepat berlari saat ada celah terlihat. Namun tak dapat dia kira, punggungnya akan di dorong saat itu hingga dia hampir terjatuh.

Benar, hampir.

Karena kini ada tangan yang melingkari perutnya.

"Kakak imut deh." Rasa merinding datang dari suara yang berbisik di telinga. Pipi yang kasar dan rambut yang pendek terasa di sebelah kanan wajah Gilsa, di dekat telinganya hingga ke pipi.

"Bajingan! Berani sekali kau! Menjauh dariku!" Gilsa meronta, itu berhasil terlepas andai saja orang ini tidak mengangkat tubuhnya lalu memutar tubuh hingga kembali ke posisi sebelumnya. Mereka bersorak bersama-sama sampai rasanya teriakan itu bisa terdengar ke seluruh lantai 10.

"Apa sih?! Apa yang kalian mau bajingan?!" Dia tak akan hanya pasrah atau ketakutan dalam situasi ini. Hanya ada tiga siswa, mereka tak sebanyak itu sampai Gilsa harus ketakutan. Dia terus memberontak, memukul siapa saja yang mendekat dan menjadikan lagi tasnya sebagai senjata untuk melawan. Anak-anak ini tidak takut atau terlihat ingin berhenti menganggunya, mereka masih bisa tertawa pada satu sama lain.

"Duh, Kak, kasar banget sih."

"Wow, mukaku yang ganteng ini hampir kena lho Kak. Nanti aku marah banget kalau Kakak terus gitu."

"Sudah ya."

"Jangan menyentuhku." Gilsa berjalan mundur lagi. "Katakan apa yang kalian mau."

"Tidak ada, Kak." Salah seorang dari mereka menyenggol yang lain. "Ya, kan?"

Saat itu ada beberapa siswi berdatangan yang juga ingin masuk ke kelas, dan ketiga siswa ini langsung menepi. Menghimpit Gilsa di antara tembok. Gilsa menatap kepergian siswi-siswi itu dengan tajam karena ketiga murid ini membiarkannya pergi tanpa ada yang menganggu, yang mana membuat Gilsa semakin kesal. Wajahnya sangat serius menatap ketiga orang ini sekarang, tepat ketika mereka menjauh lagi untuk memberi jarak.

"Jangan marah gitu, Kak. Kita mau akrab aja sama Kakak. Bagaimana kalau makan bersama di kantin? Kita traktir deh."

Gilsa diam. Dia tak akan mau menanggapi omong kosong itu.

"Kita tertarik sama Kakak tahu."

"Iya, apalagi Kakak peringkat pertama di angkatan kelas 10 tahun lalu. Kita mau juga pinter kayak Kakak."

Gilsa merapihkan rambutnya alih-alih menjawab. Dia seolah berbenah diri, dan itu diperhatikan dengan heran oleh adik-adik kelasnya. Gilsa hanya berpikir ini bukan yang pertama kalinya, sehingga dia tak ingin membiarkan amarah terlalu menguras tenaga dia seharian ini. Gadis itu sudah lelah dengan semalaman menunggu di rumah sakit sampai waktu pagi datang.

"Lakukan." Gilsa melempar tasnya ke lantai lalu merentangkan tangan. Dia memprovokasi orang-orang yang ingin menganggunya dengan melakukan pelecehan murahan ini.

"Kenapa diam? Mau pegang-pegang kan? Sini," katanya lagi.

Namun tak sesuai apa yang ditunjukan, para pemuda itu tak berani melakukannya. Mereka saling pandang, teringat peringatan Kevin yang mengatakan jangan sampai ketahuan guru atau ada yang melaporkan. Apalagi niat mereka yang menganggu seolah hilang karena Gilsa malah mengijinkan alih-alih terusik.

"Kau tidak seru, Kak."

Orang-orang itu akhirnya hanya tertawa, menepuk bahu Gilsa saat berjalan pergi melewatinya yang masih diam merentangkan tangan. Gilsa melirik kepergian itu dalam raut buruk, dia mengambil kembali tas lalu melanjutkan perjalanan ke kelas dalam suasana hati yang tak kalah buruk.

Sepertinya Gilsa harus menahan gangguan berlebihan ini sampai beberapa minggu hingga Kevin lupa, sama seperti dulu.

Karena jika dia melawan pria itu malah akan semakin menganggu.

•••

Di atap sekolah dimana Altheo diseret oleh orang-orang asing dari tangga, beberapa orang juga sudah ada si sana, seolah sedang menunggu. Dia tak paham maksud dan tujuan ini apa, apalagi ada salah satu anak dari kelasnya di antara orang-orang itu. Walaupun tak dekat, seharusnya Clarissa, gadis yang duduk di meja itu, tahu siapa Altheo.

Suasana ini seperti ingin mengeksekusi seseorang. Kenapa Altheo merasa dia tengah dirugikan padahal tak ada yang terjadi?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!