Pelajaran Pak Akbar berakhir dengan pemberian tugas untuk membuat infografis mengenai pasal hukum dari masing-masing bab yang ada di buku. Untungnya itu tugas kelompok yang dibagi menjadi 6 kelompok dan dipilih dengan acak oleh sekretaris. Altheo hanya tinggal menunggu saja hasilnya nanti. Namun sekarang setelah bel istirahat berbunyi dan orang-orang pergi keluar kelas, dia malah mengantuk. Ajakan Kailo dan Tiara pun dia tolak, pemuda itu memilih tertidur untuk mengistirahatkan otaknya.
Biasanya saat istirahat tiba Altheo selalu mengikuti Kailo berkunjung ke ruang Klub Musik dan Olahrga untuk ikut bermain atau sekadar menonton. Padahal dia ada janji tanding hari ini dengan kelas lain, tapi kantuk jauh lebih menyenangkannya daripada bola. Siapa yang tahu akan ada masa dirinya kantuk lagi lain kali. Semalam dia tidak tidur nyenyak jadi wajar jika kini suasana bosan sedikit saja membuatnya lelah.
Namun tiba-tiba bantingan kuat datang ke atas meja, menarik paksa kantuknya hingga Altheo terlonjak bangun. Kantuknya menghilang dan pemandangan seseorang berdiri di depannya menjadi semakin jelas. Altheo berdecak kesal.
"Apa?" Itu Prima, dia datang ke meja Altheo dengan melempar sebuah buku tebal berwarna cokelat tua.
"Kau tahu siapa yang berbuat hal ini?" tanyanya dengan nada yang lebih ketus dari biasanya. Altheo tak paham apa maksud Prima, dia mencoba bangun dan menegakan tubuh untuk mulai meraih buku itu dan melihat isinya.
"Astaga." Matanya sedikit bergetar saat melihat lembar lembar halaman buku yang tersobek-sobek. Bahkan ada banyak yang dicoret menggunakan bolpoin hingga robek.
"Aku tak tahu." Altheo menyanggah. "Dari tadi aku tidur, sungguh."
Tiba-tiba keningnya mengkernyit saat Prima tak juga memudarkan tatapan tajamnya.
"Hei, kenapa kau bertindak seakan aku pelakunya?" Altheo tentu protes. Meski begitu Prima seolah tak percaya, mengambil paksa buku ditangan Altheo. Matanya yang sudah tajam semakin meruncing.
"Hanya kau yang ada di sini."
"Hah, hanya aku?"
Keduanya tiba-tiba terdiam. Altheo menatap sekeliling dan memang hanya ada mereka berdua--dan Gilsa--tentunya.
"Lalu siapa?" Prima bertanya sinis. "Gilsa maksudmu?"
Altheo melirik pemilik nama tersebut. Gilsa terlihat sibuk memainkan ponselnya seperti tadi pagi.
"Eh?" Wajah Altheo entah kenapa malah berubah terkejut. "Kau juga tak menyukai Gilsa?"
Kali ini gadis yang biasanya tegas itu tampak terdiam dengan raut wajah yang tak terbaca. Dia tak mengiyakan, wajahnya pun tak menunjukan raut negatif, tapi bukan berarti Prima menyangkalnya. Wajah itu tidak terlihat ramah untuk menunjukan arti pertemanan.
"Gilsa, apa kau melihat ada orang yang merobek buku ini?" Altheo bertanya mewakili Prima karena gadis itu tak kunjung juga menjawab. Namun Prima memalingkan wajah ke arah berlawanan dari Gilsa saat gadis itu mulai melirik mereka.
"Tidak." Gilsa menjawab tanpa pikir panjang. "Tidak perduli juga. Lagipula itu hanya buku karangan, tak akan membuatmu pintar meski dibaca ribuan kali."
Atensi Prima terenggut oleh perkataan kasar itu. Tatapan keduanya bertemu. Sama-sama dingin, sama-sama sinis.
"Lebih baik kau berkaca," cerca Prima. "Selama kau memiliki pemikiran semua orang sama buruknya di dunia ini, tak akan ada yang berubah bahkan jika seseorang mulai peduli padamu."
Prima berkata sesuatu yang tak dapat Altheo pahami. Biasanya jika itu hal buruk soal Gilsa pasti menyangkut nilai, sikap buruknya, atau hubungan khusus antara dia dan guru-guru. Namun, apa yang Prima katakan adalah hal yang terlalu spesifik, seolah dia mengenal Gilsa dengan baik.
"Jangan bicara sok pintar." Gilsa terpancing untuk membalas.
"Tidak, aku benar."
"Kau tahu kau salah. Aku mengenalmu dengan baik."
Kedua alis Altheo terangkat seketika. Tebakannya benar ternyata. Apalagi dia tak nyangka konfirmasi itu akan keluar dari Gilsa, yang tampak sangat membenci orang lain.
Prima tersenyum kecut.
"Aku kasihan pada orang-orang yang bernasib sama dengan mantan temanmu," katanya. Dia langsung memutus tatapan keduanya dan berbalik pergi sambil membawa buku itu kembali. Melempar bukunya keatas meja miliknya, lalu keluar kelas dengan sambil membanting pintu hingga terbuka lebar.
Altheo menatap kepergiannya dengan bingung, dia juga linglung karena baru kehilangan rasa kantuknya. Di sampingnya Gilsa juga diam. Dia berkedip berkali kali seolah menenangkan diri.
"Kalian berdua berteman?"
Tak ada reaksi dari Gilsa. Mungkin itu jauh lebih rumit dari pertemanan, atau bisa saja lebih buruk. Altheo merasa seperti sedang tertinggal sebuah episode dari cerita yang selalu dia tonton. Dia penasaran.
"Kau tahu siapa yang melakukan itu pada buku Prima? Bukankah kau tidak pernah keluar?" tanyanya lagi. Kali ini Gilsa menatapnya, meski dengan wajah seram sembari melipat tangan di depan perut.
"Kau juga menuduhku?"
"Aku bertanya, sudah jelas bukan?"
Lalu mereka sama-sama diam.
"Aku tadi sempat pergi ke ruang guru."
Altheo mengernyit. "Ruang guru? Apa masalah Genan?"
Namun alih-alih menjawab wajah Gilsa malah tampak bingung. Dia melihat Altheo dengan sorot tak percaya.
"Kau tak tahu rumor soal aku yang memanfaatkan koneksi?"
Ah, apa yang itu? Altheo kini tertegun.
"Rupanya sudah." Gilsa berpaling tatap agak jengkel. Dia pikir orang ini belum tahu karena reaksinya yang tulus.
"Itu ... benar?"
Gilsa melamun sekarang. Jika ditanyakan jawabannya antara benar dan tidak. Gilsa bukan sengaja malas-malasan di kelas, tapi tak ada bedanya antara dia serius atau tak acuh. Pada awalnya dia hanya beberapa kali ke ruang guru untuk membawa modul yang Ayahnya minta dibuatkan. Itu bukan modul berisi kunci jawaban atau sesuatu semacamnya. Itu hanya modul pelajaran biasa, sama dengan buku pelajaran hanya saja dibuat lebih ringkas. Namun rumor mulai muncul saat kelas 10 karena hal ini, dan lama-lama itu berubah menjadi tuduhan.
"Kenapa?" Suara Altheo merenggut lamunannya hingga tanpa sadar Gilsa menoleh.
"Aku melakukannya karena itu perintah."
Altheo hanya semakin bingung dengan jawabannya.
"Jadi Ayahmu melakukan semacam perintah untuk guru-guru memberimu nilai bagus?"
Gilsa tertawa kecil. "Kalau begitu untuk apa aku sering ke sana jika mereka tinggal memberikan nilai bagus?"
Benar, jika nilai bisa dibeli semudah itu Gilsa tak perlu ke ruang guru setiap hari bahkan sampai setiap istirahat. Meski terlihat seperti peringkat yang Gilsa dapat adalah hasil curang, kenyataannya tidak begitu. Semuanya murni hasil dari apa yang dia pelajari. Gilsa hanya muak, pada Ayahnya, pada orang-orang yang selalu membuat rumor dan mengganggunya, pada setiap manusia di dunia ini, maka dia memilih menjadi kotor. Dia memilih untuk meladeni tuduhan orang-orang soal dirinya yang berbuat curang, yang licik, jahat juga nakal. Dia ditindas entah bersikap tenang atau menjadi-jadi, sehingga Gilsa memilih dihina atas apa yang memang dia lakukan daripada tidak.
Setiap hari gadis itu bermalas-malasan di kelas, berpakaian sesukanya, memamerkan kedekatannya dengan para guru, lalu saat istirahat dan pulang tiba dia akan ke ruang guru, meminta guru yang mengajar di kelasnya mengajarkan ulang materi yang sama padanya di sana.
Hanya itu.
"Aku hanya belajar." Itu adalah jawaban yang Altheo dapat setelah menunggu dengan sangat sabar. Benar, dia hanya mendapatkan kebingungan alih-alih jawaban.
"Lalu siapa yang merusak buku Prima? Kita sama-sama tidak melihatnya."
Gilsa kembali melamun. Dia teringat pada Morgan sekarang.
"Mungkin aku sudah menyulut sesuatu lagi."
•••
Gilsa tak terlalu suka keluar kelas saat jam istirahat. Selain karena banyak pasang mata yang menatap miring dirinya. Kejadian-kejadian tak terduga juga akan muncul, seperti tiba-tiba dia dilabrak seseorang atau yang lebih parah lagi malah bertemu Morgan juga antek-anteknya. Gilsa paling benci jika yang terakhir.
Morgan itu kakak kelasnya, setahun yang lalu mereka tak sengaja dekat karena saling mengikuti di akun sosial media. Gilsa tak tahu orang itu cukup gila sampai menghampiri dan mengajaknya berkenalan di dunia nyata. Sayangnya diq telat menyadari seberapa gila Morgan dan terjerumus terlalu dalam.
"Kau mengajakku kemana?"
Benar, Altheo juga ada di sampingnya saat ini. Mereka berjalan beriringan keluar kelas, menuju tempat paling samping sekolah, yang dekat dengan gymnamsium olahraga.
"Kita pasti jadi tersangka utamanya, kau mau masuk BK lagi?" balas Gilsa. Mereka sampai di sana, itu ruang loker sekolah. Altheo juga sering ke sini untuk menyimpan baju ganti kalau berolahraga.
"Kenapa kita kemari?" Mereka masuk ke dalam dan menutup pintu. Gilsa melihat sekitar terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada siapa-siapa. Ada banyak sekali loker sehingga Altheo harus menunggu lama di dekat pintu sampai gadis itu selesai mengecek. Loker setiap kelas di bedakan dengan urutan angka sesuai kelas, dan kelas mereka adalah kelas 11-3 sehingga itu jelas di urutan ke tiga.
"Ayo." Gilsa mengajak Altheo mendekati loker mereka. Di setiap pintu loker terdapat nama murid yang diurutkan sesuai absen.
Gilsa melihat lokernya, dia memutar kunci otomatis di sana lalu membukanya. Tiba-tiba banyak barang jatuh disertai bau menyengat yang seperti makanan busuk, Altheo sampai menutup hidung. Dia lihat ada banyak kertas yang di remas dan kotor berjatuhan ke lantai.
"Apa ini?" Pemuda itu mendekat dan membuka pintu, dia lebih terkejut dengan apa yang ada di dalam sana. Coretan pada pintu, buku-buku dan pakaian yang robek serta sampah kertas yang diremas dan ternodai makanan memenuhi loker Gilsa.
Namun hal yang paling mencuri perhatiannya adalah sesuatu yang menempel di balik pintu loker. Itu foto palaroid, ada banyak tertempel dan di sana ada wajah yang Altheo kenali.
"Prima?"
Banyak dari foto-foto itu yang telah dipenuhi coretan. Selain itu ada banyak catatan sticky notes yang ditempel di sekitarnya. Ada catatan yang manis, tapi ada juga catatan berisi kalimat buruk.
"Bukankah ini pembullyan?"
Gilsa berdehem. Dia mendekat dengan sembil menutup hidung untuk melihat isi lokernya lebih jelas.
"Itu dia kenapa yang kau lakukan kemarin itu sangat berlebihan. Hal seperti ini saja tidak mereka pedulikan."
Altheo meringis. "Kau diam saja?"
"Aku harus melakukannya agar tidak bertemu Ayahku."
Mereka diam. Dengan Altheo yang menatap lekat Gilsa, sementara gadis itu melihat-lihat isi kertas di dalam lokernya.
"Itu artinya aku membuatmu bertemu dengannya kemarin?"
Deheman Altheo dapat sebagai jawaban.
"Maaf, aku tak tahu kau tak menyukainya."
Gilsa selesai, dia melepaskan hidungnya dan menarik napas dalam-dalam. Loker itu kemudian ditutup secepat kilat. Suara kunci otomatis terdengar jelas.
"Apa aku terlihat dekat dengan Prima?"
Altheo mengernyit kembali. "Kau bertanya padaku? Mana kutahu."
"Menurutmu kita dekat?" Gilsa menatapnya dengan sangat bingung.
"Kenapa bertanya begitu? Apa kau tahu sesuatu?" Altheo menunjuk loker. "Apa di sana kau menemukan pelakunya?"
Alih-alih menjawab, Gilsa malah menggigiti bibirnya sendiri. Ini pertama kalinya Altheo melihat gadis itu gelisah.
•••
Prima melihat ke arah langit sembari menghembuskan napas panjang. Tubuhnya sudah duduk manis di kursi lapangan sekolah, dan di kedua telinganya tersumpal earphone dengan musik yang mengiringi. Biasanya dia akan membawa buku dan membaca novel di sana sambil memakan jajanan kantin. Namun seseorang telah merusaknya sekarang.
Meski Prima tampak seperti penggila buku dan memakai kacamata, tapi dia tidak terlalu pintar dalam pelajaran. Prima termasuk ke dalam murid rata-rata, nilainya hanya terbilang cukup, sehingga tak pernah ada yang menganggap gadis itu saingan dalam mencapai peringkat. Namun sesuatu baru dia pelajari dua tahun lalu saat menjadi murid kelas 10, bahwa ada hal yang bisa memicu masalah meskipun itu bukan dari kemampuan.
Itu wajahnya.
Ada seseorang yang mengatakan Prima sangat cantik sehingga bisa membuat seseorang melakukan kejahatan hanya karena melihat wajahnya.
"Semua murid tahu Gilsa tak akan keluar kelas saat istirahat jika tak ada kepentingan khusus." Tatapan mata Prima beralih pada ramainya lapangan. Di seberang lapangan tampak beberapa kakak kelas sedang beristirahat di tepi kelas. Mereka memakai baju basket tanpa lengan.
"Apa seseorang sengaja menciptakan situasi ini?" Tatapan Prima menjadi sendu. Dia teringat kejadian saat pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini. Itu kenangan yang lapuk, meski pernah terjadi tak bisa diingat kembali. Prima pernah sangat dekat dengan Gilsa, itu membuatnya terluka jika mereka harus bertengkar lagi.
"Prima?"
Kepala gadis itu menoleh ke belakang. Dia melihat seorang gadis berambut ikal tengah tersenyum ramah ke arahnya.
"Clarissa, halo," sapa Prima. Wajah gadis itu sangat cerah karena terkena sinar matahari.
"Kamu tidak membaca?"
Prima menggeleng. Melihat wajah Clarissa membuatnya menjadi teringat sesuatu.
"Ah, benar juga. Selama ini baru aku ya yang pernah ribut sebesar itu dengan Gilsa," pikirnya. Tiba-tiba saja Prima berdiri. Dia menghadapkan tubuhnya pada Clarissa yang berdiri di belakang bangku lalu tersenyum.
"Aku duluan ya."
Pada dasarnya mereka tak pernah mengobrol, itu aneh karena hari ini Clarissa menyapanya.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments