"Altheo, kamu ikut saya."
Di tengah jam pelajaran bahasa inggris tiba-tiba salah seorang guru memanggil Altheo keluar kelas. Raut pemuda itu awalnya bingung, tetapi saat dia mulai memikirkannya, Altheo sepertinya tahu permasalahan apa yang terjadi. Apalagi Genan tak ada di kelas sejak pagi.
"The, itu Bu Rani, dia guru BK."
"Wah dia juga dipanggil."
"Good luck deh."
"Semangat, Theo!"
"Bu, kenapa saya dipanggil?" tanya pemuda itu ketika sudah sampai di hadapan Bu Rani. Mereka berjalan beriringan meninggalkan kelas.
"Kamu ada masalah apa sama Genan?"
Altheo benar. Sepertinya sulit berdamai dengan pemuda itu sekarang.
"Saya hanya membantu meluruskan saja Bu. Menurut saya tidak adil jika Genan tidak diperingati."
"Coba kamu jelaskan sama Ibu, bagaimana kejadiannya?"
Altheo menceritakan secara singkat apa yang terjadi kemarin. Dia tak ingin cerita itu belum selesai ketika mereka sampai di ruang konseling sehingga daripada ditambahkan seperti kebanyakan orang, Altheo banyak menyingkat dan menggilangkan beberapa kejadian. Untungnya itu sesuai keinginannya karena mereka selesai berbicara saat sampai di depan ruang konseling.
"Hm, begitu, Ibu paham. Kalau begitu kita masuk saja bagaimana?"
Altheo mengangguk. Namun yang tidak dia duga adalah masalah ini tidak bisa hanya sebatas dirinya dan Genan, begitu pemuda itu masuk hal yang jauh lebih rumit ada di sana. Genan datang, bersama salah satu orang tuanya dan disitu ada wali kelasnya yang menunduk di hadapan mereka.
Satu-satunya hal yang terlintas di pikiran pemuda itu hanyalah umpatan.
"Ini pak, Altheo." Bu Rani menepuk pundaknya. Meski bagai diterpa badai gejolak panas, Altheo tetap mencoba santai dan duduk di samping wali kelasnya. Sementara itu Bu Rani kembali meraih gagang pintu.
"Sebentar, saya akan memanggil satu anak lagi."
Apa?
Benar, Altheo tahu dia akan menyesal.
•••
Gilsa baru kali ini mengetahui bagaimana rasanya dipanggil guru ketika dia masih berada di tengah pembelajaran. Seperti diganggu tapi tak bisa marah, terlebih tidak seperti Altheo, dirinya mendapat ucapan sinis dan tatapan tajam ketika berjalan ke luar kelas. Sungguh, ini suasana yang sengaja sekali memojokan dirinya. Apalagi ketika itu adalah guru konseling dan dia sebelumnya membawa Altheo pergi. Gadis itu tahu permasalahannya apa, tapi selama ini sudah sangat banyak pelanggaran yang dirinya buat sehingga pikirannya dipenuhi apa saja yang akan dibicarakan nanti di ruang konseling.
Mungkin saja semua perbuatannya akan dibahas disana.
"Kamu tahu kenapa saya mengajak kamu keluar?"
Gilsa menatap Bu Rani dengan helaan napas. "Ibu tahu sendiri saya tidak suka direpotkan, apa harus memanggil saya? Biasanya juga tidak."
"Tenang saja, kamu hanya perlu datang. Kami akan menangani ini, pasalnya orang tua Genan datang dan memintanya, kami tidak bisa menolak itu."
Gilsa mengangguk. "Asal Ibu tahu bagaimana kepribadian Ayah saya, saya sih tidak masalah."
Bu Rani memalingkan tatapan, dia mencoba tersenyum dan merangkul Gilsa.
"Maka dari itu kami mohon bantuannya ya, kamu tahu sendiri bagaimana situasi ini."
"Omong-omong Ibu tidak akan menanyai saya?" Gilsa melepaskan rangkulan itu kemudian menjaga jarak. Dia benci saat seseorang merayunya untuk memanfaatkan apa yang dia miliki. Meski itu hanya karena mereka harus bertahan hidup.
"Apa ada yang ingin kamu adukan?"
Gilsa memutar tatapan ke arah lain. Artinya dia hanya perlu diam. Orang-orang terus membicarakan jika dirinya memakai kekuasaan untuk bersekolah dengan nyaman di sini, tapi orang yang dituduh curang itu justru dibully selama bertahun-tahun. Ini adalah ironi, Gilsa hidup dalam ironi yang seperti itu.
Ayahnya yang membencinya tapi tak mau mempunyai anak yang gagal, memasukan Gilsa ke sekolah ini dengan menggunakan praktik orang dalam. Dia memberikan donasi yang besar ke sekolah, dan menaikkan gaji seluruh guru dengan menggunakan praktik yang sama sebagai imbalan mengurusi Gilsa. Namun pada dasarnya yang ingin Ayahnya jaga hanyalah nama baik, sehingga meskipun kehidupan Gilsa disini telah menjadi neraka, tak ada yang bisa dilakukan.
Dia juga pada akhirnya tak berdaya.
Karena itu meskipun Gilsa mengadukan apa yang terjadi, sekolah tidak akan membantunya menyelesaikan masalah. Mereka hanya akan melaporkan itu pada Ayahnya dan menunggu keputusan dari dia. Jika seperti itu Gilsa lebih baik tutup mulut. Apa yang Ayahnya putuskan pasti lebih buruk dari penindasan yang sekolah ini lakukan.
Mereka telah sampai di ruang konseling. Saat Bu Rani dan Gilsa masuk, pemandangan Altheo yang menunduk dan seorang pria tua memarahinya adalah hal yang menyambut keduanya.
Pemuda itu terlihat menahan amarah.
•••
"Kamu yang menuduh anak saya?"
Altheo mencoba tak terlihat gelisah, dia menegakan tubuh dan menatap pria tua itu.
"Saya bukan menuduh, saat itu saya hanya melihat apa yang Genan perbuat dan Pak Guru menyadarinya. Saya tidak ada pilihan selain memberitahu apa yang terjadi."
"Kau melaporkannya, aku melihat sendiri kau memaksa Pak Arta memberiku hukuman." Genan tersulut lagi dan langsung menyangkal pembelaan Altheo.
"Apa kamu meminta saya berbohong, Genan?"
"Kamu sudah menindas dia, sekarang juga memuta balik fakta? Pak, anak murid bapak yang satu ini sudah tidak tertolong. Saya tidak rela anak saya mendapatkan skorsing tapi dia tidak!"
"Iya saya paham, Pak. Tapi itu keputusan yang diambil bukan berdasarkan perbuatan Altheo, tapi bukti dari pebuatan anak Bapak."
"Bukti apa? Kamu membicarakan apa? Kamu pikir anak saya seperti itu?"
"Dia menindas perempuan, Pak." Altheo angkag bicara lagi. Tatapan marah dirinya dapatkan kembali.
"Anak bapak menyudutkan perempuan dengan kata-kata tidak pantas. Bukankah harusnya Genan minta maaf?"
"Kamu tidak diajarkan sopan santun ya? Ibu kamu mati pas melahirkan kamu atau kamu tidak punya Ibu? Beginikah cara orang tua kamu mendidik kamu? Sopan kamu bicara seperti itu sama saya?"
Altheo diam, dia menahan erat bibirnya untuk tidak bicara meski wajahnya telah berubah marah total. Hal apapun didunia ini tidak ada yang lebih buruk dari menghina orang tua, dan itu dilakukan oleh orang dewasa? Menjijikan.
"Pak, maaf pak tolong tahan emosi anda." Pak Dandy melerai mereka dan menahan Ayah Genan untuk kembali duduk tenang. Dia merangkul Altheo dan menepuk punggungnya hingga napas memburu tak bisa Altheo tahan.
"Saya tidak habis pikir, Pak, anak saya yang baik-baik saja selama ini tiba-tiba difitnah seperti itu. Dia pikir dia siapa? Ayahnya presiden atau bagaimana sampai sok pahlawan kesiangan begitu? Kamu dengerin ya, saya minta pertanggungjawaban orang tua kamu kesini. Kalau tidak saya akan tuntut sekolah karena menyalahgunakan kekuasaan."
"Bapak sabar dahulu, kami tahu ada kesalahpahaman. Kita tunggu Bu Rani membawa korban kemari, ya Pak. Kita mintai keterangan korban mau seperti apa."
"Alah, palingan dia juga bekerjasama bareng anak tidak sopan ini untuk menyudutkan anak saya. Kenapa? Kalian iri atau bagaimana dengan Genan? Harus sampai menyudutkan dia?"
"Pak, Bapak harus belajar cara menjaga mulut dan didik anak Bapak untuk menjaga lisannya juga." Altheo kembali menjawab, kali ini dengan suara sedikit bergetar menahan amarah. Ekspresinya telah berubah tak karuan.
"Lisan apa kamu? Kamu pikir kamu siapa mengajarkan saya? Yang ada kamu yang harus dididik, dari tadi melawan terus sama orang tua. Dengerin, kamu tidak perlu menghancurkan hidup orang lain supaya mereka sama hancurnya dengan kamu. Terima nasib apa susahnya? Bukan salah Genan kalau kamu tidak bahagia."
Pintu terbuka ketika itu, tapi seolah teredam oleh emosi dan teriakan tak ada seorang pun yang menyadarinya. Sampai kemudian Gilsa dan Bu Rani segera menghampiri keempat orang tersebut.
"Mohon tenang ya Pak. Kita ngobrol dulu, ini Gilsa yang menjadi korban Genan." Bu Rani duduk di kursi tunggal sementara Gilsa berdiri, tepat berada di samping Altheo yang juga duduk. Pemuda itu terlihat seperti akan meledak hanya dengan satu ketersinggungan lagi.
"Kamu ternyata, apa benar anak saya menindas kamu?"
Tatapan Gilsa teralihkan, matanya sayu dan tak minat melihat pria tua itu.
"Ah, iya Pak kami sudah mengobrol diperjalanan tadi. Rupanya itu kesalahpahaman, Pak. Benar Genan sering mengganggu Gilsa tapi hanya bercanda saja, hari itu Genan sedikit melewati batas karena merasa sudah akrab dengan Gilsa. Begitu Pak kira-kira."
Ayah Genan tertawa sinis. "Saya bilang juga apa, dia yang menjadi masalahnya."
Jarinya menunjuk Altheo.
"Anak ini sumber masalahnya."
"Maaf sebelumnya, mohon dimaklumi Pak. Altheo ini murid pindahan baru dari luar negeri, jadi dia sepertinya belum bisa membiasakan diri dengan budaya di sini. Karena tidak tahu keakraban Gilsa dan Genan, Altheo berpikir itu bentuk pembullyan. Kami mohon maaf."
"Tidak bisa dipercaya anak seperti ini sekolah di luar negeri. Buruk sekali standar sekolahnya."
Altheo akhirnya mengangkat pandangannya yang sedari tadi memaku menatap meja. Dia melihat kembali sosok Ayah Genan.
"Hal yang menyedihkannya, sekolah di Indonesia selalu menganggap pembullyan sebagai bentuk candaan karena tidak ingin memperpanjang masalah. Bukan begitu, Bu?" Altheo menatap Bu Rani yang memelototinya.
"Altheo--"
"Kau suka tebak-tebakan bukan?"
"Apa-apaan bicara kamu?"
"Ayo tebak tahun ini aku berharap apa di hari ulang tahunmu?"
Seketika semua orang terdiam, satu-satunya yang bereaksi adalah Gilsa. Dia melangkah maju.
"Altheo cukup--"
"Benar, kau pintar sekali."
"Berhenti bicara!"
"Kuharap kau binasa saja, dasar sampah. Enyah kau, Gilsa." Altheo menatap Genan yang mematung. "Bukankah ini yang kau tulis kepada Gilsa? Aku dengar dari yang lain kau juga sudah sering melakukannya."
Suasana hening itu tak juga hilang, mereka kembali diam.
"Bukankah ini pembullyan? Atau aku hanya berlebihan Bu Rani? Ibu belajar soal ini bukan selama Kuliah? Apa ini hanya candaan, Bu?"
•••
"Besok kalian bawa orang tua kalian kemari, dan Gilsa, tunggu di sini."
Altheo kembali ke kelas dengan langkah yang gontai, dia tak percaya dirinya berhasil bertahan dari amarah hebat. Jika bukan karena memikirkan Ibunya, Altheo mungkin sudah membuat masalah baru yang bukan hanya melaporkan anak seseorang ke ruang konseling.
Saat sampai di kelas suasana telah sepi dan kosong, entah kapan bel istirahat berbunyi atau berapa lama istirahat sudah berlalu. Pemuda itu duduk di kursinya dan menutup wajah di atas meja. Altheo tak tahu kenapa ini jauh lebih melelahkan daripada saat dia bertemu Ayahnya di rumah.
Ayah Genan adalah Ayah yang buruk, dia tidak mengajarkan anaknya untuk meminta maaf dan memperbaiki sikap. Namun meski begitu dia Ayah yang menyayangi putranya, dia menutup mata pada kesalahan Genan dan terus membelanya meski itu menyakiti orang lain. Memikirkannya membuat Altheo bertanya-tanya, manakah yang lebih baik antara Ayah yang seperti Ayah Genan, atau Ayah yang tidak menyayangi putranya tapi telah mendidiknya dengan benar?
Itu memusingkan.
Tiba-tiba suara derit kursi terdengar dari samping kirinya, Altheo mengangkat wajah, seperti dugaan disana ada Gilsa yang sudah kembali dari ruang konseling. Gadis itu menghela napas, menangkup pipi lalu menatap Altheo dengan sorot heran.
"Kau gila."
"Benarkah?" Altheo tertawa kecil.
"Apa sesulit itu untukmu menutup mata dari ketidakadilan?"
"Aku hanya merasa kau orang baik."
Gilsa diam.
"Sungguh, kau orang baik." Bukannya diam, pemuda itu malah memperjelas ucapannya seolah meyakinkan keterdiaman Gilsa.
"Bagaimana bisa kau menilai seseorang semudah menilai barang dagangan?"
"Aku merasakannya sendiri." Altheo bangun dari tidurnya.
"Saat semua orang menghinamu, saat semua orang mencaci dan menudingmu, kau tidak pernah kehilangan tempat berpijak. Meski kau mendengar jelas apa yang mereka katakan, kau memilih terus menjalani hidup tanpa memikirkannya. Jika kau bukan orang baik, apa kau mampu menahannya?"
Gilsa tersenyum. Senyum merekah hingga kedua sudut matanya menyipit.
"Kau salah." Dia tertawa. "Aku tidak menahannya, hanya saja apa yang mereka lakukan tidak menyakitiku."
Tawa itu lenyap.
"Aku tidak terluka, jadi kenapa kau berpikir aku menahannya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Rasmi
jahat bngt bjingan😭
2024-07-18
0