"Jam tangan baru Kak?" tanya Rissa saat Vio duduk di sampingnya untuk menikmati sarapannya yang sudah kesiangan itu.
Vio mengangkat pergelangan tangannya dan melihat jam tangan pemberian Amar kemarin. "Couple-an sama Mas Amar Bun," jawab Vio lalu menyendok lagi makanannya.
"Inget pesan Bunda sama Ayah lho Kak."
"Iya Bun, Vio inget kok. Tapi Bun, Vio bingung deh, kenapa ya Mas Amar tuh gercep banget sama hubungan kami ini. Vio malah khawatir deh."
"Khawatir gimana?" tanya Rissa bingung.
"Ya kayak terlalu cepat gitu deh."
Rissa tertawa. "Kamu lupa gimana perjalanan Ayah sama Bunda dulu, baru kenal hitungan bulan, tahu-tahu Bunda sama Ayah menikah aja."
"Kalo itu kan special case Bun, aku yang jatuh cinta ke Bunda duluan," ucap Vio sambil mengingat bagaimana dulu dia tak pernah klop dengan perempuan yang dibawa sang Ayah untuk menjadi bundanya.
"Eit... sembarangan kalo ngomong! Kamu memang yang milihin, tapi Ayah beneran jatuh cinta sama bundamu ya!" Rama masuk ke rumah masih memakai baju olahraganya.
"Iya iya, Vio tahu Yah!" Vio mendengus pelan, pasalnya dia paham bagaimana dulu ayahnya dan bundanya menikah karena sedikit ada paksaan dari Vio, karena Vio kecil hanya mau Rissa yang menggantikan ibu kandungnya yang pergi saat Vio masih kecil dulu.
Vio selesai dengan bubur ayamnya, lalu membawa piring kotor bekasnya makan ke wastafel dan mencucinya.
Meski mereka memiliki art, berkat didikan tegas Rissa kepada kedua anaknya, mereka terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah semisal membersihkan kamar masing-masing atau mencuci bekas makan minum mereka.
"Habis ini Vio ijin ketemu klien ya Bun, Yah. Mungkin pulang agak sorean, sekalian mau cari beberapa material untuk kebutuhan klien," pamit Vio mulai bersiap dengan tas dan laptopnya.
"Sendiri?" tanya Rissa.
"Ngajakin Astrid kok Bun. Oh iya hampir lupa, kalo gudang belakang Vio pakai buat ruang kerja boleh nggak Yah, Bun."
"Gudang kosong itu?" tanya Rissa.
"Iyah."
"Mana layak sih Kak."
"Terus gimana Bun, aku butuh naruh barang-barang, kamarku rasanya terlalu sempit."
"Kenapa nggak kamar tamu depan itu kita renov aja, nanti kita tambahin bangunan untuk menerima klien," usul Rissa.
"Tapi kan disana banyak tanamannya Bunda, nanti rusak Bun." Vio jelas menolak kalau dia harus mengorbankan kebun bunga kesayangan bundanya itu. Kalau masalah meeting dengan klien, bisa meeting di kafe atau restaurant.
"Nanti Bunda pindahin sebagian di halaman belakang, gampang itu." Rissa mengibaskan tangannya lembut, demi kenyamanan Vio, mengorbankan beberapa tanamannya dirasa Rissa tak masalah.
"Nanti aja kita omonginnya, aku harus berangkat sekarang, takut telat. " Vio pun bergegas merapikan bawaannya dan pamit kepada kedua orang tuanya.
Vio dan Astrid menemui klien mereka untuk membicarakan konsep yang klien mau.
Memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk mereka menyatukan ide, hingga mereka harus memesan tambahan minuman dan snack karena sungkan kepada pemilik kafe yang sering melirik ke arah mereka.
"Jadi deal ya Mbak, konsepnya mau seperti ini? Nanti kita perlu meeting beberapa kali lagi untuk mematangkan konsep kita ini."
Klien Vio mengangguk setuju, lalu setelah dirasa cukup untuk meeting hari itu, klien tersebut pamit undur diri.
"Riweh ya Trid kalo harus meeting di luar terus kayak gini?" Vio mengeluh sambil membereskan beberapa kertas dan tablet ke dalam tasnya.
"Iya, mana pemilik kafenya jutek banget lagi, nggak didatengin lagi baru kapok!" Astrid mengomel dengan judesnya.
"Padahal lagi sepi juga ya, dan kita juga pesen snack dan minuman tambahan lho." Vio mengerucutkan bibirnya sebal.
"Ya udah yuk Mbak, kita pergi dari sini, males dipelototin terus!" Astrid berdiri, membantu Vio membawa barangnya.
Vio sendiri melipir untuk membayar tagihannya yang nominalnya bisa dibilang tidak murah itu.
"Maaf ya Mbak, aku meetingnya kelamaan, sebenarnya mau rekomen ke temen-temen sih buat mampir kesini, tapi takut mereka ngeganggu pengunjung yang lain, soalnya kan temenku banyak yang pebisnis, meetingnya pada lama-lama," ucap Vio saat menerima kartu debetnya setelah digesekkan ke mesin EDC.
Pemilik kafe itu terkesiap, dia tak menyangka bahwa perempuan muda dan cantik itu ternyata memiliki circle seperti yang ia sampaikan tadi.
Vio pun melenggang meninggalkan tempat itu. "Jadi nemenin kan Trid?" tanya Vio saat keduanya berada di dalam mobil.
"Jadi Mbak, hari ini aku off, jadi aku bisa temenin Mbak Vio seharian."
Vio bersiap menginjak pedal gas, saat ponsel yang ia letakkan di samping kursinya bergetar, ada nama Masku dilayar sana.
"Iya Mas," sapa Vio setelah Vio menggeser tombol hijau itu.
"Lagi di mana Babe?" tanya Amar.
"Lagi mau otw ke salah satu vendor pernak-pernik Mas, kenapa?"
"Bisa minta tolong nggak Babe?"
"Minta tolong apa Mas?"
"Temenin Ibu ketemu sama orang yayasan dong, Fira nggak bisa nganterin katanya," jawab Amar penuh pengharapan.
"Sekarang banget Mas?" tanya Vio dengan gelisah, dia kan baru sekali bertemu Bu Tari, masak sekarang dia harus pergi berduaan dengan ibu dari pacarnya itu.
"Iya, bisa kan? Soalnya Ibu nggak terbiasa pergi sendirian kalo ketemu orang penting kayak gini, biasa Bapak atau salah satu dari kami yang nemenin."
Vio menggusah nafasnya pelan, dalam benaknya ini semacam test untuk dirinya layak atau tidak layak mendampingi Amarta, setelah sebelumnya Amarta mengungkapkan ingin menyeriusi dirinya.
"Nggak bisa ya Babe?" tanya Amar saat di seberang sana Vio cukup lama terdiam.
"Eh bisa, bisa Mas. Aku harus ketemu Ibu dimana?" tanya Vio akhirnya, ada rasa tak enak dalam hatinya kalau ia harus menolak permintaan Amarta barusan.
"Ibu tungguin kamu di rumah."
"Oh ya udah kalo gitu aku kesana sekarang, tapi share loc ya Mas, aku lupa-lupa ingat sama rumah Mas."
"Oke Babe, btw thanks ya Babe dan hati-hati di jalan."
Pesan Amar masuk ke dalam ponsel Vio. Vio mengaktifkan map dan bersiap menuju ke rumah orang tua Amar.
Deheman seseorang mengagetkannya. "Lupa kalo masih bawa aku Mbak?!" tanya Astrid dengan muka jutek.
"Maaf ya Trid, grogi gue karena dapet tugas yang mendebarkan kayak gini," celetuk Vio sambil meringis, menampilkan deretan giginya yang putih.
"Emang galak Mbak?" tanya Astrid sambil bergidik.
"Nggak sih, persoalannya aku baru sekali ketemu sama ibunya Mas Amar."
"Mas Amar?"
"Pacar aku Trid!" ketus Vio kesal, pasalnya pertanyaan Astrid membuat Vio jadi semakin grogi.
"Ya udah Mbak, aku pulang aja, bobok cantik sampai sore mumpung libur." Astrid bersiap membuka pintu mobil Vio.
"Eh bentar bentar Trid." Vio mengambil dua lembar uang seratus ribuan dan menyerahkan ke Astrid. "Buat ongkos pulang sama jajan."
"Ah, makasih Mbak Vio, aku nggak jadi pulang, mau ke mall aja jajan ramen."
Astrid turun dari mobil Vio dan melambai saat Vio meninggalkan tempat itu.
Sambil mengikuti arahan Mbak gugle yang sedang mengarahkan rute menuju ke tempat yang ditujunya, sesekali Vio mendesah untuk mengurai rasa groginya.
Ketika mobil Vio sudah sampai ke tempat tujuannya, tangan Vio mendadak menjadi dingin dan semakin grogi.
"Duh pacar gue kebangetan banget sih, masak baru pacaran sebulan lebih, gue udah disuruh berduaan sama nyokapnya!"
Setelah mengucapkan omelannya beberapa kali, akhirnya Vio turun dari mobilnya dan memencet bel yang terdapat di pagar itu.
"Siang Pak," sapa Vio kepada salah satu sekuriti yang mengintip dari kotak kecil yang berada di pagar tersebut.
"Siang Mbak, mau cari siapa?!" tanya sekuriti tersebut galak.
"Pak Satpam itu Vio calon mantu Ibu!" seruan seorang perempuan dari teras sana membuat pak satpam bergegas membukakan pintu.
"Mbak Vio?" tanya pak Satpam memastikan.
"Iya Pak," jawab Vio sopan.
"Mari Mbak, sekalian aja mobilnya dimasukin." Pak Satpam membuka pintu gerbang itu lebar-lebar.
Vio masuk kembali ke dalam mobilnya dan memarkirkan mobilnya di halaman rumah itu.
Bu Tari menunggu Vio di teras rumah itu, dengan senyum merekah dia menyambut calon menantunya itu.
"Bu." Vio mendekat dan mencium punggung tangan ibu dari pacarnya itu.
"Ya ampun mantu Ibu tambah cakep aja." Tari memeluk tubuh Vio erat.
"Maaf ya, gara-gara Amar yang terlalu berlebihan, Ibu jadi ngrepotin kamu," ucap Tari sambil membimbing Vio masuk ke dalam rumah.
Kaki mereka belum masuk ke dalam rumah, saat mobil lain masuk ke pekarangan rumah itu.
"Safira!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments