Vio mengerjap pelan, memperhatikan cincin yang disodorkan oleh Amar sambil berlutut lalu memperhatikan Amar yang menatapnya penuh damba dan penyesalan.
"Mas, bangun ah, malu tahu." Vio menarik tangan Amar agar berdiri dari berlututnya.
"Aku akan tetap berlutut sampai kamu maafin aku." Amar tetap pada posisinya.
Vio menghentakkan kakinya lalu hendak masuk ke dalam rumahnya, tapi belum sempat kakinya menginjak lantai ruang keluarga, dia kembali lagi lalu berdiri di depan Amar yang masih tetap berlutut.
"Berdiri nggak Mas!" perintah Vio dengan tangan bersedekap di dada.
"Maafin dulu," pinta Amar dengan senyum manis dan wajahnya berkali-kali lipat lebih ganteng.
Vio melengos sambil mengulum senyumnya, lalu ketika ia sudah menguasai diri, ia kembali menatap Amar. "Tapi janji nggak kayak gitu lagi."
"Iya aku janji Babe." Amar tersenyum semakin lebar.
"Ya udah sekarang berdiri, malu sama Bunda!"
Amar pun menyematkan cincin bertahta berlian itu ke jari manis Vio, mencium cincin itu lalu berdiri dan menggenggam tangan Vio.
"Kamu udah sembuh kan?" tanya Amar sambil mengelus kepala Vio.
"Udah, cuman belum berani capek-capek."
"Hire orang dong Vi, biar kerjaan kamu lebih ringan," usul Amar.
"Rencananya iya sih Mas, lagi nyari orangnya, lagian klienku semakin banyak sekarang, nggak mungkin aku handle semua-semuanya sendiri."
"Maaf ya Vi waktu itu Mas nuduh kamu kayak gitu." Amar menggenggam tangan Vio lembut.
"Aku sebenarnya males sih Mas, menjalin hubungan tapi nggak ada kepercayaan seperti itu, rasanya pasti lelah banget." Vio memutar pelan cincin yang telah melingkar di jari manisnya yang akhirnya membuat ia meleleh.
"Kan tadi udah dimaafin, kok masih nggak pengen ngelanjutin hubungan kita?" tanya Amar hati-hati.
"Harusnya tuh aku yang cemburuan lho Mas, mengingat Mas dikelilingi cewek-cewek cantik dan menarik," gumam Vio pelan.
"Di mataku kamu yang lebih menarik dan lebih segala-galanya dari mereka. Kamu membuat aku jadi nggak fokus pegang kemudi, padahal banyak nyawa yang mengandalkan aku." ucap Amar sungguh-sungguh.
Vio mengerjap dan menatap Amar dengan raut bingung, bagaimana bisa Amar setertarik itu kepadanya dalam waktu sesingkat itu, sedangkan Dante saja butuh waktu dua tahun lebih untuk menyadari perasaannya kepada Vio.
"Kenapa?" tanya Amar.
Vio menggeleng. "Bingung, nggak percaya, masak secepat itu Mas tertarik sama aku."
"Salah ya?" tanya Amar mendadak kelu, pasalnya dia beneran suka dan cinta terhadap Vio. Amar juga tak tahu pasti kenapa pesona Vio begitu saja masuk dan membelenggu dirinya, padahal Amar bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, apalagi setelah kejadian yang terakhir kalinya begitu membuatnya trauma.
"Nggak salah Mas, cuman aku bingung aja, kok Mas Amar segitu cepatmya menjatuhkan pilihan ke aku."
"Nggak tahu Babe, aku merasa yakin dan percaya sama kamu. Sama kamu aku pasti bisa."
"Bisa apa?" tanya Vio.
"Ya bisa semuanya."
Vio hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan, tak percaya pria segarang Amar ternyata pinter melontarkan kalimat yang membuat wajah Vio merona.
"Aku pulang dulu ya, besok aku kesini lagi," pamit Amar rasanya enggan untuk pergi dari rumah itu.
"Iya Mas, ati-ati di jalan ya, langsung istirahat, aku juga mau istirahat lagi, belum boleh banyak aktivitas kata Bunda."
Amar berdiri, taksi online yang dipesannya sudah sampai ke titik penjemputan. Amar menatap Vio sekali lagi, lalu dengan spontan menarik Vio ke dalam pelukannya.
Berulang-ulang Amar mengecup puncak kepala Vio. "I love you Babe," bisik Amar serak.
Vio membeku, antara shock dan takut ketahuan sama bundanya. Pasti perempuan cantik itu akan mengomel panjang lebar karena baru hitungan minggu berpacaran, tapi mereka sudah berani peluk-pelukan.
"Mas, takut diomelin Bunda." Vio mengurai pelukannya perlahan.
"Oh iya ini oleh-oleh buat keluarga kamu." Amar menyerahkan paper bag berisi keripik dan kue khas Singapura.
"Makasih ya Mas, buat cincinnya sama oleh-oleh nya." Vio tersenyum sambil mengantarkan Amar sampai ke depan pagar rumahnya.
Amar mengusap kepala Vio sekali lagi, lalu buru-buru masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya, bisa gawat kalau kelamaan dia di rumah itu, bisa-bisa dia enggan pulang.
Saat Vio masuk ke dalam rumah, Rissa sudah menunggu sambil tersenyum penuh arti.
"Coba liat cincinnya?" pinta Rissa sambil tersenyum lebar.
"Bunda tahu?" Wajah Vio mendadak merona.
"Tahulah, gimana gentleman nya Amar saat sedang berlutut tadi," jawab Rissa sambil menggulir media sosialnya.
"Gimana Vio nggak meleleh Bun, dia ternyata se gentle itu."
"Coba liat." Rissa mengulurkan tangannya untuk meminta tangan Vio yang terdapat cincin dari Amar tadi.
"Bagus ini kan, pasti mahal harganya, dijaga ya, berarti Amar sungguh-sungguh sama kamu, dikasih cincin dan sudah dikenalkan sama kedua orang tuanya, mesti mawas diri, jangan sampai merusak kepercayaan Amarta dengan bertemu cowok lain," ucap Rissa sambil tersenyum bahagia.
"Iya ya Bun, aku nggak mikir sampai sana."
"Tapi bukankah yang bener begitu, perkenalan, cocok dan berlanjut ke jenjang serius," ucap Rissa.
"Tapi kalo bisa wisuda dulu ya Kak, sayang kan kuliah kamu tinggal sidang dan wisuda." Tiba-tiba Rama muncul dari pintu penghubung antara garasi dan ruang tengah.
"Pasti Yah." Vio menjawab mantap.
"Mumpung masih single, selesaiin kuliah, raih mimpimu, nanti kalo sudah nikah kamu bakalan sibuk dengan keluargamu dan nggak bakalan sempat mikirin diri sendiri," ucap Rama lagi.
"Aku kan nggak akan cepet-cepet nikah, pacaran aja baru hitungan minggu."
"Jadi udah baikan nih?" goda Rama.
"Ya gimana ya Yah, dia memang se gentle itu, bikin hati Vio meleleh, apalagi Vio juga udah dikenalin sama keluarganya juga, rasanya memang yang ini lebih pas sama Vio dibanding yang sebelumnya."
"Ayah, Bunda mendoakan yang terbaik untuk kamu Sayang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments