Vio mengantar kepergian Dante dengan perasaan...entahlah, mungkin bisa dibilang Vio sudah terlepas dari fase patah hatinya.
Dibilang sosok Dante sudah terhapus sempurna di hatinya memang belum, tapi sosok sempurna itu telah tergeser sedikit oleh sosok Amar yang memaksa masuk ke dalam hatinya.
Meski sedih tapi perasaan Vio juga merasa plong, setidaknya dia tak akan mengorbankan waktunya kepada seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya.
"Cie cie yang baru aja jadi jomblo!" ledek Asa sambil cengar-cengir tanpa dosa.
"Gue nggak jomblo!" sahut Vio kesal sama adik lelaki satu-satunya itu.
"Oh iya ada ban serepnya!"
"Asa! Nggak baik ngatain orang dengan ban serep, Mas Amar punya nama!" Rissa muncul dari kamarnya diikuti oleh Rama.
"Becanda Bun." Asa nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Jangan suka mengolok-olok orang kayak gitu Dek, Kak Vio lagi sedih lho," ucap Rama dengan lembut.
"Sedih dibikin sendiri Yah, coba dari dulu jadi cewek jangan polos-polos, beberapa bulan nggak ada kepastian lebih baik... " Asa mempraktikkan tangannya seperti gunting 'kres!'
"Kamu kayak udah pengalaman aja!" Vio mencibir adiknya yang baru menginjak usia belasan itu.
"Tapi aku mah gentle Kak, nggak mungkin mempermainkan perasaan cewek, suka ya bilang suka, nggak tertarik langsung aku tolak." Ucapan Asa yang terdengar santai dan tanpa beban itu tak ayal membuat Vio dan Rissa melotot tak percaya.
Rama terkekeh saat melihat wajah istrinya berubah menjadi judes seperti itu, Rama percaya bahwa Asa hanya sekedar naksir menaksir dan belum ke jenjang pacaran, namanya anak baru usia tujuh belas tahun.
Ting... sebuah notifikasi masuk ke ponsel Vio, dengan seksama Vio membaca sebaris tulisan yang membuat hatinya menghangat.
Tolong ijin ke Ayah sama Bunda kamu, besok malam aku mau ajak kamu dinner.
"Yah, Bun," panggil Vio dengan wajah merona.
Rissa dan Rama menatap Vio. "Besok Vio diajakin Mas Amar dinner," lanjutnya lagi.
"Kamu udah mantep mau buka hati buat Amar Kak?" tanya Rama hati-hati.
"Menurut Ayah?" Vio balik bertanya.
"Kok tanya Ayah?"
"Dari kaca mata Ayah, Mas Amar gimana?"
"Ayah suka sama cowok gentleman yang mau meminta ijin ke orang tua si cewek buat ngedeketin, udah mau berbagi cerita tentang keluarganya, at least dia sungguh-sungguh pengen kenal kamu. Lagian dia juga sopan dan baik, semoga apa yang terlihat sekarang adalah kepribadiannya yang sesungguhnya ya," jawab Rama panjang lebar.
"Soal profesinya Yah? Ayah nggak khawatir?" tanya Vio ragu-ragu. Tentu saja kita semua tahu ada beberapa oknum yang membuat profesi ini dianggap negatif oleh sebagian orang.
"Profesi nggak menjamin Kak, nggak semua pilot seperti itu kan, semoga Amar juga nggak seperti itu."
"Ya udah kalo Ayah sama Bunda nggak keberatan sama Mas Amar."
"Pesen Bunda cuman satu, sebelum buka hati lebar-lebar, buka dulu mata, telinga dan pikiran kamu, lihat dia bagaimana, kalo nanti rasanya ada yang kurang srek langsung saja ungkapin perasaan kamu, bila perlu tinggalin."
"Yang... " tegur Rama pelan.
"Habis aku sebel sama pasangan Vio sebelumnya!" sahut Rissa sambil melengos.
***
Vio menatap deretan baju semi resmi yang tergantung di rak lemari bajunya.
Meski Amar bilang bahwa makan malam ini bukan makan malam resmi, tapi tetap saja Vio tidak ingin memakai baju asal-asalan.
"Bun... kira-kira bagusan yang ini atau yang ini ya Bun?" Vio mengangkat midi dress yang panjangnya selutut dengan warna terracotta dan sheath dress berwarna biru muda.
"Yang terracotta aja Kak, takutnya yang sheath dress terlalu seksi untuk makan malam pertama kalian," jawab Rissa sambil tersenyum.
"Oh oke Bun, makasih." Vio pun berlalu dari sana dan mulai bersiap. Amar tadi sudah mengirim pesan akan menjemputnya sekitar jam enam tiga puluh malam.
Tak banyak make up yang Vio aplikasikan di wajah, karena pada dasarnya Vio tidak suka bermake up aneh-aneh persis banget sama Bunda Rissanya.
Jam enam lebih dua puluh Amar sudah datang, saat ia menunggu Vio selesai, Amar berbincang sesaat dengan Ayah dan Bunda dari Vio.
Satu hal yang bikin kedua orang tua itu lega, Amar yang dengan jelas memberi tahukan dimana dia tinggal, hingga membuat Rissa khususnya tak was-was melepas Vio dengan Amar yang baru beberapa bulan ia kenal itu.
"Udah Mas, ayok berangkat." Vio keluar dengan wajah yang lebih segar dan can't dari biasanya.
Amar berdehem beberapa kali, mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menyergap, rasa kagum itu semakin merasuki hatinya.
"Vio berangkat dulu ya Yah, Bun," pamit Vio sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya itu. Amar pun melakukan hal yang sama.
"Inget ya Kak, jam malam tetap berlaku," ucap Rissa saat Vio masih ada di depannya.
"Iya Tante, saya pastikan Vio sampai rumah sebelum jam sepuluh malam."
Amar mengangguk kecil lalu menggiring Vio untuk masuk ke dalam mobilnya.
Amar belum menjalankan mobilnya, sejenak dia menatap Vio kembali, sekedar menikmati kecantikan perempuan yang belakangan hari ini membuat hidupnya gelisah.
"Kenapa sih Mas? Aku berlebihan ya?" tanya Vio.
Amar menggeleng pelan. "Kamu cantik banget Vi," puji Amar pelan.
Pipi Vio merona mendapat sanjungan itu, siapa sih yang tidak tersanjung saat seorang pria memuji dirinya? Pada dasarnya perempuan adalah makhluk yang butuh validasi dari orang lain bahwa mereka cantik dan menarik.
"Udah dong Mas, jangan muji terus, aku jadi malu lho."
Amar pun terkekeh lalu perlahan dia melajukan mobilnya ke suatu tempat yang menjadi tujuan mereka, yang Vio kira mereka akan makan di sebuah restaurant.
Ternyata Amar membawa Vio ke rumah orang tuanya untuk makan malam bersama orang tua dan kakaknya beserta istrinya.
"Nggak papa kan?"
Vio tersenyum kaku, mereka baru pedekate tapi Amar ternyata seserius ini dengan mengenalkannya kepada kedua orang tuanya.
Bukankah laki-laki seperti ini yang perempuan butuhkan, laki-laki yang mengenalkan keluarganya kepada perempuannya, begitu juga laki-laki yang mau mengenal keluarga perempuannya.
"Ini rumah aku Vi." Amar memasukan mobilnya di belakang mobil yang telah terparkir terlebih dulu.
"Mas Aditya sama Mbak Fira udah datang duluan Vi." Amar membukakan pintu mobil untuk Vio, dan menggenggam tangan Vio yang terasa dingin.
"Rileks Vi, orang tuaku easy going kok kayak orang tua kamu."
"Pak Bu." Amar menyapa orang tuanya dengan sopan lalu mencium punggung tangan keduanya.
"Kenalin ini Vio." Amar mendorong lembut punggung Vio, dan Vio pun mencium punggung tangan kedua orang tua Amar.
"Ah ini yang namanya Vio, cantik banget kamu Nak," puji Tari sambil memeluk Vio dengan lembut.
Vio menyapa kakak lelaki Amar yang bernama Adit dan juga kakak iparnya Amar yang bernama Safira itu.
Vio bisa melihat kilatan rasa tak suka saat menyapa Fira. 'Ada apa ini? Padahal gue baru kenal dia hari ini.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments